Risiko
dan Prospek Ekonomi Nasional
Satrio Wahono, PENGAMAT MANAJEMEN, MAGISTER FILSAFAT UI
Sumber
: SUARA
KARYA, 15
Desember 2011
Sektor ekonomi 2012
sejatinya merupakan tahun vivere pericoloso (menyerempet-nyerempet bahaya dan
risiko) akibat kemungkinan datangnya imbas yang tergelar di tahun ini dan
berbagai yang siap menghadang di tahun berikutnya. Oleh karena itu, memetakan
berbagai faktor risiko bagi perekonomian Indonesia menjadi suatu keniscayaan.
Ibaratnya, sebagai langkah 'sedia payung sebelum hujan' untuk menghadapi
berbagai kemungkinan buruk di masa depan.
Sekurangnya ada empat
risiko utama memasuki tahun 2012 yang harus kita cermati supaya bisa lebih siap
dalam menjalani perekonomian nasional.
Pertama, faktor risiko
berimbasnya krisis ekonomi di AS dan krisis utang di Eropa pada perekonomian
Indonesia. Meskipun berbagai kalangan berusaha menenangkan bahwa perekonomian
kita cukup kuat dan bahwa krisis global tak akan banyak memengaruhi pendapatan
ekspor kita secara keseluruhan karena adanya pasar alternatif, tak urung faktor
risiko ini tetap membayang.
Pasalnya, arus deras hot
money asing ke sektor keuangan kita membuat indikator makro-ekonomi domestik
seperti IHSG dan nilai tukar rupiah memiliki keterkaitan erat dengan sektor
finansial (financial linkage). Alhasil, jika terus berlanjut, krisis finansial
global di atas tetap akan menggoyang fundamental perekonomian serta menggerus
cadangan devisa kita.
Belum lagi, bahaya PHK
yang sudah terjadi di mana-mana, seperti dalam industri telekomunikasi kita,
mengingat pengusaha sekarang bisa berdalih melakukan PHK dengan isu kenaikan
upah minimum provinsi (UMP).
Kedua, 2012 adalah tahun
di mana akan terjadi faktor siklus bencana terkait iklim, utamanya banjir besar
lima tahunan sesudah 2002 dan 2007. Artinya, bencana alam yang demikian akan
melumpuhkan perekonomian selama beberapa waktu, mengakibatkan masalah dalam
stok pangan dan bahan bakar, serta memunculkan masalah logistik dan pengiriman.
Akibatnya, harga-harga akan melonjak, inflasi melejit, dan pertumbuhan ekonomi
terhambat.
Ketiga, akibat iklim
yang tak menentu, permintaan bahan bakar pun akan meningkat pesat. Sehingga,
harga bahan bakar fosil jelas akan ikut naik. Nah, mengingat Indonesia masih
memberikan subsidi pada bahan bakar dan juga energi semisal listrik, dana APBN
jelas akan kian tersedot untuk pos subsidi. Dampaknya, anggaran-anggaran untuk
pos-pos krusial lain seperti pembangunan infrastruktur, anggaran pendidikan dan
kesehatan, dan lain sebagainya akan terpangkas hingga bisa mencapai taraf yang
menurunkan kualitas kehidupan masyarakat secara keseluruhan.
Keempat, suka tak suka,
tahun depan kita akan mengalami saat di mana bulan puasa, Idul Fitri, dan tahun
ajaran baru akan datang secara bersamaan pada akhir Juli hingga akhir Agustus.
Kedatangan momen-momen penguras uang seperti ini jelas akan melejitkan inflasi
akibat sumbangan kelompok bahan makanan, transportasi, konsumsi bahan bakar,
dan pendidikan. Kenaikan harga menggila tanpa disertai peningkatan daya beli
tentu akan menjadi bom waktu yang bisa mengerikan dampaknya.
Untuk mengurangi dampak
negatif dari faktor-faktor risiko di atas, ada lima solusi yang bisa
dilaksanakan bersama-sama ke depan.
Pertama, Indonesia harus
mulai mengurangi ketergantungan pada hot money yang seringnya tidak memiliki
kaitan dengan sektor riil kita. Caranya, Indonesia harus memperkuat sektor riil
dengan mendorong sektor perbankan menggelontorkan kredit berbunga rendah kepada
sektor riil. Bank Indonesia (BI) sejatinya sudah berusaha melakukan itu dengan
menurunkan tingkat suku bunga acuan (BI rate), namun sayang transmisinya ke
tingkat suku bunga pinjaman (lending rate) masih jauh dari memuaskan. Karena
itu, BI harus mencari cara untuk mendesak sektor perbankan menurunkan bunga
pinjaman dan memberikan akses kredit lebih mudah bagi sektor riil. Ringkasnya,
BI harus merevitalisasi fungsi perbankan agar berjalan sesuai khittahnya
sebagai lembaga intermediasi.
Kedua, pemerintah juga
mesti mulai menggalakkan kampanye cinta produk Indonesia seperti ajakan membeli
produk-produk Indonesia. Singkat kata, kita harus mulai menggaungkan slogan Buy
Indonesia! sebagaimana dilakukan AS dengan Buy America untuk menggerakkan
perekonomian. Sehingga, pasar kita tidak menjadi sasaran empuk untuk
mengemukkan pundi-pundi negara lain, melainkan juga bermanfaat bagi negara kita
sendiri.
Ketiga, sektor ekspor
kita harus lebih kreatif mendongkrak ekspor dengan meningkatkan kualitas,
ragam, keamanan, dan higienitas produk supaya dapat memenuhi standar negara
tujuan ekspor. Sehingga, negara-negara tujuan ekspor, termasuk negara tujuan
alternatif, tidak punya banyak alasan untuk menolak masuk produk kita.
Keempat, di sisi lain,
kita juga harus membatasi impor demi melindungi produk domestik kita. Apabila
sektor-sektor tertentu sudah mengalami liberalisasi dalam hal tarif, kita masih
bisa mengenakan non-tariff barrier (hambatan nontarif) untuk membendung
berlimpahnya produk impor menyesaki pasar Indonesia.
Hambatan nontarif itu
bisa berupa kewajiban memenuhi SNI, standar lingkungan, dan sebagainya. Dengan
begitu, pasar domestik bisa terlindungi.
Terakhir, pemerintah
mesti mengevaluasi lagi racikan alokasi subsidi dan transfer dana pembangunan
yang pas supaya subsidi bisa tepat sasaran ke kelompok yang berhak dan mampu
meningkatkan kualitas pembangunan fisik dan manusia secara keseluruhan. Juga,
usaha-usaha mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance)
perlu digalakkan untuk mencegah kebocoran atau inefisiensi anggaran.
Berbekal kelima solusi
praktis di atas, semoga Indonesia tahun depan mampu melalui tahun vivere
pericoloso dengan penuh kemenangan! ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar