LAPORAN OLAHRAGA AKHIR TAHUN 2011
Sampai
Kapan Jika Sendirian?
Sumber : KOMPAS, 17 Desember
2011
Dalam
lima-enam hari, Indonesia diguyur medali emas lewat atletik dan renang di SEA
Games XXVI lalu. Untuk mewujudkan pesta yang temponya kurang dari sepekan itu,
diperlukan bertahun-tahun latihan tak terputus dan dana besar. Namun, untuk
kesinambungan prestasi jauh ke depan, induk organisasi atletik dan renang tak
akan mampu berjalan sendirian.
Dalam
pesta olahraga Asia Tenggara di Jakabaring, Palembang, itu, atletik Indonesia
kembali mengulang kejayaan yang pernah ditoreh 18 tahun lampau. Tahun inilah
atletik bisa kembali menyumbang emas dalam jumlah dua digit, 13 (ditambah 12
perak dan 11 perunggu). Jumlah itu sama seperti yang dihasilkan dalam SEA Games
1993.
Di
kolam akuatik Jakabaring yang bersebelahan dengan stadion atletik, para
perenang muda Indonesia meraup 6 emas, 8 perak, dan 10 perunggu. Dari segi
jumlah, perolehan Indonesia memang masih kalah oleh Singapura yang raja renang
Asia Tenggara (17 emas, 9 perak, dan 13 perunggu) dan dari Thailand yang
mengumpulkan 8 emas, 7 perak, dan 5 perunggu.
Namun,
para perenang Indonesia memecahkan lima rekor SEA Games di Jakabaring. Itu
nyaris separuh dari total pemecahan rekor (11) yang tercipta di cabang renang
dalam SEA Games kali ini.
Indonesia
pun melakukan lompatan besar. Pasalnya, Indonesia hanya memegang rekor di satu
nomor begitu SEA Games Laos 2009 usai, yaitu di estafet 4 x 100 meter gaya
ganti putra. Padahal, renang memiliki 38 nomor lomba.
”Di
SEA Games, empat perenang kita lolos limit B Olimpiade 2012,” ujar Sekretaris
Jenderal Pengurus Besar Persatuan Renang Seluruh Indonesia (PB PRSI) Tonny P
Sastramihardja. Keempat perenang itu adalah I Gede Siman Sudartawa (17 tahun),
Triady Fauzi Sidiq (19), Glen Victor Susanto (22), dan Indra Gunawan (23).
Memang,
para atlet tidak otomatis lolos ke London 2012 karena—dengan kuota 900 perenang
(lebih sedikit dibandingkan dengan sebelumnya 1.000 perenang)— akan ada seleksi
lagi berdasarkan catatan waktu para atlet. Namun, berdasarkan catatan waktu
mereka, Tonny optimistis keempat perenang Indonesia tidak akan tergusur.
Ditambahkan,
perenang putri Yessy Yosaputra, Nicko Biondi, dan M Idham Dasuki juga punya
peluang untuk tampil sebagai olimpian, atlet yang berlaga di panggung tertinggi
pesta olahraga dunia.
”Catatan
waktu Yessy (di SEA Games) sedikit lagi. Batas waktu kualifikasi 11 Juni tahun
depan. Kami melihat ketiganya punya peluang,” kata Tonny.
Tak
Tercipta Dalam Sekejap
Panen
medali yang diraih oleh dua cabang induk olahraga itu tercipta lewat proses
yang serupa, yaitu hasil dari ketekunan program latihan yang dilakukan, dimulai
lama sebelum SEA Games XXVI dibuka, 11 November lalu. ”Ini adalah buah
kesabaran. Kami memang selalu fokus pada jangka panjang. Di antara itu memang
ada sasaran-sasaran jangka pendek, tetapi semua dalam rangka pelatnas jangka
panjang,” kata Sekretaris Umum Pengurus Besar Persatuan Atletik Seluruh
Indonesia (PB PASI) Tigor M Tanjung.
Bertahun-tahun
PB PASI telah menggelar pemusatan latihan nasional (pelatnas) yang tak terputus
di Jakarta. Bahkan, pelatnas seperti itu dibentuk dalam empat jenjang, yaitu
untuk atlet praremaja dengan usia atlet di bawah 16 tahun, remaja (16 tahun
hingga sebelum 18 tahun), yunior (18-19 tahun), dan senior (atlet elite).
PB
PRSI pun sama. Pelatnas jangka panjang digelar untuk atlet utama dan pratama di
Jakarta dan Bandung. ”Seusai SEA Games 2009, kami langsung memulai pelatnas
lagi,” tutur Tonny.
Bagi
sebuah induk organisasi, keputusan itu tentu bukanlah pilihan yang murah.
Misalnya, dana yang diperlukan PB PASI untuk menggelar pelatnas jangka panjang
seperti itu mencapai Rp 12 juta per atlet (termasuk untuk biaya sekolah dan
pemantauan psikologis atlet belia).
Di
renang, biaya akomodasi di hotel atlet di kawasan Senayan saja besarnya Rp
150.000 per malam. Itu pun hanya untuk para perenang dan peloncat indah pratama
yang jumlahnya 20 atlet.
PB
PRSI memutuskan menyewa rumah bagi atlet utama mereka. Alasan Tonny, hotel
atlet di Senayan tidak lagi cocok untuk pembinaan atlet utama dengan
menjamurnya mal di kawasan itu. ”Terlalu banyak yang bisa mengganggu fokus
atlet di usia mereka,” katanya.
PB
PRSI juga harus menyewa kolam renang di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, yang
biayanya puluhan juta rupiah per bulan. Bagi Tonny, kolam renang Senayan juga
tak lagi memenuhi syarat sebagai tempat berlatih tim nasional.
”Saat
berlatih, atlet perlu seluruh lintasan,” ujar dia. Sementara di Senayan, kolam
dipakai bersamaan dengan anggota masyarakat yang lain. Itu belum menghitung
kualitas air kolam Senayan yang sering kurang bagus.
Tigor
dan Tonny sepakat, investasi pada pelatih juga berperan besar dalam mendongkrak
prestasi atlet pelatnas mereka. Di kedua cabang itu, sebagian besar pelatih
kerap dikirim dan didanai untuk mendapatkan sertifikasi internasional.
Dengan
pola seperti itu, PB PASI dan PB PRSI tak khawatir akan kesinambungan prestasi.
Paling tidak untuk beberapa tahun ke depan. Kedua organisasi itu beruntung
karena memiliki ketua umum Mohammad Bob Hasan dan Hilmy Panigoro, pengusaha
mapan yang memang ”gila” olahraga.
Tak
Bisa Sendiri
Kesinambungan
prestasi yang merupakan puncak dari bangunan piramida olahraga juga tak lepas
dari terus tersedianya potensi-potensi belia yang bisa dibentuk menjadi atlet
elite. Kedua induk organisasi atletik dan renang pun sepakat akan hal itu.
Oleh
karena itu pula PASI rutin menggelar kejuaraan atletik anak-anak dan sekolah di
sela-sela pelaksanaan kejuaraan nasional ataupun daerah. PRSI juga mengandalkan
Kejuaraan Renang Antar-perkumpulan yang rutin digelar di tingkat nasional dan
daerah.
Namun,
Tigor mengakui, bentuk pencarian bibit dan pembinaan (khususnya di luar
pelatnas) yang ada belumlah ideal, misalnya belum semua pengurus daerah rutin
menggelar kejuaraan dan pemantauan. Selain itu, banyak daerah (yang meski
kaya-raya dengan adanya otonomi daerah) tidak memiliki sarana atletik cukup
baik. Tak perlu trek sintetis, lapangan rumput yang terawat pun jarang.
Memang,
tidak ada rumus baku berapa persen talenta yang ada dari satu populasi. Namun,
semakin besar populasi itu bisa dipantau, semakin besar pula peluang untuk
menjaring atlet berbakat. Tigor menamsilkannya dengan, ”Saat ini masih banyak
beras yang belum tertampung dalam tampah yang ada.”
Di
renang, hal tersebut kian berat setelah cabang itu tak lagi menjadi olahraga
wajib di sekolah dasar dan menengah pertama. Yang jelas, PASI dan PRSI semata
tak akan mampu memperbesar ”tampah” itu. ”PASI itu cuma LSM. Kami tak mungkin
bisa sendirian,” ujar Tigor. ●
(Yunas
Santhani Aziz)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar