Rabu, 21 Desember 2011

Lampu Kuning Mesuji


Lampu Kuning Mesuji
Bambang Soesatyo, ANGGOTA KOMISI III DPR RI FRAKSI PARTAI GOLKAR
Sumber : SINDO, 21 Desember 2011



Tragedi Mesuji otomatis menjadi lampu kuning dan mereduksi klaim tentang progres reformasi Indonesia.

Tragedi itu pun menambah bukti tentang kondisi negara yang sangat lemah karena semua alat kelengkapan negara tak mampu melindungi rakyat di pelosok desa. Akhirnya tragedi Mesuji melengkapi fakta tentang karut-marut penegakan hukum Buram dan kumuh. Itulah yang harus dikatakan tentang penegakan hukum dalam beberapa tahun terakhir ini. Proses hukum skandal Bank Century belum juga mencatat kemajuan berarti meski beberapa bukti baru terus dimunculkan.

DPR berketetapan memperpanjang masa tugas tim pengawas proses hukum skandal karena berharap kepemimpinan baru di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) lebih responsif. Ekspektasi publik terhadap proses hukum kasus dugaan suap proyek Wisma Atlet SEA Games Palembang dan Proyek Hambalang pun tampaknya tidak terwujud. Dakwaan terhadap aktor utama kasus ini, Muhammad Nazaruddin, sempat disederhanakan sedemikian rupa sehingga Nazaruddin seperti dipaksa untuk menelan ludahnya sendiri. Pembiaran-pembiaran itu cenderung menimbulkan preseden.

Oknum-oknum birokrat dan unsur swasta tidak takut untuk melakukan kejahatan berskala besar. Ada keyakinan pada mereka bahwa manakala aksi kejahatannya terungkap, semuanya bisa diatur dan mereka akan lolos dari jerat hukum. Itulah yang terjadi pada kasus cek pelawat di pemilihan Deputi Gubernur Senior (DGS) Bank Indonesia 2004. Mereka yang didakwa sebagai penerima suap sudah divonis, sementara rakyat di negara ini tak pernah diberi tahu siapa yang menjadi pemberi suap dalam kasus ini. Si penyuap bisa lolos hingga saat ini karena segala sesuatunya bisa diatur dengan uang atau dengan tekanan politik.

Apa yang terjadi di Kabupaten Mesuji, Lampung, juga menggambarkan betapa beraninya pelaku kejahatan tersebut. Mereka mengadu domba warga setempat hingga jatuh korban tewas. Para pelaku kejahatan di Mesuji sudah sampai pada prinsip menghalalkan segara cara,termasuk mengorbankan nyawa manusia, demi sebuah bisnis.Anehnya,penderitaan warga Mesuji akibat kesemena- menaan dan ketidakpedulian negara baru terungkap pertengahan Desember 2011. Padahal, rangkaian tindak semena-mena itu sudah berlangsung sejak April 2011.

Serba Janggal

Tindakan semena-mena terhadap warga Mesuji tampak begitu nyata ketika alatalat kelengkapan negara ikut-ikutan, bahkan proaktif, menyiapkan Pamswakarsa yang diinisiasi swasta. Ketika alatalat negara setempat membiarkan atau merestui kekuatan modal swasta membentuk Pamswakarsa untuk menyelesaikan persoalan sengketa lahan, sama artinya negara memberi ruang bagi kekuatan modal swasta untuk mengadu domba rakyat atau warga setempat.

Pamswakarsa biasanya juga warga setempat. Persoalan berikutnya adalah mengapa tragedi Mesuji tidak menimbulkan heboh beberapa saat setelah kejadian? Menjadi heboh setelah korban dan keluarga korban bersusahpayah mencari akses di Jakarta untuk mengadukan nasib mereka. Hanya ada tiga kemungkinan. Pertama, skala kasusnya memang tidak sedramatis yang dilaporkan kepada Komisi III DPR RI. Kedua, upaya menyederhanakan kasus.

Ketiga, upaya menutup-nutupi tragedi ini. Kalau benar terjadi tragedi kemanusiaan atau pelanggaran HAM berat di Mesuji pada pekan kedua November 2011, dan baru menjadi heboh di Jakarta pada pertengahan Desember 2011, itu adalah rentang waktu yang sangat panjang untuk mengungkap sebuah tragedi kemanusiaan. Bandingkan dengan keadaan di Papua. Dalam hitungan menit, aparat yang tertembak oleh penyerang tak dikenal segera menjadi berita berskala nasional.

Maka, dalam kasus Mesuji, patut diduga ada pihak yang berusaha menutup-nutupi kasus ini. Warga setempat bahkan sempat diselimuti rasa takut untuk melapor karena mendapat ancaman. Karena itu, untuk mendalami latar belakang kasus ini, Menko Polhukam mestinya mempertanyakan kejanggalan ini. Setidaknya, kalau betul terjadi tragedi pelanggaran HAM berat di Mesuji, mengapa Jakarta (Pemerintah Pusat) harus dibuat terkejut satu bulan kemudian? Tidakkah berarti ada standard operating procedure (SOP) yang dilanggar pihak berwenang di daerah kejadian?

Semua kejanggalan dalam menangani kasus ini sudah menodai progres reformasi. Kitasudah kehilangan hak untuk membuat klaim tentang kemajuan reformasi. Kasus ini mendapatkan porsi pemberitaan yang sangat luas, termasuk oleh media asing. Dengan terjadinya pelanggaran HAM berat di Mesuji, praktis tidak ada argumen yang layak untuk bisa meyakinkan siapa pun bahwa alat-alat negara sudah reformis. Semua elemen masyarakat sangat prihatin dengan apa yang terjadi di Mesuji.

Harihari belakangan ini terjadi adu argumentasi tentang benar-tidaknya pembantaian, tentang jumlah korban, dan tentang siapa pelakunya. Dalam konteks penegakan hukum, adu argumentasi tentang hal-hal tersebut memang perlu. Namun, dalam konteks yang lebih luas, adu argumentasi itu tidak penting lagi. Dalam konteks citra negara dan bangsa, adu argumentasi tidak menyelesaikan persoalan. Negara sudah dalam posisi harus mengakui ada tragedi itu. Tidak mungkin warga Mesuji jauh-jauh datang dan melapor ke DPR hanya untuk berbohong.

Penyelenggara pemerintahan di negara justru harus bertanya dan introspeksi, karena model tragedi seperti itu masih terjadi di era reformasi sekarang. Kalau ada korban tewas, terluka, dan trauma berkepanjangan akibat pelanggaran HAM berat, pemerintah justru harus bertanya pada dirinya sendiri; mengapa alat negara tidak bisa melindungi rakyat di lokasi kejadian?

Kalau tidak bisa melindungi rakyatnya sendiri, berarti pemerintah dapat dinilai gagal dan lemah. Ini sekaligus juga menjadi lampu kuning bagi kepala negara.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar