Warisan
Profesor Sajogyo
untuk
Studi Agraria Indonesia
Endriatmo Soetarto, GURU
BESAR TETAP PADA FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA IPB, BOGOR; KETUA SEKOLAH TINGGI
PERTANAHAN NASIONAL, YOGYAKARTA
Sumber
: KORAN
TEMPO, 19
Desember 2011
Penghargaan
Habibie Award 2011 untuk Profesor Sajogyo untuk kategori ilmu sosial pada 10
November 2011 adalah satu kebanggaan dan kebahagiaan tersendiri bagi saya
pribadi sebagai salah seorang yang sangat beruntung mendapatkan kemewahan berinteraksi
cukup intens dengan Profesor Sajogyo untuk waktu yang relatif panjang.
Dalam
hal ini, saya pernah berkiprah dalam beragam
posisi akademis yang berbeda-beda di hadapan beliau. Dalam sudut pandang subyektif,
tampak terlihat perguliran pemikiran Profesor Sajogyo yang datang dari waktu ke
waktu, dari yang semula beraksen sosiologi pedesaan Indonesia yang empiris-kritis
berlanjut menjadi sosiologi pedesaan Indonesia kritis-aplikatif bagi kebijakan dan
praktek pembangunan pedesaan.
Profesor
Sajogyo dikenal sebagai Bapak Sosiologi Pedesaan Indonesia atau Bapak Ekonomi-Sosiologi
Indonesia sebagaimana disebut oleh Profesor Mubyarto, yang bukan hanya
meletakkan fondasi bagi tersedianya pengetahuan, alat-alat konseptual, dan
pendekatan yang memadai untuk memahami perubahan agraria di pedesaan Indonesia,
lebih dari itu, menunjukkan bagaimana sosiologi pedesaan Indonesia dapat memberi
sumbangan konkret yang layak dan bisa dikerjakan oleh para praktisi pembangunan
pedesaan. Beliau telah menunjukkan cara bagaimana kelangkaan pengetahuan tentang
masalah-masalah agraria di Indonesia, khususnya mengenai kehidupan lapisan
terlemah di pedesaan, dapat diisi dengan penelitian dan keterlibatan langsung secara
partisipatif bersama mereka yang lemah itu, sekaligus mengembangkan kemampuan
berdialog dengan segenap pihak yang memberi pengaruh bukan hanya pada kalangan
akademisi, tapi juga para praktisi lapangan dan pemegang kebijakan pemerintahan.
Dengan demikian, mudah dimengerti jika sosiologi pedesaan Sajogyo dapat
diterima dengan baik dalam proses-proses kebijakan di sejumlah badan
pemerintahan.
Ilustrasi
mengenai hal ini adalah andilnya kebijakan Usaha Perbaikan Gizi Keluarga (UPGK).
Pada 1972, ia memimpin survei UPGK selama dua tahun dengan melibatkan peneliti-peneliti
berbagai perguruan tinggi, bekerja sama dengan Departemen Kesehatan, Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional, dan UNICEF. Hasil kajiannya antara lain
disajikan menjadi panduan para kader program Taman Gizi, yakni kumpulan orang
yang berorganisasi meningkatkan gizi
anak balita dan keluarga. Perhatiannya ini mengantarkannya menjadi Ketua
Pergizi Pangan Indonesia pada 1978, yang berafiliasi dengan International Union
of Nutrition Science. Dari riset UPGK ini pulalah pada 1977 ia merumuskan pengukuran
garis kemiskinan: Garis Kemiskinan Sajogyo. Sumbangsih ini berhasil mengatasi
kemacetan metodologis dalam menilai dan mengukur kemiskinan, satu konsep
penting dalam kajian ekonomi dan sosial. Pengukuran berdasarkan kecukupan pangan
ini kemudian berkembang dan diadopsi sebagai kebijakan pemerintah dalam rumusan
lain sebagai food basket atau yang sering dikenal sebagai paket
kebutuhan dasar pangan empat sehat lima sempurna.
Fokus
dan tema gagasan Sajogyo selalu memperkaya dan mempertajam kerangka pembangunan
yang diagendakan pemerintah serta berusaha mempengaruhi arah dan keberpihakannya.
Namun tentu saja ia juga mengkritiknya dengan mengemukakan nasib golongan
paling lemah di pedesaan. Di sinilah kita menyaksikan Profesor Sajogyo sangatlah
peduli dan prihatin terhadap apa yang ditengarai oleh gurunya, Profesor W.F. Wertheim,
sebagai sociology of ignorance dari kebanyakan akademisi Indonesia dalam
memahami dan memposisikan lapis termiskin masyarakat pedesaan Indonesia,
yaitu
mereka yang tidak bertanah.
Karya
klasiknya pada 1973 berjudul Modernization without Development in Rural
Java
melakukan
evaluasi-kritik terhadap Revolusi Hijau. Telaah yang diajukan untuk acara badan
dunia FAO di Bangkok ini menunjukkan Revolusi Hijau—di sisi lain kesuksesan dari
swasembada beras waktu itu—ternyata hanya menguntungkan petani golongan atas
dan mempercepat proses hilangnya akses terhadap tanah para petani gurem dan
jatuhnya kebanyakan mereka menjadi lapis termiskin di pedesaan: petani tak
bertanah. Karya ini menjadi rujukan utama dalam kajian Green Revolution yang
terjadi di berbagai benua.
Selanjutnya,
pada 1976, tatkala isu Reforma Agraria atau land reform masih dianggap tabu,
Sajogyo secara halus tapi teguh mengusulkan kembali perlunya pemerintah memberikan
akses permanen buruh tani di desa-desa pada tanah melalui program penyediaan
tanah kolektif. Profesor Sajogyo menulis, “... (J)ika pemerintah punya kebijaksanaan
berpandangan jauh, potensi golongan buruh tani (kepala keluarga) sebanyak itu
di Jawa dapat dimobilisasi. Caranya? Dengan land reform!”
Pada
1980, Sajogyo memberi kontribusi gagasan yang disebut dengan Ekologi
Pedesaan. Melalui buku ini, beliau hendak menunjukkan dua hal. Pertama, bahwa
untuk memahami pedesaan di Indonesia, selain keniscayaan keragaman sejarah,
karakteristik, serta lapisan dan dimensi sosial ekonomi dan budayanya,
diperlukan pemahaman relasional yang baik antara “bentang alam”dan “bentang
sosial”sebagai potret utuh pedesaan di Indonesia itu sendiri. Kedua, bahwa segala
bentuk usaha untuk tujuan pembangunan ekonomi pedesaan mesti bertumpu pada
swadaya dan “tenaga dalam” yang ada di pedesaan. Artinya, dengan pemahaman
semacam ini, Profesor Sajogyo ingin mengingatkan pentingnya memastikan
keberlanjutan “siklus reproduksi” (sosial, ekonomi, dan budaya) di pedesaan.
Di
akhir karier akademisnya sebagai intelektual paripurna, Sajogyo menuliskan suatu
refleksi perjalanan hidupnya Dari Praktek ke Teori dan ke Praktek Berteori.
Dengan
merujuk pemikiran Robert Chambers, beliau menunjukkan jalan hidupnya “mendahulukan
yang terbelakang”, yang menurut saya ini uraian paling jelas mengenai kiprah
Bapak Sosiologi Pedesaan Indonesia tersebut. Lebih dari itu, ia melintasinya dengan
menganjurkan metode kerja praksis intelektual untuk perubahan nasib “golongan
paling lemah”di pedesaan, yakni mengedepankan hubungan dialektika yang tak
pernah henti antara teori dan praktek atau praktek dan teori.
Dalam
perspektif bidang keilmuan yang ditekuninya, sosiologi pedesaan, Sajogyo mengajak
para ilmuwan dan intelektual memiliki wawasan yang utuh dan komprehensif memahami
masyarakat di Indonesia. Ungkapannya yang sangat populer, mewakili watak
metodologis lain dari Profesor Sajogyo, adlah,“If you want to understand the
economy of my country... study my culture and our political system. If you want
to understand our culture and political system...study our economy.”
Warisan
intelektual Sajogyo adalah untukmasa depan studi agraria Indonesia. Untuk mendukung
cita-citanya itu, pada 2005, para murid, pengagum, kolega, dan keluarganya
berprakarsa mendirikan Sajogyo Institute, yang berkedudukan di kediamannya, Bogor.
Profesor Sajogyo mewakafkan harta benda melalui lembaga ini. Ia tak
henti-hentinya menjaga imajinasi dan selalu menyadarkan bahwa dunia agraris
adalah pelahir Indonesia, penghidup bagi sekian juta penduduk, baik di desa maupun
kota. Menyelamatkan Indonesia adalah membangun desa dengan segenap kedaulatan
manusia dan alat-alat produksinya.
Cita-cita
Sajogyo ini berkesinambungan dengan cita-cita para pendiri bangsa ini.
Cita-cita
itu adalah cita-cita besar kita semua, membangun Keindonesiaan yang Cerdas dan
Merdeka: “slamatkan tanahnya, slamatkan puteranya, pulaunya, lautnya semuanya. Indonesia
Raya, merdeka merdeka, hiduplah Indonesia Raya”. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar