Tantangan
dan Harapan Demokrasi (2)
R William Liddle, PROFESOR EMERITUS ILMU POLITIK THE OHIO
STATE UNIVERSITY
Sumber : REPUBLIKA, 17 Desember 2011
Yang terjadi pada zaman reformasi ini
bukanlah penerusan oligarki kompleks, melainkan sebuah proses fragmentasi
pemerintahan yang menciptakan ribuan penguasa sambil tidak mengubah dasar
ekonomi kapitalis pasar. Bagaimana mengatasinya?
Saran saya ada dua. Pertama, dalam jangka pendek kita memerlukan sebuah teori tindakan yang mampu menerangkan peran aktor dalam konteksnya sambil menyadari bahwa distribusi sumber daya politik tidak merata. Untuk itu, kita bisa belajar banyak dari jalan yang dirintis hampir 500 tahun lalu oleh filsuf politik Niccolo Machiavelli dan diteruskan pada zaman kita oleh empat ilmuwan politik Amerika: Richard E Neustadt, James MacGregor Burns, John W Kingdon, serta Richard J Samuels. Kedua, dalam jangka panjang, kita perlu mengembangkan dan menyebarluaskan berbagai macam sumber daya politik demi terciptanya pola distribusi yang lebih merata.
Pada zaman kita, pendekatan Machiavelli kepada studi kekuasaan, khususnya peran sang penguasa, diteruskan oleh ilmuwan politik Richard E Neustadt dan James MacGregor Burns. Dalam Presidential Power (1960), Neustadt melanjutkan fokus empiris Machiavelli kepada peran penguasa dalam bentuk presiden-presiden AS zaman.
Bagi Neustadt, kekuatan untuk meyakinkan (the power to persuade) merupakan sumber daya politik utama yang dimiliki atau bisa diciptakan seorang presiden. Keberhasilan program dan kebijakannya sangat bergantung pada kesediaan dan kesanggupannya meyakinkan tiga jenis orang: anggota pemerintahan, masyarakat, dan pemilih pada umumnya (termasuk pers dan lembaga-lembaga opini publik yang melaporkan dan ikut membentuk pendapat masyarakat pemilih).
"Esensi tugas persuasif presiden adalah meyakinkan orang-orang itu bahwa yang diinginkan Gedung Putih dari mereka adalah sama dengan apa yang seharusnya mereka perbuat demi kepentingan mereka sendiri dan demi kekuasaan mereka."
Berdasarkan penelitiannya tentang tiga presiden-Franklin Roosevelt, Harry Truman, dan Dwight Eisenhower-Neustadt menyimpulkan bahwa ada lima faktor yang menentukan keberhasilan atau kegagalan suatu kebijakan atau program presiden. Presiden sendiri harus terlibat sepenuhnya dalam proses pengambilan keputusannya. Kata-kata presiden harus unambiguous, tidak samar-samar. Pesan presiden harus disiarkan seluas-luasnya. Alat dan sumber daya yang tersedia untuk pelaksanaannya harus mencukupi. Dan, penerima pesan presiden harus mengakui kekuasaan dan keabsahannya sebagai pembuat kebijakan atau program bersangkutan.
Kesimpulan
Tantangan terbesar terhadap demokrasi bermutu pada masyarakat modern terdiri atas pembagian sumber daya politik yang tidak merata. Setidaknya, kalau demokrasi dimaknai sebagai kesetaraan politik antara semua warganegara, sebagaimana definisi Robert Dahl, salah satu pencipta tersohor teori demokrasi abad ke-20. Sayangnya, cita-cita itu sulit diwujudkan pada ekonomi kapitalis pasar, baik yang maju seperti Amerika maupun yang sedang berkembang seperti Indonesia.
Masalahnya secara ironis, kapitalisme pasar sekaligus merupakan dasar ekonomi mutlak buat negara demokratis modern sambil menggerogoti terus dasar politik negara tersebut. Serangan paling terkenal terhadap kapitalisme selama ini diluncurkan pada pertengahan abad ke-19 oleh teoretikus sosial Karl Marx yang mengutamakan perbenturan kelas selaku kekuatan dinamis dalam sejarah. Namun, Marx dan pengikutnya sampai abad ke-21 tidak banyak membantu kita memahami apa yang harus kita buat untuk memperbaiki demokrasi.
Contoh di Indonesia: tulisan-tulisan Richard Robison dan Vedi Hadiz. Selain yakin berlebihan terhadap peran perbenturan kelas, mereka menyepelekan mandirinya lembaga-lembaga demokrasi yang dijuluki demokrasi borjuis, demokrasi yang hanya melayani kepentingan kelas kapitalis.
Niccolo Machiavelli, filsuf politik Italia abad ke-16, lebih tepat selaku pemandu global abad ke-21 ketimbang Marx. Pendekatan Machiavelli terfokus pada peran individu sebagai aktor mandiri yang memiliki, menciptakan, dan memanfaatkan sumber daya politik.
Ia menawarkan kerangka berharga, terdiri atas konsep-konsep virtu dan fortuna, yang bisa dimanfaatkan untuk menciptakan teori tindakan baru pada zaman kita. Virtu, keterampilan atau kejantanan, berarti luas semua sumber daya yang berguna bagi aktor politik untuk mencapai tujuannya.
Fortuna berarti kans atau keberuntungan, tetapi dalam pengertian kondisi-kondisi alamiah dan sosial serta kejadian-kejadian yang dihadapi sang aktor, tanpa implikasi keharusan atau nasib. Kita juga diingatkan Machiavelli bahwa ada tensi, mungkin tak terhindarkan sepanjang masa, antara moralitas pribadi dan moralitas politik.
Teori tindakan Machiavelli diterapkan secara persuasif oleh sejumlah ilmuwan politik di Amerika pada paruh kedua abad ke-20 dan dasawarsa pertama abad ke-21. Richard Neustadt mengamati dari dekat tiga presiden Amerika: Franklin Roosevelt, Harry Truman, dan Dwight Eisenhower.
Bagi Neustadt, sumber daya politik terpenting seorang presiden yang mau berprestasi adalah the power to persuade, kekuatan untuk meyakinkan orang lain tentang kebijakan-kebijakannya. Neustadt menawarkan lima ukuran keberhasilan presidensial: keterlibatan pribadi sepenuh hati; pernyataan posisi yang tidak samar-samar; pesan yang disiarkan seluas-luasnya; persiapan pelaksanaan yang matang; serta pengakuan keabsahan presiden oleh kelompok-kelompok masyarakat yang terlibat atau berkepentingan.
James MacGregor Burns, intelektual dan aktivis kiri ternama, menulis tatkala Amerika sedang bergejolak akibat protes gerakan hak sipil minoritas Amerika-Afrika dan perlawanan luas terhadap perang Amerika di Vietnam. Dalam bukunya yang terbaik, Leadership, ia menciptakan konsep-konsep followership, kepengikutan, dan transforming leadership, kepemimpinan yang mengubah masyarakat secara mendasar. Perubahan yang mendasar bergantung pada pengejaran moralitas tinggi antara pemimpin dan pengikut secara intensif, bersama, dan terus-menerus. Burns menegaskan bahwa kepemimpinan tak terpisahkan dari moralitas, lalu memuji Mao Zedong selaku transforming leader.
Ilmuwan favorit saya selaku penerus tradisi pemikiran Machiavelli adalah John Kingdon, profesor ilmu politik kawakan di Universitas Michigan. Kingdon menerjemahkan konsep-konsep pokok Machiavelli dalam bahasa studi kebijakan umum dan ilmu politik empiris, perhatian utama saya sendiri sejak masa mahasiswa.
Kita diajak membayangkan proses pembuatan kebijakan umum yang terdiri atas tiga aliran penemuan masalah, penciptaan usul-usul kebijakan, dan kejadian-kejadian politik. Tiga aliran itu dipertemukan oleh wiraswastawan kebijakan yang peka terhadap terbuka dan tertutupnya jendela keputusan. Alangkah baiknya kalau buku Kingdon diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dan dipakai ilmuwan politik Indonesia untuk memperbaiki pengertian kita semua tentang hal-hal yang menghambat peningkatan mutu demokrasi.
Tokoh terakhir saya, Richard Samuels, pakar Jepang di Massachusetts Institute of Technology, menawarkan kerangka baru yang berbobot sambil menelusuri proses modernisasi abad ke-19 dan ke-20 di Jepang dan Italia. Tiga unsur utamanya: alat-alat mobilisasi yang diberi label membeli, menggertak, dan mengilhami; peran warisan dalam proses pengambilan keputusan; serta pelonggaran kendala yang konon dilakukan semua pemimpin yang berhasil mengubah sejarah.
Selaku negara-negara terlambat dalam proses modernisasi, boleh jadi Jepang dan Italia bermanfaat sebagai model buat Indonesia. Akhir kata, kita diingatkan Dahl bahwa penambahan dan pemerataan sumber daya politik demi tercapainya demokrasi bermutu merupakan masalah tersendiri. Baik di Indonesia maupun di Amerika, jurang pemisah tetap menganga antara yang mampu dan yang kurang mampu berpolitik.
Penelitian yang paling menjanjikan tentang masalah ini, atas nama pendekatan kemampuan, sedang dilakukan oleh sejumlah kecil ekonom dan filsuf dibimbing Amartya Sen dan Martha Nussbaum. Namun, kegiatan intelektual saja tak cukup. Selain itu, pemerataan sejati memerlukan tindakan politik yang dilakukan oleh orang-orang yang mengidamkan demokrasi bermutu. ●
Saran saya ada dua. Pertama, dalam jangka pendek kita memerlukan sebuah teori tindakan yang mampu menerangkan peran aktor dalam konteksnya sambil menyadari bahwa distribusi sumber daya politik tidak merata. Untuk itu, kita bisa belajar banyak dari jalan yang dirintis hampir 500 tahun lalu oleh filsuf politik Niccolo Machiavelli dan diteruskan pada zaman kita oleh empat ilmuwan politik Amerika: Richard E Neustadt, James MacGregor Burns, John W Kingdon, serta Richard J Samuels. Kedua, dalam jangka panjang, kita perlu mengembangkan dan menyebarluaskan berbagai macam sumber daya politik demi terciptanya pola distribusi yang lebih merata.
Pada zaman kita, pendekatan Machiavelli kepada studi kekuasaan, khususnya peran sang penguasa, diteruskan oleh ilmuwan politik Richard E Neustadt dan James MacGregor Burns. Dalam Presidential Power (1960), Neustadt melanjutkan fokus empiris Machiavelli kepada peran penguasa dalam bentuk presiden-presiden AS zaman.
Bagi Neustadt, kekuatan untuk meyakinkan (the power to persuade) merupakan sumber daya politik utama yang dimiliki atau bisa diciptakan seorang presiden. Keberhasilan program dan kebijakannya sangat bergantung pada kesediaan dan kesanggupannya meyakinkan tiga jenis orang: anggota pemerintahan, masyarakat, dan pemilih pada umumnya (termasuk pers dan lembaga-lembaga opini publik yang melaporkan dan ikut membentuk pendapat masyarakat pemilih).
"Esensi tugas persuasif presiden adalah meyakinkan orang-orang itu bahwa yang diinginkan Gedung Putih dari mereka adalah sama dengan apa yang seharusnya mereka perbuat demi kepentingan mereka sendiri dan demi kekuasaan mereka."
Berdasarkan penelitiannya tentang tiga presiden-Franklin Roosevelt, Harry Truman, dan Dwight Eisenhower-Neustadt menyimpulkan bahwa ada lima faktor yang menentukan keberhasilan atau kegagalan suatu kebijakan atau program presiden. Presiden sendiri harus terlibat sepenuhnya dalam proses pengambilan keputusannya. Kata-kata presiden harus unambiguous, tidak samar-samar. Pesan presiden harus disiarkan seluas-luasnya. Alat dan sumber daya yang tersedia untuk pelaksanaannya harus mencukupi. Dan, penerima pesan presiden harus mengakui kekuasaan dan keabsahannya sebagai pembuat kebijakan atau program bersangkutan.
Kesimpulan
Tantangan terbesar terhadap demokrasi bermutu pada masyarakat modern terdiri atas pembagian sumber daya politik yang tidak merata. Setidaknya, kalau demokrasi dimaknai sebagai kesetaraan politik antara semua warganegara, sebagaimana definisi Robert Dahl, salah satu pencipta tersohor teori demokrasi abad ke-20. Sayangnya, cita-cita itu sulit diwujudkan pada ekonomi kapitalis pasar, baik yang maju seperti Amerika maupun yang sedang berkembang seperti Indonesia.
Masalahnya secara ironis, kapitalisme pasar sekaligus merupakan dasar ekonomi mutlak buat negara demokratis modern sambil menggerogoti terus dasar politik negara tersebut. Serangan paling terkenal terhadap kapitalisme selama ini diluncurkan pada pertengahan abad ke-19 oleh teoretikus sosial Karl Marx yang mengutamakan perbenturan kelas selaku kekuatan dinamis dalam sejarah. Namun, Marx dan pengikutnya sampai abad ke-21 tidak banyak membantu kita memahami apa yang harus kita buat untuk memperbaiki demokrasi.
Contoh di Indonesia: tulisan-tulisan Richard Robison dan Vedi Hadiz. Selain yakin berlebihan terhadap peran perbenturan kelas, mereka menyepelekan mandirinya lembaga-lembaga demokrasi yang dijuluki demokrasi borjuis, demokrasi yang hanya melayani kepentingan kelas kapitalis.
Niccolo Machiavelli, filsuf politik Italia abad ke-16, lebih tepat selaku pemandu global abad ke-21 ketimbang Marx. Pendekatan Machiavelli terfokus pada peran individu sebagai aktor mandiri yang memiliki, menciptakan, dan memanfaatkan sumber daya politik.
Ia menawarkan kerangka berharga, terdiri atas konsep-konsep virtu dan fortuna, yang bisa dimanfaatkan untuk menciptakan teori tindakan baru pada zaman kita. Virtu, keterampilan atau kejantanan, berarti luas semua sumber daya yang berguna bagi aktor politik untuk mencapai tujuannya.
Fortuna berarti kans atau keberuntungan, tetapi dalam pengertian kondisi-kondisi alamiah dan sosial serta kejadian-kejadian yang dihadapi sang aktor, tanpa implikasi keharusan atau nasib. Kita juga diingatkan Machiavelli bahwa ada tensi, mungkin tak terhindarkan sepanjang masa, antara moralitas pribadi dan moralitas politik.
Teori tindakan Machiavelli diterapkan secara persuasif oleh sejumlah ilmuwan politik di Amerika pada paruh kedua abad ke-20 dan dasawarsa pertama abad ke-21. Richard Neustadt mengamati dari dekat tiga presiden Amerika: Franklin Roosevelt, Harry Truman, dan Dwight Eisenhower.
Bagi Neustadt, sumber daya politik terpenting seorang presiden yang mau berprestasi adalah the power to persuade, kekuatan untuk meyakinkan orang lain tentang kebijakan-kebijakannya. Neustadt menawarkan lima ukuran keberhasilan presidensial: keterlibatan pribadi sepenuh hati; pernyataan posisi yang tidak samar-samar; pesan yang disiarkan seluas-luasnya; persiapan pelaksanaan yang matang; serta pengakuan keabsahan presiden oleh kelompok-kelompok masyarakat yang terlibat atau berkepentingan.
James MacGregor Burns, intelektual dan aktivis kiri ternama, menulis tatkala Amerika sedang bergejolak akibat protes gerakan hak sipil minoritas Amerika-Afrika dan perlawanan luas terhadap perang Amerika di Vietnam. Dalam bukunya yang terbaik, Leadership, ia menciptakan konsep-konsep followership, kepengikutan, dan transforming leadership, kepemimpinan yang mengubah masyarakat secara mendasar. Perubahan yang mendasar bergantung pada pengejaran moralitas tinggi antara pemimpin dan pengikut secara intensif, bersama, dan terus-menerus. Burns menegaskan bahwa kepemimpinan tak terpisahkan dari moralitas, lalu memuji Mao Zedong selaku transforming leader.
Ilmuwan favorit saya selaku penerus tradisi pemikiran Machiavelli adalah John Kingdon, profesor ilmu politik kawakan di Universitas Michigan. Kingdon menerjemahkan konsep-konsep pokok Machiavelli dalam bahasa studi kebijakan umum dan ilmu politik empiris, perhatian utama saya sendiri sejak masa mahasiswa.
Kita diajak membayangkan proses pembuatan kebijakan umum yang terdiri atas tiga aliran penemuan masalah, penciptaan usul-usul kebijakan, dan kejadian-kejadian politik. Tiga aliran itu dipertemukan oleh wiraswastawan kebijakan yang peka terhadap terbuka dan tertutupnya jendela keputusan. Alangkah baiknya kalau buku Kingdon diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dan dipakai ilmuwan politik Indonesia untuk memperbaiki pengertian kita semua tentang hal-hal yang menghambat peningkatan mutu demokrasi.
Tokoh terakhir saya, Richard Samuels, pakar Jepang di Massachusetts Institute of Technology, menawarkan kerangka baru yang berbobot sambil menelusuri proses modernisasi abad ke-19 dan ke-20 di Jepang dan Italia. Tiga unsur utamanya: alat-alat mobilisasi yang diberi label membeli, menggertak, dan mengilhami; peran warisan dalam proses pengambilan keputusan; serta pelonggaran kendala yang konon dilakukan semua pemimpin yang berhasil mengubah sejarah.
Selaku negara-negara terlambat dalam proses modernisasi, boleh jadi Jepang dan Italia bermanfaat sebagai model buat Indonesia. Akhir kata, kita diingatkan Dahl bahwa penambahan dan pemerataan sumber daya politik demi tercapainya demokrasi bermutu merupakan masalah tersendiri. Baik di Indonesia maupun di Amerika, jurang pemisah tetap menganga antara yang mampu dan yang kurang mampu berpolitik.
Penelitian yang paling menjanjikan tentang masalah ini, atas nama pendekatan kemampuan, sedang dilakukan oleh sejumlah kecil ekonom dan filsuf dibimbing Amartya Sen dan Martha Nussbaum. Namun, kegiatan intelektual saja tak cukup. Selain itu, pemerataan sejati memerlukan tindakan politik yang dilakukan oleh orang-orang yang mengidamkan demokrasi bermutu. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar