Rabu, 21 Desember 2011

Rivalitas AS-China dan Posisi Kita


Rivalitas AS-China dan Posisi Kita
Rizal Sukma, DIREKTUR EKSEKUTIF CSIS
Sumber : KOMPAS, 21 Desember 2011


Perkembangan di kawasan Asia Timur belakangan ini kian menarik dan penting dicermati. Kekhawatiran mengenai kemungkinan lahirnya rivalitas strategis antara Amerika Serikat dan China di abad ke-21 ini tampaknya semakin mendekati kenyataan.
Hal itu, antara lain, terlihat jelas dari implikasi transformasi strategis global dan regional—akibat kebangkitan China—terhadap dinamika hubungan kedua negara besar itu.

Rivalitas Strategis

Pada awalnya, AS menyambut baik kebangkitan China sebagai faktor yang dapat memberi kontribusi positif bagi kemakmuran dan stabilitas di kawasan Asia Timur. Kemajuan ekonomi China jelas membuka peluang baru dan melahirkan keuntungan bagi semua pihak, termasuk AS. Kebijakan China yang membangun hubungan baik dan kooperatif dengan AS dan negara-negara lain di Asia Timur, terutama melalui ”diplomasi simpatik” (charm diplomacy), menjadi faktor yang menenteramkan banyak pihak.

Namun, belakangan ini Washington mulai gerah. Sumber kegerahan AS terutama terpusat pada implikasi modernisasi militer dan meningkatnya pengaruh ekonomi-politik China terhadap perimbangan kekuatan di Asia-Pasifik. Kebijakan China yang semakin asertif, khususnya dalam hal klaim-klaim teritorial dan sikapnya yang agresif terhadap negara-negara yang memiliki sengketa wilayah dengannya, dilihat AS dan sekutunya sebagai indikasi dari meningkatnya ”ancaman China”.

Dari pihak China, persepsi mengenai merosotnya pamor dan pengaruh AS sebagai negara adidaya di tataran global sedikit banyak ikut mendorong Beijing unjuk gigi. Meningkatnya rasa percaya diri di kalangan elite dan publik di China sebagai konsekuensi kemajuan ekonomi di negeri itu telah mendorong munculnya nasionalisme yang kerap memaksa Pemerintah China menunjukkan penampilan internasional yang lebih ”garang”.

Hanya saja, China tampaknya lupa bahwa banyak negara Asia Timur, khususnya sekutu-sekutu AS, belum sepenuhnya nyaman dan percaya terhadap China. Sikap keras China terhadap Vietnam dan Filipina dalam sengketa wilayah di Laut Cina Selatan serta terhadap Jepang dalam sengketa atas Senkaku membuat negara-negara di kawasan mulai meragukan ”kebangitan damai” yang kerap disuarakan oleh Beijing.

Kekhawatiran terhadap dominasi China ini akhirnya mendorong AS kembali memperkokoh kehadirannya di Asia-Pasifik. Keputusan Presiden Barack Obama menempatkan 2.500 marinir di Darwin, Australia, dan dua kapal tempur di Singapura merupakan langkah simbolik. Dalam konteks demikian, langkah AS itu jelas ditujukan kepada China.

Langkah AS tersebut menimbulkan reaksi serupa dari China. Awal minggu lalu, misalnya, China mengumumkan segera melakukan latihan militer di kawasan Pasifik Barat. China juga berencana mengirimkan kapal-kapal patroli ke Sungai Mekong untuk menjaga jalur tersebut bagi kepentingan perdagangannya. Bahkan, jauh sebelumnya, China telah memodernisasi militernya dengan memperbesar kemampuan proyeksi kekuatan (power projection), termasuk membangun kapal induk dan pengembangan kemampuan antiakses/penyangkalan wilayah melalui rudal-rudal jarak jauh Dong Feng 21-D.

Implikasi dan Posisi Kita

Implikasi rivalitas AS-China akan terasa di kawasan Asia Tenggara, yang kembali menjadi arena pertarungan pengaruh di antara kedua negara besar itu. Negara-negara ASEAN dapat terpecah ke dalam kubu yang memihak AS atau China. Apabila hal ini terjadi, ASEAN akan kembali terpolarisasi, yang akan berakibat pada marjinalisasi peran ASEAN sebagai salah satu pilar arsitektur keamanan Asia Timur.

Menghadapi skenario demikian, Indonesia akan dihadapkan pada tantangan sulit. Jelas Indonesia tak akan dan tak boleh tunduk kepada Pax-Americana ataupun Pax-Sinica. Kita tak ingin melihat kawasan Asia Tenggara kembali jadi ajang persaingan negara-negara besar. Kita tetap ingin melihat dan menjaga Asia Tenggara sebagai kawasan damai dan otonom, di mana masalah-masalah di kawasan ini harus diselesaikan oleh negara-negara di kawasan sendiri.

Oleh karena itu, Indonesia harus berupaya menciptakan ”ruang ketiga”, yang menegaskan—baik kepada AS maupun China—bahwa kita tak akan terjebak ke dalam rivalitas di antara kedua negara besar itu.

Namun, pilihan strategi kita terbatas. Pertama, Indonesia perlu terus mengingatkan negara-negara anggota ASEAN lainnya tentang pentingnya ASEAN bersatu untuk memoderasi—kalaupun bukan mencegah—rivalitas AS-China itu. Untuk itu, ada baiknya Indonesia mendorong ASEAN untuk menyusun Zone of Prosperity, Freedom, and Neutrality (ZOPFAN) II sebagai platform baru untuk mencegah ASEAN terpecah belah akibat persaingan AS dan China.

Kedua, Indonesia patut menghidupkan kembali semangat non-aligned di kawasan Asia Pasifik. Dalam hal ini, India, yang juga tidak akan tunduk pada dominasi AS ataupun China, merupakan mitra strategis. Koordinasi kebijakan antara Indonesia dan India dapat menciptakan ”ruang ketiga” sebagai alternatif dari pilihan mendukung Pax-Americana atau Pax-Sinica.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar