Selasa, 20 Desember 2011

Senjakala Tuinstad Menteng


Senjakala Tuinstad Menteng
J.J. Rizal, PENELITI SEJARAH
Sumber : KORAN TEMPO, 19 Desember 2011



Kalau ada yang bilang “a city without old building is like people without remembrance,” berani sumpah, itulah Jakarta.

Bagaimana tidak kalau saben-saben terdengar ada saja bangunan bersejarah yang dilenyapkan. Belum tiga bulan setelah satu gedung tua di Cikini yang berkaitan erat dengan sejarah proklamasi dihancurkan, sudah santer lagi penghancuran salah satu bangunan khas Menteng dari 1930-an yang sohor dengan sebutan “rumah cantik”.

Bangunan-bangunan tua di Jakarta bukan tanpa payung hukum sebagai warisan sejarah. Ada rupa-rupa peraturan. Sebut saja mulai Monument Ordonantie 1931 sampai Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992 tentang benda cagar budaya. Bahkan untuk kawasan Menteng diperkuat lagi dengan Keputusan Gubernur
Kepala Daerah DKI Jakarta Nomor D.IV-6098/d/33/1975, yang disempurnakan
lagi melalui Peraturan Daerah DKI Jakarta Nomor 9 Tahun 1999 tentang pelestarian dan pemanfaatan lingkungan dan bangunan cagar budaya. Tapi semua tinggal di atas kertas.

Menteng is lost,” begitu kata Adolf Heuken sebagai kronikus Jakarta, yang lama tinggal di Menteng, pada 2001. Heuken melihat budaya korup Pemerintah Kota DKI Jakarta membuat orang kaya baru dan kaum menak politik bersama arsitek-arsitek dekaden leluasa merajalela bikin bopeng wajah historis Menteng sebagai
tuinstad atau kota taman. Para antikuarian hitam ikut ambil untung dengan jadi penadah (kalau perlu mencuri) bagian-bagian antik rumah-rumah lama Menteng yang mulai dirobohkan atau sengaja diabaikan sampai waktunya dibangun istana-istana kaum aristokrasi uang dan menak politik.

Adalah benar Menteng digagas para arsitek terdidik pada awal abad ke-20 sebagai permukiman modern pertama di Hindia Belanda.Tapi keterlibatan P.A.J. Moojen (1879-1955) sebagai arsitek yang juga anggota Gemeenteraad atau Dewan Kotapraja Batavia membuat Menteng mengarah pada permukiman modern yang bukan hanya arsitekturnya ramah pada budaya lokal, tapi juga bagaimana menempatkan suasana tropis berlingkungan hijau sebagai nilai terpenting.

Moojen sebagai anggota Commissie van toesich op het beheer van het Land Menteng, yang ditugasi merencanakan dan membangun Nieuw Gondangdia
—nama awal Menteng —sebagai tuinstad atau kota taman di atas tanah seluas
500 hektare. Untuk mengembangkan Nieuw Gondangdia pada 1912, Moojen
mendirikan dan menjadi Direktur NV de Bouwploeg. Moojen mendirikan bangunan kantor yang dirancangnya sangat manis untuk tempat bekerja para arsitek membantu mengembangkan pemikiran tentang tuinstad Menteng sebagai
terusan suasana Weltevreden atau sekitar Gambir yang sangat dipengaruhi kota
khas Jawa.

Tidak jauh dari kantor de Bouwploeg, yang sejak 1985 sampai sekarang dipakai sebagai Masjid Cut Meutiah, Moojen juga membangun Bataviasche unstkringgebouw. Gedung inilah yang pada masa Orde Baru sohor sebagai gedung Imigrasi dan pada 1997 ditukar-guling dengan tanah-rumah di Kemayoran untuk dijadikan Museum Ibu Tien Soeharto. Lantas, bersama jatuhnya Soeharto, niat itu pun lenyap dan terdengarlah sayembara serta pelaksanaan pemugaran Kunstkringgebouw oleh pemerintah DKI Jakarta. Saat itu banyak harapan bahwa karakter historis Kunstkringgebouw sebagai tempat pameran seni dan temu intelektual akan dihidupkan kembali. Tapi, ironis, setelah
selesai, malah dijadikan Buddha Bar. Kabarnya itu bisa terjadi karena keterlibatan putri dua menak politik.

Protes pun terjadi, tapi bukan pada ketersinggungan betapa telah terjadi pelecehan atas warisan sekaligus identitas sejarah Jakarta, melainkan pada perasaan keterlanggaran salah satu agama. Lantas Buddha Bar pun berganti nama menjadi Bistro Boulevard. Pencantuman nama “boulevard” memang mengingatkan pada gedung Kunstkringgebouw itu, yang dirancang Moojen terletak pada ujung boulevard utama daerah Nieuw Gondangdia.Tapi, ironisnya,
juga melupakan nilai historis Kunstkringgebouw, yang jelas-jelas merupakan bangunan bersejarah yang dianggap sebagai karya pembuka arsitektur modern Indonesia.

“Moojen adalah pelopor gaya indische bouwstijl, yang baru dan dengan itu menduduki tempat sebagai arsitek sungguhan pertama di Hindia Belanda,”
begitu H.P. Berlage sebagai mahaguru arsitek paling masyhur dan berpengaruh di Belanda memuji Moojen. Bahkan, ketika pada 1923, Berlage berkunjung ke Batavia, kesannya tentang cap Moojen di Menteng semakin positif.“ Gaya
bangunan vila modern dengan iklim tropis memberi kesan baik,” Berlage menegaskan. Pada 1918, Moojen memang sudah meninggalkan pengerjaan
Menteng kepada sederetan nama arsitek baru, seperti F.J.Kubatz, F.J.L. Ghijsels, J.F. van Haytema, dan H. van Essen, tapi konsepnya terus direalisasi.

Ketika kuasa militeristik Jepang datang pada 1942, Menteng sudah menjelma menjadi tuinstad alias kota taman dengan kekayaan arsitekturnya yang sohor punya wajah khas tiada duanya di Asia. Bahkan, setelah Indonesia merdeka dan Jakarta resmi menjadi ibu kota, saat semangat anti-Belanda menguat dalam bentuk penghancuran yang berbau kolonial, Sukarno malah meminta Menteng dipertahankan. Kaveling-kaveling di Menteng yang masih kosong pun diisi dalam gaya pra-Perang Dunia II oleh arsitek Han Groenewegen.

Tapi, bersama dijatuhkannya Sukarno dan bangkitnya Soeharto, pelan-pelan Menteng sebagai city planning pertama Ibu Kota Jakarta mulai digerogoti oleh kaum aristokrasi uang yang sohor disebut orang kaya baru dan menak politik penderita hongerodeem atau busung lapar sejarah. Mereka tidak mengerti old is gold, tapi old is odd. Dalam konteks Menteng, sama sekali tiada pemahaman  saving the past for our future, karena mereka lebih melihatnya sebagai investasi politik di masa depan yang menjanjikan jika dapat berada di lingkaran terdekat kekuasaan Orde Baru.

Saat itu “Prabu”Soeharto sebagai penguasa Orde Baru memang tengah membangun “keraton”di Jalan Cendana dan segera saja para abdinya berlomba-lomba memasuki kawasan negara gung Menteng. Apalagi pada 1970-an itu juga ada oil boom, yang membuat para elite mandi uang. Maka bukan hanya para elite kekuasaan, tapi orang kaya baru pun berbondong-bondong memasuki kawasan Menteng. Sejak itulah apa yang diceritakan Firman Lubis sebagai Anak Menteng dalam sebuah kenang-kenangannya, Jakarta 1960-an, bahwa daerah mainnya itu masih relatif bersih dan sepi, mulai berganti dengan keriuhan lalu lintas.

Firman terutama menekankan bagaimana jejak Menteng sebagai tuinstad dengan rumah ramah lingkungan pelan-pelan menghilang. Banyak rumah peninggalan zaman kolonial dirombak, direnovasi, bahkan dihancurkan diganti dengan rumah-rumah berarsitektur “aneh-aneh”dan norak. Tindakan ini menandai era baru Menteng yang mulai dikuasai orang kaya baru dan para menak politik baru yang kaya tapi berselera rendah, juga arogan karena rumahnya dibangun tanpa meninggalkan secuil tanah pun untuk pekarangan.

Hilang pula ikon-ikon penting Menteng, seperti toko Li, Oranje Nassau Apotheek,
Lapangan Voetbalbond Indische Omstreken, dan gedung apartemen unik di ujung Jalan Sutan Sjahrir yang sangat penting untuk sejarah arsitektur. Menjamur pembangunan gedung modern yang terlalu tinggi dan besar di Menteng dan sekitarnya.

Menteng dalam masa senjakala. Is Menteng lost? Ya, jika pemerintah dan warga Jakarta diam tanpa kepedulian dan keterlibatan menolak kota taman, tuinstad Menteng yang historis sebagai identitas diubah menjadi dierentuin alias kebun binatang utama tempat para binatang politik dan binatang ekonomi mempertontonkan peradaban rendah mereka. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar