Senjakala
Tuinstad Menteng
J.J. Rizal, PENELITI
SEJARAH
Sumber
: KORAN
TEMPO, 19
Desember 2011
Kalau ada yang bilang “a city without old building is like
people without remembrance,” berani sumpah, itulah Jakarta.
Bagaimana tidak kalau saben-saben terdengar ada saja bangunan
bersejarah yang dilenyapkan. Belum tiga bulan setelah satu gedung tua di Cikini
yang berkaitan erat dengan sejarah proklamasi dihancurkan, sudah santer lagi penghancuran salah satu bangunan khas Menteng dari 1930-an yang
sohor dengan sebutan “rumah cantik”.
Bangunan-bangunan tua di Jakarta bukan tanpa payung hukum sebagai
warisan sejarah. Ada rupa-rupa peraturan. Sebut saja mulai Monument Ordonantie
1931 sampai Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992 tentang benda cagar budaya. Bahkan
untuk kawasan Menteng diperkuat lagi dengan Keputusan Gubernur
Kepala Daerah DKI Jakarta Nomor D.IV-6098/d/33/1975, yang
disempurnakan
lagi melalui Peraturan Daerah DKI Jakarta Nomor 9 Tahun 1999
tentang pelestarian dan pemanfaatan lingkungan dan bangunan cagar budaya. Tapi
semua tinggal di atas kertas.
“Menteng is lost,” begitu kata Adolf Heuken sebagai
kronikus Jakarta, yang lama tinggal di Menteng, pada 2001. Heuken melihat
budaya korup Pemerintah Kota DKI Jakarta membuat orang kaya baru dan kaum menak
politik bersama arsitek-arsitek dekaden leluasa merajalela bikin bopeng wajah
historis Menteng sebagai
tuinstad atau kota taman. Para
antikuarian hitam ikut ambil untung dengan jadi penadah (kalau perlu mencuri) bagian-bagian
antik rumah-rumah lama Menteng yang mulai dirobohkan atau sengaja diabaikan
sampai waktunya dibangun istana-istana kaum aristokrasi uang dan menak politik.
Adalah benar Menteng digagas para arsitek terdidik pada awal abad
ke-20 sebagai permukiman modern pertama di Hindia Belanda.Tapi keterlibatan P.A.J.
Moojen (1879-1955) sebagai arsitek yang juga anggota Gemeenteraad atau Dewan
Kotapraja Batavia membuat Menteng mengarah pada permukiman modern yang bukan
hanya arsitekturnya ramah pada budaya lokal, tapi juga bagaimana menempatkan
suasana tropis berlingkungan hijau sebagai nilai terpenting.
Moojen sebagai anggota Commissie van toesich op het beheer van het
Land Menteng, yang ditugasi merencanakan dan membangun Nieuw Gondangdia
—nama awal Menteng —sebagai tuinstad atau kota taman di
atas tanah seluas
500 hektare. Untuk mengembangkan Nieuw Gondangdia pada 1912,
Moojen
mendirikan dan menjadi Direktur NV de Bouwploeg. Moojen mendirikan
bangunan kantor yang dirancangnya sangat manis untuk tempat bekerja para
arsitek membantu mengembangkan pemikiran tentang tuinstad Menteng
sebagai
terusan suasana Weltevreden atau sekitar Gambir yang sangat
dipengaruhi kota
khas Jawa.
Tidak jauh dari kantor de Bouwploeg, yang sejak 1985 sampai sekarang
dipakai sebagai Masjid Cut Meutiah, Moojen juga membangun Bataviasche unstkringgebouw.
Gedung inilah yang pada masa Orde Baru sohor sebagai gedung Imigrasi dan pada 1997
ditukar-guling dengan tanah-rumah di Kemayoran untuk dijadikan Museum Ibu Tien
Soeharto. Lantas, bersama jatuhnya Soeharto, niat itu pun lenyap dan terdengarlah
sayembara serta pelaksanaan pemugaran Kunstkringgebouw oleh pemerintah DKI Jakarta.
Saat itu banyak harapan bahwa karakter historis Kunstkringgebouw sebagai tempat
pameran seni dan temu intelektual akan dihidupkan kembali. Tapi, ironis,
setelah
selesai, malah dijadikan Buddha Bar. Kabarnya itu bisa terjadi
karena keterlibatan putri dua menak politik.
Protes pun terjadi, tapi bukan pada ketersinggungan betapa telah
terjadi pelecehan atas warisan sekaligus identitas sejarah Jakarta, melainkan pada
perasaan keterlanggaran salah satu agama. Lantas Buddha Bar pun berganti nama menjadi
Bistro Boulevard. Pencantuman nama “boulevard” memang mengingatkan pada
gedung Kunstkringgebouw itu, yang dirancang Moojen terletak pada ujung boulevard
utama daerah Nieuw Gondangdia.Tapi, ironisnya,
juga melupakan nilai historis Kunstkringgebouw, yang jelas-jelas
merupakan bangunan bersejarah yang dianggap sebagai karya pembuka arsitektur
modern Indonesia.
“Moojen adalah pelopor gaya indische bouwstijl, yang baru dan
dengan itu menduduki tempat sebagai arsitek sungguhan pertama di Hindia
Belanda,”
begitu H.P. Berlage sebagai mahaguru arsitek paling masyhur dan
berpengaruh di Belanda memuji Moojen. Bahkan, ketika pada 1923, Berlage berkunjung
ke Batavia, kesannya tentang cap Moojen di Menteng semakin positif.“ Gaya
bangunan vila modern dengan iklim tropis memberi kesan baik,” Berlage
menegaskan. Pada 1918, Moojen memang sudah meninggalkan pengerjaan
Menteng kepada sederetan nama arsitek baru, seperti F.J.Kubatz,
F.J.L. Ghijsels, J.F. van Haytema, dan H. van Essen, tapi konsepnya terus direalisasi.
Ketika kuasa militeristik Jepang datang pada 1942, Menteng sudah
menjelma menjadi tuinstad alias kota taman dengan kekayaan arsitekturnya
yang sohor punya wajah khas tiada duanya di Asia. Bahkan, setelah Indonesia
merdeka dan Jakarta resmi menjadi ibu kota, saat semangat anti-Belanda menguat
dalam bentuk penghancuran yang berbau kolonial, Sukarno malah meminta Menteng
dipertahankan. Kaveling-kaveling di Menteng yang masih kosong pun diisi dalam
gaya pra-Perang Dunia II oleh arsitek Han Groenewegen.
Tapi, bersama dijatuhkannya Sukarno dan bangkitnya Soeharto,
pelan-pelan Menteng sebagai city planning pertama Ibu Kota Jakarta mulai
digerogoti oleh kaum aristokrasi uang yang sohor disebut orang kaya baru dan
menak politik penderita hongerodeem atau busung lapar sejarah. Mereka
tidak mengerti old is gold, tapi old is odd. Dalam konteks
Menteng, sama sekali tiada pemahaman saving
the past for our future, karena mereka lebih melihatnya sebagai investasi
politik di masa depan yang menjanjikan jika dapat berada di lingkaran terdekat
kekuasaan Orde Baru.
Saat itu “Prabu”Soeharto sebagai penguasa Orde Baru memang tengah
membangun “keraton”di Jalan Cendana dan segera saja para abdinya berlomba-lomba
memasuki kawasan negara gung Menteng. Apalagi pada 1970-an itu juga ada oil
boom, yang membuat para elite mandi uang. Maka bukan hanya para elite kekuasaan,
tapi orang kaya baru pun berbondong-bondong memasuki kawasan Menteng. Sejak
itulah apa yang diceritakan Firman Lubis sebagai Anak Menteng dalam sebuah
kenang-kenangannya, Jakarta 1960-an, bahwa daerah mainnya itu masih
relatif bersih dan sepi, mulai berganti dengan keriuhan lalu lintas.
Firman terutama menekankan bagaimana jejak Menteng sebagai tuinstad
dengan rumah ramah lingkungan pelan-pelan menghilang. Banyak rumah peninggalan zaman kolonial dirombak, direnovasi, bahkan
dihancurkan diganti dengan rumah-rumah berarsitektur “aneh-aneh”dan norak. Tindakan
ini menandai era baru Menteng yang mulai dikuasai orang kaya baru dan para
menak politik baru yang kaya tapi berselera rendah, juga arogan karena rumahnya
dibangun tanpa meninggalkan secuil tanah pun untuk pekarangan.
Hilang pula ikon-ikon penting Menteng, seperti toko Li, Oranje
Nassau Apotheek,
Lapangan Voetbalbond Indische Omstreken, dan gedung apartemen unik
di ujung Jalan Sutan Sjahrir yang sangat penting untuk sejarah arsitektur. Menjamur
pembangunan gedung modern yang terlalu tinggi dan besar di Menteng dan
sekitarnya.
Menteng dalam masa senjakala. Is Menteng lost? Ya, jika pemerintah
dan warga Jakarta diam tanpa kepedulian dan keterlibatan menolak kota taman, tuinstad
Menteng yang historis sebagai identitas diubah menjadi dierentuin alias
kebun binatang utama tempat para binatang politik dan binatang ekonomi mempertontonkan
peradaban rendah mereka.●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar