Sihir
“Daya Saing”
Rahmat Pramulya, DOSEN DI UNIVERSITAS TEUKU UMAR, MEULABOH, ACEH
Sumber
: SUARA
KARYA, 15
Desember 2011
Daya saing seolah telah
menjadi kata kunci sakti. Dengan jargon daya saing, seolah semua harus
mengarahkan perhatian kepada prasyarat-prasyarat agar dapat mengantongi bahkan
memenangkan persaingan global.
Daya saing bak 'dewa'
yang diagung-agungkan. Jargon daya saing sepintas memang tampak apik.
Menggunakan ragam indikator yang tampak valid sehingga mampu menyihir dunia,
mulai dari kalangan pemerintah, akademisi, pebisnis, hingga politisi. Dunia
kemudian didorong untuk bersama-sama mengejar indikator-indikator tersebut.
Betulkah konsep daya
saing seindah yang ditangkap selama ini oleh banyak bangsa di dunia? Jika kita
lakukan penelusuran, mantra daya saing ini sengaja dihembuskan oleh barisan
pakar ekonomi yang pro-liberal (kaum neolib). Kita pun latah terbawa arus
tuntutan daya saing ini.
Menarik sekali apa yang
ditulis Eriyatno (2011) dalam bukunya berjudul Membangun Ekonomi Komparatif
tentang pentingnya paradigma ekonomi domestik yang lebih mementingkan
swasembada dan swadaya untuk produk-produk strategis, terutama di sektor pangan
dan energi. Dikatakannya, meskipun Indonesia tetap dalam jalur partisipatif
terhadap pasar global, tetapi masih tetap harus mengkhususkan pada komoditas
yang menyangkut harkat hidup orang banyak dan pemanfaatan sumber daya lokal.
Upaya ini tentu sangat berseberangan dengan paham neolib yang mengedepankan
globalisasi perdagangan dan pencegahan aturan proteksi.
Ekonomi Komparatif
Menurut analisis ini,
penguatan ekonomi domestik yang mampu meredam gejolak harga perdagangan antar-negara
akan membangun interkoneksi dari pusat-pusat ekonomi lokal sehingga mengurangi
kesenjangan antar-daerah. Tindakan ini sekaligus memperkokoh bangunan negara.
Strategi ekonomi
komparatif lebih memperhatikan komoditas unggulan daerah seperti hasil bumi,
hasil tambang, dan produk kesenian daripada sekuat tenaga dan ngoyo membangun
produk-produk industri untuk bersaing di pasaran dunia, seperti tekstil, mobil,
pesawat udara, dan lain-lain yang menurut kaum neolib merupakan pilihan cerdas
terhadap suatu proses kebijakan globalisasi.
Model ekonomi komparatif
yang diajukan Eriyatno bisa dirujuk sebagai upaya solusi permasalahan bangsa
dengan perluasan lapangan kerja, penanggulangan kemiskinan, ketersediaan pangan
dan energi, kesehatan masyarakat, serta pemerataan hasil pembangunan ke daerah.
Berbeda dengan ekonomi neolib yang penggerak utamanya adalah untuk menghasilkan
uang dan menggunakan uang untuk menghasilkan uang bagi siapa pun yang punya
uang, ekonomi komparatif lebih ditujukan untuk membina kehidupan dengan
memanfaatkan sumber daya yang tersedia untuk mencukupi kebutuhan masyarakat.
Terkait dengan tujuan
investasi, kaum neolib memandang bahwa tujuan investasi adalah untuk
memaksimalkan keuntungan swasta. Dengan kata lain, peran keuntungan (laba)
adalah untuk memaksimalkan tujuan akhir. Sementara ekonomi komparatif memandang
tujuan investasi adalah untuk meningkatkan hasil yang bermanfaat serta
menjadikan keuntungan (laba) sebagai suatu cara untuk mempertahankan daya
hidup.
Ekonomi komparatif
berupaya untuk memutar haluan kebijakan ekonomi yang selama ini mengarah pada
peningkatan kekayaan yang bersifat semu ke arah pembentukan kekayaan yang
bersifat riil. Dicontohkan Eriyatno (2011), apabila kita ingin memaksimalkan
keuntungan perusahaan, maka pengukuran kinerja ekonomi dengan pertumbuhan
produk domestik bruto (PDB) merupakan langkah yang masuk akal.
Namun, apabila tujuan
pembangunan adalah kesehatan penduduk dan pelestarian alam, maka penggunaan PDB
sebagai indikator untuk mengukur kinerja ekonomi adalah langkah salah. Itu
karena kebijakan yang ditetapkan malah mempromosikan pertumbuhan kekayaan semu
atas pengorbanan kesejahteraan rakyat dan lingkungan yang riil.
Penggunaan indikator
saham di bursa untuk kinerja sektor riil seperti industri justru bisa mengarah
kepada jebakan analisis. Tentu saja hal ini sangat tidak cocok untuk digunakan
di Indonesia.
Sudah semestinya
indikator finansial digeser ke indikator kesejahteraan yang nyata seperti
tingkat kematian anak, tingkat kecukupan gizi, kejahatan remaja dan lain-lain
yang terkait kesejahteraan masyarakat lokal. Sementara untuk sistem alam, akan
lebih tepat jika yang dijadikan ukuran bagi kesehatan lingkungan adalah tingkat
biodiversitas, emisi gas, pencemaran lingkungan, tata guna lahan dan
konservasi.
Yang tak kalah
pentingnya adalah soal kedaulatan ekonomi negara. Penguatan potensi nasional
dalam hubungan antar negara memang sangat diperlukan agar dapat bersaing secara
setara, namun kondisi potensi nasional saat ini yang masih sangat lemah telah
membuat ketergantungan tehadap para pemodal besar dari luar negeri untuk
investasi di Negara kita sangat besar. Situasi ini menjadikan kedaulatan
ekonomi nasional terpuruk. Menjadi hal penting menjaga kedaulatan ekonomi
nasional yang tali-temali dengan kedaulatan politik.
Mengamini pandangan
ekonom kerakyatan, Prof Mubyarto, bahwa kemandirian telah menjadi tuntutan
politis bagi Indonesia merdeka. Kemandirian adalah bagian integral dan makna
merdeka itu sendiri. Tidak ada kemerdekan yang genuine tanpa kemandirian.
Apabila kemerdekaan memiliki suatu makna, adalah karena kemandirian memberikan
martabat bagi bangsa yang memangku kemerdekaan itu. Martabat bangsa merdeka
tidak tergantung pada bangsa lain, tidak berada dalam protektorat tidak dalam
posisi tersubordinasi. Kemandirian adalah martabat yang diraih sebagai hasil
perjuangan berat. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar