Kamis, 15 Desember 2011

Risiko dan Prospek Ekonomi Nasional

Risiko dan Prospek Ekonomi Nasional
Satrio Wahono, PENGAMAT MANAJEMEN, MAGISTER FILSAFAT UI
Sumber : SUARA KARYA, 15 Desember 2011



Sektor ekonomi 2012 sejatinya merupakan tahun vivere pericoloso (menyerempet-nyerempet bahaya dan risiko) akibat kemungkinan datangnya imbas yang tergelar di tahun ini dan berbagai yang siap menghadang di tahun berikutnya. Oleh karena itu, memetakan berbagai faktor risiko bagi perekonomian Indonesia menjadi suatu keniscayaan. Ibaratnya, sebagai langkah 'sedia payung sebelum hujan' untuk menghadapi berbagai kemungkinan buruk di masa depan.

Sekurangnya ada empat risiko utama memasuki tahun 2012 yang harus kita cermati supaya bisa lebih siap dalam menjalani perekonomian nasional.

Pertama, faktor risiko berimbasnya krisis ekonomi di AS dan krisis utang di Eropa pada perekonomian Indonesia. Meskipun berbagai kalangan berusaha menenangkan bahwa perekonomian kita cukup kuat dan bahwa krisis global tak akan banyak memengaruhi pendapatan ekspor kita secara keseluruhan karena adanya pasar alternatif, tak urung faktor risiko ini tetap membayang.

Pasalnya, arus deras hot money asing ke sektor keuangan kita membuat indikator makro-ekonomi domestik seperti IHSG dan nilai tukar rupiah memiliki keterkaitan erat dengan sektor finansial (financial linkage). Alhasil, jika terus berlanjut, krisis finansial global di atas tetap akan menggoyang fundamental perekonomian serta menggerus cadangan devisa kita.

Belum lagi, bahaya PHK yang sudah terjadi di mana-mana, seperti dalam industri telekomunikasi kita, mengingat pengusaha sekarang bisa berdalih melakukan PHK dengan isu kenaikan upah minimum provinsi (UMP).

Kedua, 2012 adalah tahun di mana akan terjadi faktor siklus bencana terkait iklim, utamanya banjir besar lima tahunan sesudah 2002 dan 2007. Artinya, bencana alam yang demikian akan melumpuhkan perekonomian selama beberapa waktu, mengakibatkan masalah dalam stok pangan dan bahan bakar, serta memunculkan masalah logistik dan pengiriman. Akibatnya, harga-harga akan melonjak, inflasi melejit, dan pertumbuhan ekonomi terhambat.

Ketiga, akibat iklim yang tak menentu, permintaan bahan bakar pun akan meningkat pesat. Sehingga, harga bahan bakar fosil jelas akan ikut naik. Nah, mengingat Indonesia masih memberikan subsidi pada bahan bakar dan juga energi semisal listrik, dana APBN jelas akan kian tersedot untuk pos subsidi. Dampaknya, anggaran-anggaran untuk pos-pos krusial lain seperti pembangunan infrastruktur, anggaran pendidikan dan kesehatan, dan lain sebagainya akan terpangkas hingga bisa mencapai taraf yang menurunkan kualitas kehidupan masyarakat secara keseluruhan.

Keempat, suka tak suka, tahun depan kita akan mengalami saat di mana bulan puasa, Idul Fitri, dan tahun ajaran baru akan datang secara bersamaan pada akhir Juli hingga akhir Agustus. Kedatangan momen-momen penguras uang seperti ini jelas akan melejitkan inflasi akibat sumbangan kelompok bahan makanan, transportasi, konsumsi bahan bakar, dan pendidikan. Kenaikan harga menggila tanpa disertai peningkatan daya beli tentu akan menjadi bom waktu yang bisa mengerikan dampaknya.

Untuk mengurangi dampak negatif dari faktor-faktor risiko di atas, ada lima solusi yang bisa dilaksanakan bersama-sama ke depan.

Pertama, Indonesia harus mulai mengurangi ketergantungan pada hot money yang seringnya tidak memiliki kaitan dengan sektor riil kita. Caranya, Indonesia harus memperkuat sektor riil dengan mendorong sektor perbankan menggelontorkan kredit berbunga rendah kepada sektor riil. Bank Indonesia (BI) sejatinya sudah berusaha melakukan itu dengan menurunkan tingkat suku bunga acuan (BI rate), namun sayang transmisinya ke tingkat suku bunga pinjaman (lending rate) masih jauh dari memuaskan. Karena itu, BI harus mencari cara untuk mendesak sektor perbankan menurunkan bunga pinjaman dan memberikan akses kredit lebih mudah bagi sektor riil. Ringkasnya, BI harus merevitalisasi fungsi perbankan agar berjalan sesuai khittahnya sebagai lembaga intermediasi.

Kedua, pemerintah juga mesti mulai menggalakkan kampanye cinta produk Indonesia seperti ajakan membeli produk-produk Indonesia. Singkat kata, kita harus mulai menggaungkan slogan Buy Indonesia! sebagaimana dilakukan AS dengan Buy America untuk menggerakkan perekonomian. Sehingga, pasar kita tidak menjadi sasaran empuk untuk mengemukkan pundi-pundi negara lain, melainkan juga bermanfaat bagi negara kita sendiri.

Ketiga, sektor ekspor kita harus lebih kreatif mendongkrak ekspor dengan meningkatkan kualitas, ragam, keamanan, dan higienitas produk supaya dapat memenuhi standar negara tujuan ekspor. Sehingga, negara-negara tujuan ekspor, termasuk negara tujuan alternatif, tidak punya banyak alasan untuk menolak masuk produk kita.

Keempat, di sisi lain, kita juga harus membatasi impor demi melindungi produk domestik kita. Apabila sektor-sektor tertentu sudah mengalami liberalisasi dalam hal tarif, kita masih bisa mengenakan non-tariff barrier (hambatan nontarif) untuk membendung berlimpahnya produk impor menyesaki pasar Indonesia.
Hambatan nontarif itu bisa berupa kewajiban memenuhi SNI, standar lingkungan, dan sebagainya. Dengan begitu, pasar domestik bisa terlindungi.

Terakhir, pemerintah mesti mengevaluasi lagi racikan alokasi subsidi dan transfer dana pembangunan yang pas supaya subsidi bisa tepat sasaran ke kelompok yang berhak dan mampu meningkatkan kualitas pembangunan fisik dan manusia secara keseluruhan. Juga, usaha-usaha mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) perlu digalakkan untuk mencegah kebocoran atau inefisiensi anggaran.

Berbekal kelima solusi praktis di atas, semoga Indonesia tahun depan mampu melalui tahun vivere pericoloso dengan penuh kemenangan!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar