Kamis, 15 Desember 2011

Sihir “Daya Saing”


Sihir “Daya Saing”
Rahmat Pramulya, DOSEN DI UNIVERSITAS TEUKU UMAR, MEULABOH, ACEH
Sumber : SUARA KARYA, 15 Desember 2011



Daya saing seolah telah menjadi kata kunci sakti. Dengan jargon daya saing, seolah semua harus mengarahkan perhatian kepada prasyarat-prasyarat agar dapat mengantongi bahkan memenangkan persaingan global.

Daya saing bak 'dewa' yang diagung-agungkan. Jargon daya saing sepintas memang tampak apik. Menggunakan ragam indikator yang tampak valid sehingga mampu menyihir dunia, mulai dari kalangan pemerintah, akademisi, pebisnis, hingga politisi. Dunia kemudian didorong untuk bersama-sama mengejar indikator-indikator tersebut.

Betulkah konsep daya saing seindah yang ditangkap selama ini oleh banyak bangsa di dunia? Jika kita lakukan penelusuran, mantra daya saing ini sengaja dihembuskan oleh barisan pakar ekonomi yang pro-liberal (kaum neolib). Kita pun latah terbawa arus tuntutan daya saing ini.

Menarik sekali apa yang ditulis Eriyatno (2011) dalam bukunya berjudul Membangun Ekonomi Komparatif tentang pentingnya paradigma ekonomi domestik yang lebih mementingkan swasembada dan swadaya untuk produk-produk strategis, terutama di sektor pangan dan energi. Dikatakannya, meskipun Indonesia tetap dalam jalur partisipatif terhadap pasar global, tetapi masih tetap harus mengkhususkan pada komoditas yang menyangkut harkat hidup orang banyak dan pemanfaatan sumber daya lokal. Upaya ini tentu sangat berseberangan dengan paham neolib yang mengedepankan globalisasi perdagangan dan pencegahan aturan proteksi.

Ekonomi Komparatif

Menurut analisis ini, penguatan ekonomi domestik yang mampu meredam gejolak harga perdagangan antar-negara akan membangun interkoneksi dari pusat-pusat ekonomi lokal sehingga mengurangi kesenjangan antar-daerah. Tindakan ini sekaligus memperkokoh bangunan negara.

Strategi ekonomi komparatif lebih memperhatikan komoditas unggulan daerah seperti hasil bumi, hasil tambang, dan produk kesenian daripada sekuat tenaga dan ngoyo membangun produk-produk industri untuk bersaing di pasaran dunia, seperti tekstil, mobil, pesawat udara, dan lain-lain yang menurut kaum neolib merupakan pilihan cerdas terhadap suatu proses kebijakan globalisasi.

Model ekonomi komparatif yang diajukan Eriyatno bisa dirujuk sebagai upaya solusi permasalahan bangsa dengan perluasan lapangan kerja, penanggulangan kemiskinan, ketersediaan pangan dan energi, kesehatan masyarakat, serta pemerataan hasil pembangunan ke daerah. Berbeda dengan ekonomi neolib yang penggerak utamanya adalah untuk menghasilkan uang dan menggunakan uang untuk menghasilkan uang bagi siapa pun yang punya uang, ekonomi komparatif lebih ditujukan untuk membina kehidupan dengan memanfaatkan sumber daya yang tersedia untuk mencukupi kebutuhan masyarakat.

Terkait dengan tujuan investasi, kaum neolib memandang bahwa tujuan investasi adalah untuk memaksimalkan keuntungan swasta. Dengan kata lain, peran keuntungan (laba) adalah untuk memaksimalkan tujuan akhir. Sementara ekonomi komparatif memandang tujuan investasi adalah untuk meningkatkan hasil yang bermanfaat serta menjadikan keuntungan (laba) sebagai suatu cara untuk mempertahankan daya hidup.
Ekonomi komparatif berupaya untuk memutar haluan kebijakan ekonomi yang selama ini mengarah pada peningkatan kekayaan yang bersifat semu ke arah pembentukan kekayaan yang bersifat riil. Dicontohkan Eriyatno (2011), apabila kita ingin memaksimalkan keuntungan perusahaan, maka pengukuran kinerja ekonomi dengan pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) merupakan langkah yang masuk akal.

Namun, apabila tujuan pembangunan adalah kesehatan penduduk dan pelestarian alam, maka penggunaan PDB sebagai indikator untuk mengukur kinerja ekonomi adalah langkah salah. Itu karena kebijakan yang ditetapkan malah mempromosikan pertumbuhan kekayaan semu atas pengorbanan kesejahteraan rakyat dan lingkungan yang riil.

Penggunaan indikator saham di bursa untuk kinerja sektor riil seperti industri justru bisa mengarah kepada jebakan analisis. Tentu saja hal ini sangat tidak cocok untuk digunakan di Indonesia.

Sudah semestinya indikator finansial digeser ke indikator kesejahteraan yang nyata seperti tingkat kematian anak, tingkat kecukupan gizi, kejahatan remaja dan lain-lain yang terkait kesejahteraan masyarakat lokal. Sementara untuk sistem alam, akan lebih tepat jika yang dijadikan ukuran bagi kesehatan lingkungan adalah tingkat biodiversitas, emisi gas, pencemaran lingkungan, tata guna lahan dan konservasi.

Yang tak kalah pentingnya adalah soal kedaulatan ekonomi negara. Penguatan potensi nasional dalam hubungan antar negara memang sangat diperlukan agar dapat bersaing secara setara, namun kondisi potensi nasional saat ini yang masih sangat lemah telah membuat ketergantungan tehadap para pemodal besar dari luar negeri untuk investasi di Negara kita sangat besar. Situasi ini menjadikan kedaulatan ekonomi nasional terpuruk. Menjadi hal penting menjaga kedaulatan ekonomi nasional yang tali-temali dengan kedaulatan politik.

Mengamini pandangan ekonom kerakyatan, Prof Mubyarto, bahwa kemandirian telah menjadi tuntutan politis bagi Indonesia merdeka. Kemandirian adalah bagian integral dan makna merdeka itu sendiri. Tidak ada kemerdekan yang genuine tanpa kemandirian. Apabila kemerdekaan memiliki suatu makna, adalah karena kemandirian memberikan martabat bagi bangsa yang memangku kemerdekaan itu. Martabat bangsa merdeka tidak tergantung pada bangsa lain, tidak berada dalam protektorat tidak dalam posisi tersubordinasi. Kemandirian adalah martabat yang diraih sebagai hasil perjuangan berat.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar