Sabtu, 17 Desember 2011

Mungkinkah Terjadi Koalisi Banteng-Beringin?

Mungkinkah Terjadi Koalisi Banteng-Beringin?
Iding R Hasan, DOSEN ILMU POLITIK FSH UIN JAKARTA DAN DEPUTI DIREKTUR BIDANG POLITIK
THE POLITICAL LITERACY INSTITUTE
Sumber : SINDO, 17 Desember 2011



Setelah penyelenggaraan Rapat Kerja Nasional (Rakernas) I Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) di Bandung, baru-baru ini ada isu yang menarik tentang merapatnya partai kepala banteng tersebut ke Partai Golkar (PG).

Pernyataan sejumlah elite politik dari kedua partai itu agaknya memberikan sinyal ke arah sana, seperti yang diungkapkan Taufik Kiemas, suami Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri, dan Lalu Mara,Wasekjen Golkar yang notabene orang dekat Ketua Umum Golkar Aburizal Bakrie (Ical). Di antaranya menyebutkan bahwa telah terjalin komunikasi yang baik antar kedua ketua umum partai besar tersebut untuk mencoba menjajaki kemungkinan koalisi.

Merapatnya partai kepala banteng ke partai beringin dapat diduga mengarah pada kepentingan Pemilu 2014, terutama terkait dengan calon presiden (capres) dan calon presiden (cawapres). Sebagaimana diketahui, Golkar telah resmi mencalonkan Ical sebagai capres, sedangkan PDIP––meskipun belum secara resmi menetapkan, telah memberikan sinyal untuk mempromosikan putri Megawati, Puan Maharani. Jika ini kemudian berakhir pada koalisi, kemungkinan besar Ical akan berduet dengan Puan sebagai pasangan capres-cawapres.

Peluang

Isu koalisi banteng dengan beringin dengan muara penduetan Ical-Puan sebagai capres- cawapres pada Pemilu 2014, secara politik tentu sesuatu yang mungkin. Bahkan, ada sejumlah faktor yang tampaknya bisa mendukung kemungkinan koalisi tersebut. Pertama, sekarang ini dengan banyaknya partai politik (parpol) yang ikut dalam pemilu, sulit bagi setiap parpol untuk melenggang sendirian dalam kontestasi pemilihan presiden, termasuk partai besar seperti Golkar dan PDIP.

Kedua, duet Banteng-Beringin, kalau benar-benar terjadi agaknya relatif mudah,karena justru keduanya lebih banyak memiliki kesamaan ketimbang perbedaan,baik secara ideologis, platform politik dan sebagainya. Ketiga,peluang Puan Maharani untuk dicalonkan PDIP sangat besar dilihat dari hasil kongres. Sebagaimana diketahui, jika pada Kongres PDIP I dan II ditegaskan bahwa ketua umum partai otomatis menjadi capres, pada Kongres III tahun yang lalu tidaklah demikian.

Ketua umum tidak dinyatakan otomatis sebagai capres,tetapi hanya diberikan hak prerogatif untuk menentukan siapa yang layak dicalonkan.Dengan kata lain,Megawati meskipun tidak secara otomatis menjadi capres, tetapi tetap merupakan decision maker di tubuh partai kepala banteng. Dalam konteks seperti ini, tentu saja peluang Puan Maharani sangat besar bahkan mungkin terbesar dibandingkan kader-kader PDIP yang lain.

Keempat, kecenderungan seiramanya kader-kader PDIP dan Golkar di DPR dalam sejumlah kasus setidaknya bisa memuluskan niatan koalisi. Meskipun PDIP memainkan peran oposisi, sementara Golkar tergabung dalam koalisi pendukung Pemerintahan SBY-Boediono, namun hal itu agaknya tidak menjadi penghalang. Pada kasus-kasus seperti dana talangan (bailout) Bank Century,pemilihan calon pimpinan (capim) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK),

dan rencana pengajuan interpelasi atas kebijakan Kemenkumham terkait pengetatan pemberian remisi bagi nara pidana koruptor belum lama ini, kader kedua partai tersebut tampak satu suara. Kelima, peluang duet Ical- Puan juga cukup menjanjikan dalam peta persaingan pimpinan nasional pada Pemilu 2014 dilihat dari beberapa aspek.

Dari aspek generasi, duet ini memperlihatkan kolaborasi antara generasi tua dan muda sehingga bisa menjawab aspirasi masyarakat yang menghendaki kalangan muda tampil di pentas nasional. Sementara itu kalau dilihat dari aspek etnis, duet ini juga menampilkan percampuran antara Sumatera dan Jawa sehingga bisa saling mengisi. Dan dari aspek gender, tentu kemunculan Puan Maharani cukup menjadikan magnet bagi para pemilih terutama dari kalangan perempuan.

Melangkahi Tradisi

Namun demikian, rencana koalisi Banteng dan Beringin bukan berarti tidak memiliki kendala sama sekali. Setidaknya ada tiga hal yang berpotensi menghambat kemungkinan koalisi. Pertama, bagi PDIP, figur Ical agaknya akan menjadi catatan tersendiri terutama terkait dengan kasus lumpur Lapindo, yang notabene akan mengganggu pencitraan mereka sebagai partai pengusung kerakyatan.

Demikian pula nama Ical kerap disebut dalam kaitannya dengan kasus mafia pajak yang telah menyeret Gayus Tambunan ke balik jeruji. Realitas ini tentu harus dikalkulasikan secara matang supaya tidak menjadi bumerang bagi PDIP. Kedua, secara historis PDIP dan Golkar tidak pernah berkoalisi dalam setiap pemilu. Meskipun antara kedua partai tersebut lebih banyak memperlihatkan persamaan dalam berbagai hal, ada barrier yang cukup kuat antara keduanya, antara lain egoisme sebagai partai besar.

Sejak dulu,baik PDIP maupun Golkar tidak pernah mau mengajukan kadernya untuk menjadi cawapres bagi capres dari partai lain.Kasus Jusuf Kalla (JK), yang notabene kader Golkar,yang pernah menjadi cawapres SBY pada Pemilu 2004, merupakan kasus yang berbeda. Sebagaimana diketahui bahwa JK ketika itu maju sebagai cawapres tidak dicalonkan oleh Golkar.Golkar sendiri ketika itu mengusung Wiranto sebagai capresnya yang resmi.

Ketiga, keputusan kedua partai tersebut yang akan menentukan koalisi secara resmi pascapemilihan legislatif (pileg), juga bisa menghambat. Tentu saja baik PDIP maupun Golkar sama-sama ingin mengukur kekuatan dulu. Kalau PDIP yang memenangi pileg, bukan tidak mungkin partai ini akan lebih memprioritaskan kadernya sebagai capres, bukan cawapres. Kalau ini yang terjadi, tentulah Golkar tidak akan bersedia karena sudah memutuskan Ical sebagai capres secara final.

Peluang koalisi akan sangat besar kalau suara yang diperoleh Golkar melebihi perolehan suara PDIP. Jika ini yang terjadi,mau tidak mau PDIP harus bersedia melepaskan egonya, sekaligus melangkahi tradisi selama ini dengan hanya menjadikan kadernya sebagai cawapres. Bagaimanapun,koalisi merupakan langkah yang sah dalam politik.Hanya,PDIP harus cermat memperhitungkan berbagai konsekuensi politik yang mungkin akan timbul dari langkah tersebut. Jangan sampai hanya karena terdorong ambisi untuk menjadi pemenang, tetapi justru malah menjadi bumerang di kemudian hari.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar