Sabtu, 17 Desember 2011

Satwa Indonesia dalam Stand-Up Comedy

Satwa Indonesia dalam Stand-Up Comedy
Agus Dermawan T., KRITIKUS SENI, ESAIS KEBUDAYAAN, PENULIS BUKU SENI
Sumber : KORAN TEMPO, 17 Desember 2011



Seorang komedian dalam acara Stand-Up Comedy naik panggung. Di depan mikrofon, di hadapan 240 juta penonton, dengan berusaha melucu, komedian itu memulai monolognya.

“Saudara-saudaraku, dahulu kita sering mendengar pidato yang meneriakkan: Jangan pupuskan semangat banteng ketaton! Kepakkan sayap elang, berkelebatlah di angkasa raya! Penyebutan satwa-satwa itu bisa kita pahami, lantaran satwa memang punya tempat yang penting dalam jagat politik, ekonomi, sosial, dan budaya Indonesia. Karena itu, satwa acap diangkat sebagai subyek yang menandai sebuah simbol. Yang menarik, saudara-saudara, munculnya karakter positif dan negatif simbol-simbol satwa ini sangat berkait dengan kurun waktu yang melingkupinya.

Coba simak, pada masa Orde Lama yang sering dientak heroisme melawan neo-kolonialisme dan imperialisme Barat, kita melihat satwa yang diposisikan sebagai
simbol kehebatan serta keberanian melawan. Dan semua itu ditempelkan kepada figur-figur istimewa yang layak diberi julukan. Bung Karno, yang cakap berpidato, disebut sebagai Singa Podium. Adam Malik, yang bertubuh kecil namun cekatan, dijuluki Si Kancil sejak diangkat sebagai Ketua Delegasi Perundingan Indonesia-Belanda 1962. Semangat olahraga Indonesia yang dominan di Asia menyebabkan Indonesia dijuluki Macan Asia.

Pada zaman Orde Baru, penyair dan dramawan Rendra disebut sebagai Burung
Merak. Sedangkan Soeharto, yang kuat bertahan jadi presiden selama tiga dekade, disebut Kuda Besi.Kuda dimaknai sebagai hewan yang amat panjang napasnya. Sedangkan besi dikonotasikan sebagai pemimpin yang memerintah dengan tangan besi. Namun, seperti saudara lihat, bagai tampak dalam karikatur karya Schot di majalah Asiaweek edisi 27 Februari 1998, Kuda Besi ini menjadi kuda pedati kurus yang dikusiri Tuan IMF. Schot memakai kiasan kuda karena tahu bahwa orang Indonesia suka bermain satwa.

Saudara-saudaraku, ingat enggak, pada 1997 mahasiswa yang tergabung dalam
Front Perlawanan Rakyat (Fropera) dan Serikat Masyarakat NU Anti-Militerisme
(Sekat NU) berdemo di kebun binatang Gembira Loka,Yogyakarta. Di situ para
mahasiswa mendiskusikan penghapusan dwifungsi ABRI dengan beberapa orang utan. Ketika mahasiswa membeber poster anti-Soeharto dan spanduk tak percaya terhadap Habibie, para orang utan itu melongo dan kemudian bertepuk tangan.Keesokan harinya para mahasiswa datang lagi ke Gembira Loka. Di atas punggung seekor gajah, mahasiswa membacakan teks “Proklamasi Republik Binatang”.

O ya, sejarah Indonesia juga sulit melupakan peristiwa sekelompok masyarakat
yang mempredikati Jaksa Agung Andi Ghalib sebagai chicken karena tak berani
mengusut mantan presiden Soeharto. Andi Ghalib bahkan diberi hadiah ayam potong oleh sekelompok demonstran.”

“Saudara-saudaraku di gedung yang pengap ini. Satwa memang penghuni kebun binatang dunia rasa dan pikir orang Indonesia. Itu sebabnya, lambang negara Indonesia adalah burung garuda, bukan ubi jalar, sapu ijuk, atau keong racun. Sementara dalam pergumulan budaya yang berkonteks dengan kehidupan sosial, satwa sering kali dipakai sebagai lambang perumpamaan, dengan makna yang kadang menyindir atau mengkritik.

Dalam budaya Jawa, ada ungkapan ‘Kodhok mangongkang jroning leng’, yang
artinya katak bernyanyi dalam liang. Ungkapan ini mengiaskan figur yang ingin terlihat berwibawa dengan menghadirkan kesan seram bagi masyarakat sekitarnya. Misalnya, pejabat yang selalu diiringi rombongan stafnya ke mana-mana.

Ada pula ungkapan ‘Kebo ilang tombok kandhang’ atau kerbau hilang tambah kandang. Maknanya, sudah kehilangan masih harus mengeluarkan biaya lagi, sehingga kemalangan pun datang bertubitubi. Contohnya, ketidakpercayaan kepada kepolisian dan kejaksaan menyebabkan pemerintah membentuk KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Untuk mengawasi KPK, pemerintah membentuk Komite Etik KPK, dan seterusnya. Biaya akhirnya menumpuk bertimpa-timpa.

Ah, saudara-saudara pasti sudah tahu, apabila ada kritik atas sikap dan sistem
itu, para pejabat biasanya bersyak-wasangka sembari gusar dengan menghadirkan seribu argumentasi. Person-person Dewan Perwakilan Rakyat militan maju ke depan, dengan tidak menafikan perkelahian. Atas hal ini, budaya bahasa telah pula menyediakan ungkapan: ‘Asu gede menang kerahe’, yang artinya anjing besar hanya hebat dalam berkelahi (melawan yang kecil). Dan kita tahu, perkelahian itu tak akan menghasilkan buah positif apa-apa.

Padahal Butir-butir Budaya Melayu Riau dengan baik-baik mengajarkan lewat pantun satwa berikut ini: ‘Kalau suka memelihara itik/Tentulah banyak dapat telurnya/Kalau suka bersangka baik/Hidup selamat banyak mujurnya.’

Lalu, memasuki dekade kedua pascareformasi, keberadaan satwa tampak semakin kukuh. Namun, anehnya, satwa-satwa itu semakin hari semakin buruk sifatnya. Bila dulu kerbau disanjung sebagai hewan berharga, pada masa sekarang kerbau dinistakan, bahkan diolok-olok, di Bundaran Hotel Indonesia. Bila dulu kancil lambang kecekatan pikiran, kini jadi julukan untuk seorang Gayus Tambunan yang bisa ringan melompati tembok penjara.”

“Saudara-saudara saya penggemar Stand-Up Comedy. Pada era sekarang koleksi satwa Indonesia bertambah. Cuma tambahannya adalah satwa yang rendah derajatnya. Catat, setelah garuda, macan, singa, kancil, merak, kuda, kerbau, orang utan, gajah, sampai itik, tiba-tiba muncul cicak, buaya, kucing garong, tokek, tikus, dan kecoa. Satwa-satwa lambang predikat ini lalu jadi inspirasi ratusan karikatur tentang politik satwa dan satwa berpolitik.

Cicak dan buaya bergabung ketika kepolisian bertikai melawan KPK, dengan
maskot jenderal polisi Susno Duadji. Cicak simbol dari KPK, dan buaya simbol dari kepolisian. Eksistensi satwa makin menonjol ketika kasus korupsi Badan Anggaran DPR terungkap, dan KPK mencoba membongkarnya. Cicak KPK kadang berubah jadi kucing, karena kucing suka mengendus-endus, dan kalau ada kesempatan, ya, mencuri barang sedikit. Sementara DPR punya satwa yang beragam.

Ada karikatur lho yang menggambarkan oknum DPR sebagai tikus. Karikatur lain melukiskan DPR sebagai kucing garong yang tak lelah menakuti dua ekor cicak
KPK. Ada pula karikatur yang menggambarkan DPR sebagai kecoa ijo. Kelahiran satwa ini diilhami oleh atap hijau gedung DPR yang bila dihayati memang mirip sayap kecoa.Tokek juga sering muncul untuk menggambarkan teka-teki politik dan ketidakpastian keputusan. Tak terasa, pada masa sekarang kita tiba-tiba kehilangan kegagahan banteng, kecekatan elang, dan keanggunan garuda. Untung kita masih punya....komodo.

Untuk mengakhiri perjumpaan, bolehlah saya sebagai komedian mengusung ucapan Thomas Carlyle ini: manusia adalah satwa yang menggunakan alat. Adakah kata-kata sejarawan dan penulis Irlandia abad ke-19 itu merujuk ke taman margasatwa bangsa Indonesia?”

Ratusan juta penonton Stand-Up Comedy yang berwajah merana itu terdiam. Mereka tidak tahu di mana lucunya. Karena yang mereka pikirkan: adakah satwa-satwa sontoloyo itu akan menyerbu rumahnya?  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar