Rabu, 18 Januari 2012

Beras, Terigu, dan Pangan Lokal

Beras, Terigu, dan Pangan Lokal
Khudori, PEMERHATI MASALAH SOSIAL-EKONOMI PERTANIAN DAN GLOBALISASI
Sumber : KORAN TEMPO, 18 Januari 2012


Mengartikan pangan identik dengan beras sesungguhnya telah mengecoh kita. Sejarah Indonesia mencatat gaplek (Lampung, Jawa Tengah, Jawa Timur), sagu (Maluku, Papua), jagung (Jawa Tengah, Jawa Timur, Nusa Tenggara), cantel/sorgum (Nusa Tenggara), talas dan ubi jalar (Papua) sebagai pangan baku warga selama bertahun-tahun. Kemajuan di bidang ekonomi dan teknologi (terutama telekomunikasi), yang dibarengi dengan perbaikan kesejahteraan, telah menyebabkan pola makan mengkristal pada beras, sedangkan gaplek, jagung, ubi, dan cantel justru jadi pakan pokok ternak.

Sampai saat ini semua perut warga negeri ini bergantung pada beras dengan tingkat partisipasi rata-rata 100 persen, kecuali Maluku dan Papua (80 persen). Konsumsi per kapita mencapai 139,15 kg per tahun, tertinggi di dunia. Akibatnya, pemerintah dipaksa melakukan segala cara untuk menggenjot produksi beras agar pasokan domestik tercukupi. Padahal lahan sawah letih dan kelelahan, produktivitasnya melandai, dan luasnya terus tergerogoti kepentingan lain. Infrastruktur irigasi rusak, kontinuitas ketersediaan air sulit dipenuhi. Dari sisi teknologi produksi, hasil petani di sawah irigasi saat ini mendekati batas frontier yang bisa dicapai: 6,4 ton per hektare, kedua tertinggi di Asia Timur setelah Cina (7,6 ton per ha). Potensi peningkatan produktivitas hanya 0,5-1,0 ton per hektare dengan input yang mahal.

Ini membuat Menteri Perdagangan Gita Wirjawan gelisah (Koran Tempo, 27 Desember 2011). Untuk menekan impor, Gita akan mengkampanyekan pengurangan konsumsi beras dan gula. Pengurangan konsumsi adalah strategi diversifikasi pangan. Strategi ini sudah dilakukan sejak zaman baheula. Pada 2010, pemerintah juga menggulirkan kampanye One Day No Rice. Cara ini dinilai bisa menghemat 1,1 juta ton beras senilai Rp 6 triliun. Jika uang itu dialihkan untuk konsumsi pangan lokal, seperti singkong, ubi jalar, ganyong, dan sukun, akan menciptakan dampak berganda luar biasa. Kalkulasi itu tidak salah. Pertanyaannya, segampang itukah orang mau menekan konsumsi beras?

Mengalihkan sesuatu yang sudah jadi kebiasaan (habit) bertahun-tahun, termasuk dalam hal pangan, bukanlah hal mudah. Kebiasaan itu tercipta melalui proses adaptasi panjang, melibatkan segenap indra (terutama perasa dan penglihatan), dan pertimbangan ekonomi (akses dan efisiensi), politik (kebijakan), serta kebudayaan (akulturasi dan adaptasi). Dalam hal beras, hasilnya seperti ini: memasak beras itu mudah, harganya murah (karena subsidi), gampang didapat kapan dan di mana saja. Dari sisi gizi dan nutrisi, beras relatif unggul dibanding pangan lokal lain. Pelbagai kelebihan beras ini belum tertandingi oleh aneka pangan lokal. Dari sini terlihat betapa absurdnya kampanye “satu hari tanpa nasi”. Sampai saat ini pangan lokal masih sulit didapat, kontinuitas ketersediaannya tak terjaga, harganya fluktuatif, rasanya kurang enak, kandungan gizinya lebih rendah, dan memasaknya ribet. Seperti yang sudah-sudah, kampanye ini dipastikan akan menguap di tengah jalan.

Saat pangan lokal dibelit aneka masalah, pangan introduksi berbasis terigu justru semakin perkasa. Dalam sepuluh tahun terakhir, konsumsi bahan pangan dari gandum impor yang diolah jadi tepung terigu itu meningkat pesat. Pada 1987 konsumsi terigu per kapita Indonesia masih 1,05 kg per tahun, naik jadi 2,64 kg per tahun pada 1996, dan meledak menjadi 17 kg per tahun pada 2010. Jadi, hanya dalam 15 tahun, konsumsi terigu meledak 6,5 kali lipat. Di Indonesia, tidak ada jenis pangan lain yang mengalami ledakan sebesar konsumsi terigu. Konsekuensinya, impor gandum juga meledak, menjadi lebih dari 5 juta ton pada 2008 dengan nilai US$ 2,245 miliar. Devisa yang terkuras ini tidak kecil.

Dalam struktur diet makanan warga, gandum kini menempati posisi kedua setelah beras, menyalip jagung atau ubi-ubian. Aneka pangan berbasis gandum jauh lebih populer ketimbang pangan lokal, seperti singkong, sagu, jagung, sukun, atau ganyong. Di mata warga, aneka pangan lokal itu lebih inferior dari gandum yang lebih mewakili cita rasa dan selera global. Temuan Fabiosa (2006) dalam Westernization of the Asian Diet: The Case of Rising Wheat Consumption in Indonesia cukup mengejutkan: setiap peningkatan 1 persen pendapatan warga Indonesia, pengeluaran konsumsi pangan yang dibuat dari gandum meningkat pada kisaran 0,44-0,84 persen. Sebaliknya, konsumsi beras tergerus.

Ini menegaskan dua hal sekaligus. Pertama, perlahan-lahan konsumsi beras mulai tersubstitusi oleh gandum. Dari sisi diversifikasi makanan, substitusi itu bisa dipandang baik. Namun, substitusi beras oleh gandum adalah diversifikasi salah kaprah yang tidak dikehendaki. Sebab, ini yang kedua, substitusi itu hanya akan mempertegas fenomena peningkatan ketergantungan kita pada pangan impor. Padahal Indonesia memiliki aneka sumber daya lokal yang bisa menggantikan gandum, seperti singkong, gembili, sukun, dan ubi jalar. Substitusi gandum dengan pangan lokal tidak hanya menghemat devisa, tapi juga menciptakan dampak berganda (multiplier effect) yang luar biasa di berbagai sektor.

Mensubstitusi terigu dengan pangan lokal bukan hal mustahil. Namun, substitusi itu memerlukan kebijakan radikal, konsisten, dan memihak kepentingan domestik. Salah satu kandidat pengganti tepung terigu adalah tepung singkong modifikasi (mocaf). Mocaf sudah diproduksi secara industri di Trenggalek, melibatkan petani, koperasi, dan pemda setempat. Memang mocaf tidak bisa dibuat aneka makanan seluas tepung terigu. Namun, mocaf menjanjikan banyak hal. Di sinilah negara perlu hadir dengan beleid memihak.

Pertama, secara ekonomi, harga mocaf (Rp 4.000 per kg) cukup bersaing. Tapi harga ini belum menarik bagi industri dibandingkan dengan tepung terigu curah (Rp 4.300-4.500 per kg). Jika mocaf tidak dikenai PPN 10 persen tentu harganya kian menarik. Pemerintah harus membebaskan PPN 10 persen untuk mocaf. Sebaliknya, bea masuk impor terigu yang 0 persen harus ditata-ulang. Kedua, strategi diversifikasi pangan berbahan lokal akan berhasil bila pemerintah tak memilih kebijakan dan strategi melepas semua ke pasar (hands-off policy). Dukungan kebijakan itu meliputi kebijakan fiskal, seperti alokasi anggaran dalam APBN, tarif bea masuk, pajak, kredit berbunga rendah, dan subsidi pertanian, termasuk riset dan teknologi. Ketiga, strategi ini harus terintegrasi dalam rencana pembangunan jangka menengah sebagai bagian dari penciptaan lapangan kerja, dan pengurangan kemiskinan. Ditambah kewajiban industri menyerap mocaf, pangan ini pasti berkembang.

Sebagai industri yang masih bayi (infant industry), tidak adil membiarkan industri mocaf--yang sepenuhnya berbahan baku lokal, melibatkan ribuan (bahkan jutaan) petani, menciptakan dampak berganda yang mahaluas--bersaing dengan industri tepung terigu yang sudah mapan. Tanpa campur tangan pemerintah, mustahil mocaf bersaing dengan 6 korporasi penguasa bisnis tepung terigu (yang salah satunya menguasai pangsa 70 persen). Berbagai kebijakan itu harus dilakukan secara konsisten dan berkesinambungan. Saat tepung terigu tersubstitusi mocaf, dengan sendirinya tekanan pada beras akan berkurang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar