LAPORAN AKHIR TAHUN 2011 TENTANG METROPOLITAN
Doa
Parjianti di Akhir Tahun
Sumber : KOMPAS, 15 Desember
2011
Bangun di pagi hari di akhir November 2011.
Mendung menggantung, gerimis mulai mengguyur Kampung Pulo, Pondok Labu,
Cilandak, Jakarta Selatan. Parjianti menghela napas. Sekilas dilihatnya
sepasang sepatu bot, ember, kain pel, dan sapu plastik di sudut rumahnya. Hari
itu, seperti hari-hari sebelumnya, ia yakin banjir akan menggenangi rumahnya
lagi.
Ingatan Parjianti (38), warga RT 11 Kampung
Pulo, kembali ke bulan ketiga di tahun ini. Waktu itu musim hujan baru saja
lengser dari puncaknya. Namun, sisa hujan justru menjadi petaka. Sungai Krukut
yang melintasi kampungnya sejak Maret itu menyempit semakin parah.
Dari sungai dengan lebar 4-6 meter, kini
menjadi 1-3 meter saja. Sebabnya, pemilik tanah tepat di seberang Kampung Pulo
berbenah. Gorong-gorong besar dibuat lengkap dengan talut, sebagian badan
sungai tertutup meski di bawahnya ada saluran air, ada jalur pejalan kaki, dan
tanah lapang cukup luas. Namun, bagi warga, harus berkubang air kotor
berbulan-bulan tentu membutuhkan ketahanan ekstra.
Tanah Kampung Pulo memang berstatus tanah
garapan. Banyak warga mengaku membeli tanah kepada pengurus kampung setempat
belasan hingga 25 tahun silam. Sebagian mengaku menyimpan bukti kuitansi
pembelian tanah yang rata-rata pada 1980-an seharga Rp 50.000 per meter
persegi. Mereka juga warga resmi karena memiliki kartu tanda penduduk dan kartu
keluarga resmi.
Warga Kampung Pulo hanya bagian kecil dari
sekian banyak warga perkampungan pinggir kali. Di sepanjang Ciliwung, dari
Kalibata sampai Manggarai, Jakarta Selatan, diperkirakan ada 71.000 keluarga
penghuni bantaran.
Penataan Warga Bantaran
Namun, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tidak
mau dianggap melakukan pembiaran. Selain meragukan mereka, Gubernur Fauzi Bowo
juga menyatakan telah mendatangi dan memperingati warga akan adanya ancaman
bencana tersebut. Sekaligus menjelaskan soal rencana kerja birokrasinya membuat
waduk di Kampung Pulo sebagai parkir air agar potensi banjir bisa dikurangi.
”Saya meragukan legalitas mereka,” ujar Fauzi.
Hal itu diperkuat oleh penegasan Kepala Badan
Perencanaan Pembangunan Daerah DKI Jakarta Sarwo Handayani yang menyatakan
sudah ada agenda penataan warga bantaran kali. Apabila benar rencana
pembangunan waduk itu seperti yang dikatakan Gubernur Fauzi Bowo, proyek
tersebut akan mulai dilaksanakan pada 2012.
Menurut Sarwo, agar hak warga tetap
terlindungi dan terlayani, DKI menerapkan resettlement solution framework.
”Kami gunakan konsep ini saat DKI dan pemerintah pusat melaksanakan pengerukan
dan penataan 13 sungai mulai 2012. Kami akan melakukan sejumlah pendekatan
kepada masyarakat dibantu para ahli, termasuk sosiolog, perencana kota,
lingkungan, dan lainnya,” katanya.
Rencana Pemprov DKI untuk menata bantaran
kali bukan persoalan mudah. Menyitir pendapat sosiolog Robertus Robert yang
pernah mengadakan penelitian tentang penghuni bantaran, warga di pinggir
Ciliwung rata-rata sudah menetap tiga sampai empat generasi. Urbanisasi dan
pertarungan mendapatkan rezeki di Ibu Kota yang dipandang lebih mudah
dibandingkan dengan di daerah asal melatarbelakangi pilihan hidup warga
bantaran tersebut.
Setelah beradaptasi puluhan tahun mereka
tentu butuh pendekatan dari berbagai bidang ilmu dan proses yang cukup memakan
waktu agar bersedia ditata dan direlokasi. ”Kalau tidak, yang akan muncul
adalah bencana sosial,” kata Robertus.
Kacau di Mana-Mana
Ini salah satu sisi wajah kota ini yang
menanggung beban dan konsekuensi penataan kota yang tidak baik. Bahkan, ahli
tata kota dari Universitas Tarumanegara, Suryono Herlambang, lebih berani lagi
mengatakannya, amburadul. Suryono, yang mendalami dan mengikuti perkembangan
pemanfaatan lahan dan perkembangan properti di Jabodetabek, khususnya di wilayah
Jakarta, menyimpulkan tata Kota Jakarta saat ini kacau-balau.
Masalah itu tidak hanya terjadi di bantaran
kali, tetapi juga kawasan premium. Apabila tertulis dalam draf perencanaan
pembangunan, seperti Rencana Tata Ruang Wilayah DKI Jakarta 2010-2030, itu pun
baru sekadar wacana.
Lihatlah Grogol sekarang, sepanjang Jalan S
Parman sampai Gatot Subroto tumbuh berapa pusat perbelanjaan besar? Berapa
pintu masuk ataupun keluar tol, adakah jalan-jalan alternatif ketika terjadi
kemacetan luar biasa di ruas jalan itu?
Kondisi ini belum membedah soal manajemen
lalu lintas yang kacau, memecahkan masalah limbah air kotor ataupun sampah
rumah tangga yang terus meningkat volumenya, plus tidak adanya keseimbangan
volume rumah mewah, sedang, dan sederhana.
Pembangunan fasilitas transportasi publik
terasa terengah-engah mengejar pembangunan infrastruktur lain, terkadang
terlihat ketidaksinkronan antara keduanya. Misalnya, syarat utama dibangunnya
perumahan atau kompleks perkantoran sebenarnya harus dekat dengan fasilitas transportasi
publik. Kenyataannya, perumahan, perkantoran, pusat belanja berlomba hadir
dekat mulut tol atau jalan layang. Kendaraan pribadi makin merajai jalanan.
Boleh dibilang, kendaraan pribadi menjadi ”transportasi massal” di Jakarta.
Mengapa semua ini terjadi karena seluruh
program tidak pernah melibatkan rakyat dalam proses perencanaan sampai dengan
pelaksanaan pembangunan. Mengutip pendapat planolog Universitas Trisakti, Yayat
Supriyatna, rakyat hanya sebagai penonton, sementara semua pembangunan masih
berorientasi proyek dan sekadar mengejar keuntungan atau jalan keluar sesaat.
Di tengah kekacauan itu, penghuni tepi kali
yang tidak memiliki kekuatan politis ataupun ekonomi hanya bisa berdoa, semoga
ada secercah asa positif pada tahun 2012.
●
(NELI TRIANA)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar