Quo
Vadiz Penghormatan HAM?
Muhamad Haripin, PENELITI DI PUSAT PENELITIAN POLITIK
LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA (LIPI)
Sumber : SINDO, 10 Desember 2011
Kondisi HAM di Indonesia saat ini
masih memprihatinkan. Hak prinsipil warga negara untuk hidup tenteram,
sejahtera, dan bebas dari ancaman belum dapat dilaksanakan sepenuhnya.
Negara yang semestinya menjamin terpenuhinya HAM, tidak jarang, malah menjadi pelanggar utama. Kasus kekerasan yang menimpa kaum miskin kota dalam kasus penggusuran, atau dalam konteks lebih luas,kekerasan sistematik terhadap penduduk asli di tanah Papua, memperlihatkan bahwa negara, melalui aparatur penegak hukum maupun keamanannya, telah bertindak sewenang-wenang dan abai terhadap asas perikemanusiaan yang adil dan beradab.
Namun, pelanggaran HAM tidak melulu berkaitan dengan kekerasan fisik/militer.Korupsi, diskriminasi atas akses sosial ekonomi, pengerdilan identitas kelompok tertentu,juga termasuk dalam praktik pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia.Dalam kasus ini, pelanggarnya tidak terbatas kepada negara, tapi juga merembet ke kelompok masyarakat yang memiliki kekuasaan modal maupun koersif, atau memiliki kedekatan dengan sumber kuasa.
Dalam beberapa kasus yang sempat ramai diberitakan, misalnya penyerangan terhadap kelompok Ahmadiyah dan razia paksa terhadap restoran yang buka saat bulan puasa. Organisasi masyarakat bahkan melakukan kekerasan fisik dan melakukan tindakan sweeping yang sama sekali bukan wewenangnya (extrajudicial violence). Di Indonesia dewasa ini state violence berpadu dengan civil violence.
Kedua tipe kekerasan tersebut sama-sama berakibat destruktif. Terlebih,hukum dan sistem penegakan hukum di Indonesia telah dengan mudah dimanipulasi demi kepentingan segelintir orang. Kondisi yang terjadi adalah pelaku kekerasan tidak tersentuh dan—atau bahkan dapat dengan mudah—lari dari hukum.
Dengan kondisi seperti itu, potret Indonesia dalam penghormatan terhadap HAM tampak muram.Kebanggaan sebagai salah satu negara demokrasi ketiga terbesar di dunia dan anggota G-20 menjadi pudar ketika dihadapkan kepada wajah bopeng pelanggaran HAM.
Penghormatan HAM
Dalam rangka peringatan Hari HAM Sedunia tahun ini, yang jatuh pada 10 Desember,negara dan masyarakat perlu diingatkan kembali mengenai urgensi penghormatan terhadap HAM. HAM adalah hak-hak dasar yang melekat pada tiap individu. Kalaupun dengan bernegara, warga meletakkan sebagian haknya untuk dibatasi oleh negara, bukan berarti negara lantas bisa bertindak semaunya.
Relasi negara-masyarakat di Indonesia mesti diletakkan dalam koridor demokrasi. Penguatan negara (strong state) bukan berarti masyarakat lemah (weak society),atau sebaliknya. Peningkatan kapabilitas dua entitas tersebut pada aspek tertentu sulit dipungkiri akan berlangsung secara divergen karena perbedaan kepentingan maupun perspektif.Namun, pada aspek lain,kondisi konvergen pun mungkin terjadi.
Dalam urusan penghormatan atas HAM inilah semestinya konvergensi tersebut terjadi: negara dan masyarakat sepakat bahwa HAM merupakan prioritas dalam setiap kebijakan pemerintah,baik itu untuk pembangunan yang berdimensi ekonomi (development) ataupun keamanan strategis (security).
Komnas HAM
Dalam konteks ketatanegaraan, peran ‘lembaga khusus’ seperti Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menjadi penting untuk dikedepankan. Serupa dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK),Komnas HAM semestinya tidak sungkan untuk bertindak progresif dalam penegakan HAM di Indonesia.Komnas HAM memosisikan dirinya di ‘sepatu’ korban, bukan penguasa atau pelanggar HAM.
Instrumen hukum tentang HAM telah tersedia,di antaranya UU 39/1999 tentang HAM, UU 26/2000 tentang Pengadilan HAM,UU 12/2005 tentang Ratifikasi Kovenan Internasional untuk Hak-Hak Sipil dan Politik,serta UU 40/2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.Permasalahan yang sedari dulu hingga kini mendera adalah implementasi berkelanjutan serta konsisten atas berbagai regulasi tersebut.
Pada kondisi demikian,Komnas HAM semakin diperlukan sebagai lembaga yang memiliki militansi dan imparsialitas dalam menyelidiki serta mengadvokasi penyelesaian pelanggaran HAM. Perhatian serius terhadap kinerja Komnas HAM perlu diberikan dan publik pun jangan sampai luput mengawasi.Terlebih, belakangan ini ada tendensi Komnas HAM bersikap plin-plan.
Komnas HAM sudah saatnya berhenti menjadi ‘lembaga ratapan.’ Tiap pelapor yang mengadu haknya dilanggar patut mendapat kepastian serta keyakinan bahwa Komnas HAM memiliki nyali sekaligus taji guna membela mereka.Wewenang yang telah dimiliki pun mesti dipergunakan semaksimal mungkin bagi penegakan HAM secara holistik sekaligus substantif,dan tercapainya keadilan bagi korban.
Tanpa harus bersikap keras terhadap negara, peran Komnas HAM yang lebih bersikap imparsial dalam membela rakyat adalah suatu keniscayaan jika Komnas HAM tak ingin kehilangan pamornya di mata masyarakat.Selamat Hari HAM Sedunia! ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar