Tangis
Soekarno untuk Papua
Djoko Pitono, JURNALIS, PENULIS BUKU SOEKARNO, OBOR YANG
TAK PERNAH PADAM
Sumber : SUARA MERDEKA, 8 Desember 2011
Soekarno
telah lama tiada. Bapak Bangsa itu wafat 1970, hampir lima tahun setelah
menghadapi ‘’kudeta merangkak’’ oleh Mayjen Soeharto, orang yang diberinya
kepercayaan.
Sebagai tokoh bangsa ini keberanian Soekarno sangatlah terkenal,
hal yang mengantarkannya dari penjara ke penjara kolonial Belanda. Selama
menjadi presiden, Bung Karno berkali-kali menghadapi upaya pembunuhan, termasuk
oleh unsur asing (Barat) yang tidak menyukainya. ‘’Go to hell with your aid,’’
seru Bung Karno kepada Amerika Serikat, tatkala mau memberikan bantuan namun
dengan berbagai syarat.
Tetapi
Bung Karno juga dikenal mudah menangis melihat kemiskinan dan kesengsaraan
rakyatnya. Dalam bukunya yang baru terbit, Creeping Coup d’Etat Mayjen Soeharto
(2011), Sukmawati Soekarnoputri bahkan mengisahkan ayahnya pernah dua kali
menangis sesenggukan ketika menjalani tahanan rumah. Tangisan yang kedua
disertai keluhan bagaimana dirinya bisa diperlakukan demikian oleh bangsa sendiri.
Sekarang,
sebagian kalangan mungkin membayangkan Bung Karno menangis di alam baka. Ya,
dia boleh jadi menangis melihat centang-perenang negerinya, termasuk pergolakan
di Papua Barat (dulu Irian Barat), wilayah NKRI yang sejumlah penduduknya
dilaporkan ingin melepaskan diri.
Kenangan
terhadap Soekarno rasanya tak terhindarkan. Praktis selama 20 tahun menjadi
pemimpin RI, sebagian besar waktunya habis untuk memikirkan Papua Barat yang
masih dikuasai oleh Belanda sejak pengakuan negeri itu pada 1949.
Ketika
diundang berkunjung ke AS pada 1956 dan berpidato di depan sidang gabungan
Kongres AS, Soekarno menggunakannya untuk menyampaikan sikap. Dalam pidato yang
mendapat tepukan tangan spontan 26 kali itu, ia antara lain mengatakan bahwa
kemerdekaan Indonesia belum sempurna manakala Irian Barat belum kembali ke
pangkuan. ‘’Garam kemerdekaan belum lagi sempurna rasanya bagi kami sebelum
Indonesia kembali bersatu di bawah naungan kemerdekaan yang menjadi hak paling
asasi dari seluruh manusia.’’
Setelah
melalui jalan diplomasi panjang dan berliku, Belanda tetap tidak bersedia
meninggalkan Papua Barat sehingga kesabaran Soekarno habis. Dalam pidato 17
Agustus 1960, keluarlah deklarasinya yang terkenal menyangkut wilayah tersebut.
Dalam bukunya, Indonesia: The Possible Dreams (1971), mantan Dubes AS untuk
Indonesia Howard Palfrey Jones melukiskan drama dalam pidato Soekarno.
Jones
menuturkan, dalam pidato sekitar 2 jam 30 menit itu, Soekarno membagikan teks
pidato yang ada bagian kosongnya menjelang akhir. Para pengamat pun meramalkan
ada pengumuman penting. Itu benar. Dalam momen puncaknya, Soekarno mengambil
napas panjang, kemudian mengatakan, salah satunya, ‘’Pagi ini saya perintahkan
menteri luar negeri memutuskan hubungan diplomatik dengan Belanda.’’
Sekitar
500.000 orang yang memadati Gelora Bung Karno di Jakarta saat itu
bersorak-sorai, sementara puluhan wartawan berlarian keluar menelepon kantor
mereka dan memberitakan peristiwa bersejarah tersebut. Melalui langkah militer
Indonesia, termasuk penggelaran kekuatan laut yang mendapat banyak bantuan
militer dari Uni Soviet, pemerintah Belanda akhirnya bersedia melepaskan Irian
Barat pada 1 Mei 1963.
Seperti
George Washington menekuk Inggris, ‘’George Washington of Indonesia’’ (pujian
John F Kennedy untuk Bung Karno) itu pun berhasil menuntaskan pengusiran
Belanda.
Komunikasi Publik
Pergolakan
di Papua Barat dewasa ini sungguh memprihatinkan. Ada banyak penyebab, antara
lain kurangnya perhatian pemerintah pusat pada upaya peningkatan kesejahteraan
masyarakat Papua Barat. Ada pabrik tambang raksasa Freeport, tetapi ironisnya
kemiskinan dan keterbelakangan merajalela di wilayah itu. Namun ada hal-hal
lain yang perlu pula lebih diperhatikan, yakni adanya faktor asing yang
bermimpi mengusai wilayah itu karena sumber alamnya luar biasa. Mereka
menggunakan isu kesenjangan ekonomi, sosial, budaya, dan agama untuk
mengobarkan ketidakpuasan.
Keadaan
seperti itu diperparah oleh sedikitnya kajian tentang masyarakat Papua Barat
oleh para ahli Indonesia. Mereka yang tertarik justru orang asing, termasuk
misionaris. Buku dan jurnal yang beredar umumnya juga cenderung menunjukkan
kurangnya perhatian pemerintah.
Lebih
menyedihkan lagi adalah buruknya komunikasi publik pejabat terkait dengan
keadaan di Papua Barat. Persis dengan buruknya komunikasi publik para menteri
seperti dikeluhkan SBY menyangkut runtuhnya Jembatan Kartanegara di Tenggarong,
Kalimatan Timur.
Presiden
SBY berkali-kali mengingatkan pembantunya tentang pentingnya komunikasi publik.
Sekarang kita menunggu apakah segera ada tindakan nyata untuk meningkatkan
perhatian pada masyarakat Papua Barat. Untuk itu, diperlukan suatu komunikasi
publik yang andal, baik menyangkut orang dan sistemnya.
Mungkin
kita bermimpi munculnya tokoh pemersatu sekaliber Soekarno. Mimpi itu sah-sah
saja, meskipun mungkin ada yang menyebut hanya utopia. Bukan karena apa.
Soekarno adalah fenomena istimewa, juga bagi rakyat di Papua Barat.
Banyak
orang yang mungkin heran, mengapa gambar Soekarno dikoleksi ribuan orang hingga
kini, melintasi batas etnik, agama, dan generasi. Fotonya terpasang di dinding
rumah, bahkan dasbor mobil dan taksi. Di wilayah Indonesia yang membentang
5.000 km, tulis Asiaweek, praktis hanya ada satu nama sinonim dengan
nasionalisme Indonesia: Soekarno. Pendiri negara dan arsitek kemerdekaan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar