Kamis, 08 Desember 2011

Menaruh Harapan pada Pimpinan Baru KPK

Menaruh Harapan pada Pimpinan Baru KPK
W. Riawan Tjandra, DIREKTUR PROGRAM PASCASARJANA DAN DOSEN FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS ATMA JAYA YOGYAKARTA 
Sumber : SINDO, 8 Desember 2011



Negeri yang dulunya melahirkan para pemimpin perjuangan kemerdekaan yang heroik, empatik, dan asketik ini kini nyaris tersandera oleh berbagai perilaku koruptif.

Di tengah gegap gempita pertumbuhan ekonomi yang sempat menguat secara positif pada 2009 silam,ternyata Indonesia merupakan negara paling korup dari 16 negara Asia Pasifik yang menjadi tujuan investasi para pelaku bisnis. Itulah hasil survei pelaku bisnis yang pernah dirilis pada bulan Maret 2010 oleh perusahaan konsultan Political & Economic Risk Consultancy (PERC) yang berbasis di Hong Kong.

Jika menengok secara historis ke belakang, kehancuran perekonomian republik ini pada 1997–1998 tidak terlepas dari perilaku korup chronic capitalism. Itu adalah suatu tindakan para pejabat bersama para konglomerat yang mementingkan urusan finansial pribadi/ kelompok (lokal maupun asing) dibandingkan kepentingan negara. Mereka yang berada di lingkar kekuasaan memanfaatkan segala fasilitas untuk memperkaya diri dengan cara-cara yang tidak manusiawi.

Praktik mark-up, proyek fiktif, kolusi, dan nepotisme tumbuh subur di episentrum kekuasaan. Merespons aspirasi yang berkembang di masa Reformasi 1998 di era pemerintah Megawati, dirancanglah sebuah undang-undang untuk mendirikan lembaga yang memiliki kewenangan luas, independen, serta bebas dari kekuasaan mana pun dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi.

Ide tersebut kemudian dituangkan dalam UU 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Melalui UU 30 Tahun 2002, berdirilah lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi atau yang kini lebih dikenal sebagai KPK pada tanggal 29 Desember 2003.

Harapan

Pascapendirian KPK, secara berangsur-angsur tingkat kepercayaan masyarakat terhadap penyelenggaraan negara kian meningkat.Jika menengok sepak terjang KPK sejak didirikannya, terlihat bahwa lembaga tersebut—terlepas dari masih ada beberapa kelemahannya— telah mampu secara bertahap membangun budaya bersih di lingkungan kekuasaan para penyelenggara negara.

Proses pemilihan para pemimpin baru KPK RI saat ini— yang oleh banyak pihak dinilai sarat dengan muatan politis— sebenarnya harus dikembalikan pada mekanisme seleksi dan pemilihan para pemimpin KPK dalam UU No 30 Tahun 2002 tentang KPK. Aturan itu memang menempatkan finalisasi proses pemilihan para pemimpin lembaga antikorupsi itu di tangan DPR.

Mekanisme tersebut semula tak lepas dari situasi politik pascareformasi yang mengharapkan peran DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat untuk menjadi pengawal demokrasi pascareformasi. Namun, rupanya kini aspirasi masyarakat mengharapkan perlunya dipikir desain baru sistem pemilihan para pemimpin KPK agar ke depan lebih menjadikannya independen sebagai lembaga superbodi dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi.

Lembaga antikorupsi tersebut selama ini tak lepas dari upaya pelemahan yang antara lain dilakukan dalam bentuk upaya pengerdilan kewenangan penyadapan KPK, upaya pembekuan fungsi penyidikan dan penuntutan KPK, penarikan personel penyidik dan auditor, ancaman pengeboman Gedung KPK dan penempatan sniper terhadap pejabat KPK, judicial review UU KPK ke MK yang telah dilakukan lebih dari 20 kali,dan yang juga pernah serta terus dicoba dilakukan adalah upaya rekayasa hukum terhadap para pimpinan KPK.

Praktik negosiasi politik oleh DPR dalam ”sandiwara” rapat konsultasi antara DPR dan pimpinan tiga lingkungan penegak hukum di saat KPK mulai merambah dugaan korupsi di lingkungan Badan Anggaran (Banggar) DPR perlu ditambahkan sebagai bagian dari sederet upaya pelemahan KPK di atas.

Telah terpilihnya 4 pimpinan baru KPK yang terdiri atas Abraham Samad, Bambang Widjojanto, Adnan Pandu Praja, dan Zulkarnaen untuk menemani Busyro Muqoddas dan Abraham Samad sebagai ketua yang baru tentu membawa publik berharap agar KPK tetap menjadi trigger dalam upaya pemberantasan korupsi.

Perlu ada skala prioritas dalam menyusun desain pemberantasan korupsi selama kepemimpinan mereka lima tahun mendatang dan dilaksanakan sungguh-sungguh secara akuntabel. KPK harus menghindari kesan adanya tebang pilih dalam pemberantasan korupsi akibat tidak tuntasnya penanganan beberapa kasus yang selama ini diindikasikan memiliki kaitan dengan kepentingan elite politik tertentu.

Jika melihat kuatnya aroma politik dalam proses pemilihan para pemimpin KPK, dalam kepemimpinan para ketua baru KPK kali ini bukan tak mungkin tekanan politik terhadap KPK akan tetap dicoba untuk dilakukan oleh tangan-tangan politik yang tak kelihatan.

Maka,sangat penting bagi KPK untuk memperkuat jejaring (networking) dengan berbagai pihak yang memiliki kesamaan visi dengan KPK dalam pemberantasan korupsi seperti perguruan tinggi, LSM, tokohtokoh antikorupsi di semua lingkungan kekuasaan negara (legislatif, eksekutif, dan yudikatif).

KPK untuk tahap awal dalam menyusun target pemberantasan korupsi bisa mempertimbangkan Inpres No 9 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi 2011 sebagai upaya untuk mendesain target pemberantasan korupsi di lingkungan eksekutif.

Korupsi yang sudah merusak sendi-sendi kekuasaan negara merupakan kejahatan luar biasa (extraordinary crime) yang hanya bisa diberantas jika KPK sebagai lembaga superbodi di bidang pencegahan dan pemberantasan korupsi berani berpikir out of the box dan bertindak dengan cara-cara luar biasa pula.

Untuk itu hukum acara konvensional penanganan tindak pidana dalam KUHAP sudah tak memadai lagi untuk mengimbangi kecanggihan praktikpraktik korup yang sudah merambah seluruh pilar kekuasaan negara yang tak jarang berkelindan dengan praktik bisnis kotor dan permainan politik kekuasaan.

Dalam hal ini benarlah apa yang dikatakan Busyro Muqqodas bahwa korupsi sudah seperti raksasa yang menakutkan. Jumlah penduduk miskin di Indonesia telah mencapai angka tak kurang dari 31. 200.000 jiwa. Ini disebabkan negara gagal menyantuni para fakir miskin sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 34 ayat (1) UUD Negara RI 1945. Hal itu utamanya terjadi karena adanya praktik-praktik multilevel corruption di berbagai lingkungan penyelenggara negara.

Lahirnya UU No 13 Tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin yang merupakan wujud komitmen negara untuk melaksanakan kewajiban sosialnya hanya bisa berjalan efektif jika seluruh uang rakyat dalam APBN dan berbagai APBD tak dikorupsi dengan berbagai modus seperti selama ini dilakukan. Upaya pengentasan masyarakat dari kemiskinan hanya menjadi pepesan kosong jika tanpa didukung langkah efektif pemberantasan korupsi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar