Jumat, 16 Desember 2011

Lirikan Investor Mengguncang Aset Daerah


LAPORAN AKHIR TAHUN 2011
Lirikan Investor Mengguncang Aset Daerah
Sumber : KOMPAS, 16 Desember 2011


Kebun Binatang Surabaya, satu dari banyak aset Pemerintah Kota Surabaya, tidak pernah sepi dari incaran pemilik modal. Lokasi strategis dengan luas sekitar 15 hektar itu cocok disulap untuk kawasan perdagangan, perkantoran, apartemen, dan hotel.
Misi investor untuk bisa menguasai tempat wisata utama bagi warga Surabaya itu dilakukan dengan berbagai taktik, termasuk mengorbankan hewan koleksi Kebun Binatang Surabaya (KBS) hingga merana, bahkan mati. Tak tanggung-tanggung, Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan bahkan mencabut izin Lembaga Konservasi KBS mulai Agustus 2010.

Pencabutan izin dilakukan karena berdasarkan hasil monitoring dan evaluasi pengelolaan, KBS tidak memenuhi standar pengelolaan sesuai peraturan perundang-undangan, baik dari segi etika maupun kesejahteraan satwa. Akibatnya, banyak satwa liar yang mati tidak dilaporkan dan tidak dipertanggungjawabkan. Selanjutnya, pengelolaan KBS diserahkan kepada Tim Pengelola Sementara (TPS).

Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini memilih mengundurkan diri dari TPS sebagai penolakan atas turunnya SK Menteri Kehutanan Nomor SK.281/Menhut-IV/2001 pada 18 Agustus 2011 tentang TPS KBS. Padahal, tanah yang dimanfaatkan KBS adalah aset Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya, dengan bukti kepemilikan sertifikat hak pakai Nomor 2 dan 3 Tahun 2001 seluas masing-masing 55.700 dan 97.860 meter persegi. Dengan demikian, TPS tidak bisa mencari investor sendiri, tetapi harus melalui mekanisme lelang.

Hingga kini, keinginan Pemkot Surabaya untuk mengelola asetnya masih terganjal izin dari Kementerian Kehutanan. Sementara itu, hingga awal Desember 2011 sudah 15 ekor satwa koleksi KBS mati, antara lain, akibat kandang yang tidak sehat.

Pemkot Surabaya kini memperjuangkan kembalinya aset mereka yang dikuasai pengelola Yayasan Kas Pembangunan yang membangun kompleks perumahan di Surabaya.

Hutan Kota Terancam

Nasib serupa juga menimpa Babakan Siliwangi, hutan kota seluas 3,8 hektar di jantung Kota Bandung. Kawasan hijau ini diapit Kebun Binatang Bandung dan Sasana Budaya Ganesha.

Dialiri Sungai Cikapundung, kawasan ini relatif masih terjaga di tengah maraknya alih fungsi kawasan. Namun, kondisi tersebut dikhawatirkan bakal terganti dengan penandatanganan kontrak pengelolaan antara Pemkot Bandung dan PT Esa Gemilang Indah (EGI) pada 2007 untuk pengelolaan selama 20 tahun alias hingga 2027.

PT EGI dan Pemkot Bandung sepakat membangun kembali restoran masakan Sunda di lokasi bangunan lama yang pernah berdiri. Pihak ketiga ataupun pemkot berjanji lahan yang terpakai hanya 2.000 meter persegi untuk bangunan dan 5.000 meter untuk tempat parkir. Namun, dalam kontrak tersebut disebutkan bahwa PT EGI juga berwenang untuk mengelola sisa kawasan meski dikatakan oleh direkturnya, Iwan Soenaryo, tidak akan ada perubahan fungsi dari hutan.

Masyarakat kini berkonsolidasi untuk memanfaatkan hutan kota itu sebagai ruang publik. Pasalnya, selama ini daerah tersebut cenderung ditelantarkan dan terkesan angker.

Salah satu inisiatif datang dari Ridwan Kamil dari Bandung Creative City Forum. Mereka berupaya menata kembali kawasan itu dengan menggelar sayembara desain hutan kota secara nasional. Proyek awal adalah membangun jembatan kayu sepanjang 400 meter sehingga pengunjung bisa menikmati rimbunnya dedaunan di Babakan Siliwangi.

Meski baru sebagian, jembatan kayu tersebut disambut positif masyarakat. Kini, bermunculan komunitas yang sering beraktivitas di Babakan Siliwangi, mulai dari fotografi hingga pencinta lingkungan.

Puncaknya adalah penganugerahan predikat hutan kota dunia terhadap Babakan Siliwangi sewaktu berlangsungnya perhelatan Tunza Indonesia, September 2011, oleh Menteri Lingkungan Hidup (saat itu) Gusti Muhammad Hatta bersama Direktur Eksekutif Program Lingkungan PBB (UNEP) Achim Steiner.

Akan tetapi, Wali Kota Bandung Dada Rosada menegaskan, restoran tetap bakal dibangun di pinggiran Sungai Cikapundung.

Di Solo, Jawa Tengah, keberadaan Taman Satwa Taru Jurug (TSTJ) di atas lahan 13,9 hektar yang dikelola Perusahaan Daerah TSTJ Surakarta kini dalam proses pengalihan pengelolaan kepada investor. Keuangan yang bersumber dari tiket masuk, parkir, dan wahana permainan belum memberi keuntungan bagi pengelola. Padahal, saat ini terdapat 60 ekor satwa dan 100 jenis pohon.

Dengan menggandeng swasta, Pemerintah Kota Solo tidak perlu mengeluarkan dana untuk revitalisasi. Diperkirakan butuh dana Rp 150 miliar-Rp 200 miliar. Dari lahan 13,9 hektar akan diperluas menjadi 21 hektar. Namun, direksi PD TSTJ Surakarta mengakui sulit mencari investor untuk membangun TSTJ.

Berubah Peruntukan

Pengalihan pengelolaan aset pemerintah daerah kepada investor tidak menimbulkan persoalan jika peruntukannya tidak berubah. Karena itu, sikap Pemkot Surabaya yang menolak keputusan hukum tentang taman flora seluas 2,3 hektar di Surabaya yang diubah peruntukan dari hutan kota menjadi pusat perdagangan patut dipuji.

Sudah menjadi rahasia umum, banyak aset milik pemerintah daerah lenyap dan ada pula yang sudah berubah status kepemilikannya. Jadi, pemerintah di daerah harus berani menolak intervensi banyak pihak untuk menguasai aset daerah.

Memang butuh kiat yang jitu untuk menghadang keinginan investor, termasuk mengajak warga secara bersama-sama mengamankan aset pemerintah daerah agar tidak tinggal nama.
(Agnes Swetta Pandia/Sri Rejeki/Putra Erlangga)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar