Kebijakan
Iklim di ASEAN
Handa S. Abidin, PENELITI
HUKUM PERUBAHAN IKLIM INTERNASIONAL;
KANDIDAT PH.D DARI EDINBURGH LAW SCHOOL
KANDIDAT PH.D DARI EDINBURGH LAW SCHOOL
Sumber
: SINDO, 17 Desember
2011
Negosiasi perubahan iklim skala
internasional baru saja berakhir di Durban, Afrika Selatan (28 November– 11
Desember 2011). Dalam pertemuan Durban, ASEAN tidak memberikan suatu pernyataan
khusus ketika pertemuan tingkat tinggi (high-level segment) berlangsung.
Walaupun demikian, pemimpin ASEAN telah mengeluarkan pernyataan sikap dengan menyepakati ASEAN Leader’s Statement on Climate Change to the COP-17 and CMP-7 pada pertemuan ASEAN di Bali pada November 2011 lalu, dengan tujuan untuk menyikapi pertemuan Konferensi Para Pihak (COP) di Durban. Terdapat paling tidak dua hal penting dalam pernyataan ASEAN mengenai perubahan iklim tersebut.
Pertama, ASEAN mendesak suatu perjanjian penurunan emisi oleh negara maju yang mengikat secara hukum setelah tahun 2012 berakhir. Namun demikian, desakan ini tidak berhasil diwujudkan.Negosiasi Durban berakhir dengan kekecewaan bagi sebagian pihak karena tidak adanya suatu kesepakatan mengikat secara hukum untuk melanjuti komitmen penurunan emisi periode kedua di bawah Protokol Kyoto. Kedua, ASEAN menekankan pentingnya kegiatan tukar pandangan dan peningkatan kerja sama antarnegara ASEAN untuk menangani masalah perubahan iklim.Poin kedua ini dirasa perlu untuk dikembangkan lebih lanjut.
Kebijakan Negara ASEAN
Walaupun ASEAN tidak mengeluarkan pernyataannya di COP-17, sebagian besar negara yang tergabung dalam ASEAN telah memberikan pernyataan mewakili negara masing-masing ketika pertemuan tingkat tinggi berlangsung di Durban. Pada umumnya, negara ASEAN mendukung kesepakatan pelaksanaan komitmen kedua dari Protokol Kyoto dan mendesak pemberian dana oleh negara maju untuk kepentingan penanganan masalah perubahan iklim di negara berkembang.
Indonesia tidak begitu menjelaskan kebijakan perubahan iklim dalam negeri melalui pernyataan sikapnya. Indonesia lebih mendesak pelaksanaan komitmen kedua dari Protokol Kyoto, mendukung pelaksanaan Nationally Appropriate Mitigation Actions (NAMAs),mempertanyakan pendanaan Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD-plus), pengoperasian Adaptation Committee dan masalah transfer teknologi.
Filipina dalam pernyataannya menekankan pentingnya bantuan finansial dari negara maju dan berharap Dana Iklim Hijau dapat mengakomodasi hal tersebut. Thailand dalam pernyataannya menjelaskan komitmen untuk secara nasional menggantikan 25% energi tidak terbarukan dengan energi terbarukan mulai dekade mendatang. Pernyataan sikap yang menjelaskan kebijakan dalam negeri secara lebih mendalam datang dari Malaysia dan Singapura.
Malaysia dalam pernyataan sikapnya memberikan sejumlah inspirasi menarik. Pertama, Malaysia telah memberikan insentif secara finansial (cash rebate incentive) apabila konsumen membeli produk ramah lingkungan. Kedua, Malaysia juga telah menghapus pajak impor dari kendaraan hibrida ramah lingkungan dan mendukung penggunaan kendaraan hibrida tersebut.Ketiga,
Malaysia kini memiliki suatu kebijakan yang dinamakan Green Building Index Certification Scheme, yang saat ini telah memberikan sertifikat ramah lingkungan kepada 44 gedung di Malaysia. Keempat, pemerintah Malaysia tidak memperbolehkan suhu udara di perkantoran lebih dingin dari 24 derajat Celsius.Adapun Singapura dalam pernyataan sikapnya juga menyatakan dukungannya terhadap kendaraan elektrik, pembangkit listrik tenaga surya (PLTS), dan gedung ramah lingkungan (green building).
Contoh Malaysia dan Singapura
Saat ini Indonesia telah memiliki sejumlah peraturan perundang- undangan untuk mengakomodasi upaya penanganan masalah perubahan iklim. Salah satu peraturan teranyar adalah Perpres Nomor 61/2011 yang mengatur target penurunan emisi per sektor secara nasional, dan menginstruksikan agar pemerintah daerah untuk mengerjakan hal serupa.Walaupun Indonesia sudah dipenuhi oleh berbagai instrumen hukum mengenai penanganan perubahan iklim, hal ini tidak menjadikan Indonesia sertamerta sebagai negara terdepan dalam melakukan terobosan baru dalam konteks pelaksanaan kegiatan penanganan perubahan iklim.
Hal ini paling tidak disebabkan oleh dua hal. Pertama,Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) yang bertugas mengoordinasikan pelaksanaan pengendalian perubahan iklim di Indonesia masih terbilang lemah dalam melaksanakan fungsinya. Koordinasi terhadap para anggota yang sebagian besar terdiri atas sejumlah menteri dirasa masih sekadar formalitas.Kedua,DNPI dinilai masih kurang inovatif dalam menelusuri kegiatan penanganan perubahan iklim yang sebetulnya beraneka ragam bentuknya.
Pelaksanaan dari Perpres 61/2011 harus dapat lebih banyak menangkap berbagai bentuk mitigasi dan adaptasi perubahan iklim yang sesuai dengan kondisi Indonesia. Banyak hal yang bisa kita lakukan untuk mencegah dampak buruk perubahan iklim dari skala kecil sampai dengan skala besar.Apa yang telah dilakukan di Malaysia dan Singapura seperti yang telah dijelaskan di atas,dapat dijadikan sebagai suatu referensi dalam penanganan masalah perubahan iklim di Indonesia.
Kebijakan-kebijakan seperti ini bukan hanya akan membantu mengurangi tingkat emisi Indonesia secara nasional, namun juga akan meningkatkan posisi tawar Indonesia di arena negosiasi perubahan iklim tingkat global sebagai negara berkembang penganut ekonomi ramah lingkungan. Perubahan iklim merupakan salah satu tantangan terbesar bagi negara-negara ASEAN. Upaya apa pun baik skala kecil, menengah, maupun besar perlu dilakukan untuk mencegah dampak perubahan iklim menjalar semakin luas.Tukar pandangan dan kerja sama antarnegara ASEAN perlu ditingkatkan lebih jauh. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar