Sabtu, 10 Desember 2011

Perbaikan Hak Sipil, Defisit Hak Ekosob

Perbaikan Hak Sipil, Defisit Hak Ekosob
Ifdhal Kasim, KETUA KELOMPOK KAJIAN HAM DAN HHI FAKULTAS HUKUM UNDIP
Sumber : SINDO, 10 Desember 2011



Penghormatan, pemenuhan, dan perlindungan hak asasi manusia (HAM) di Indonesia terus mengalami koreksi dari tahun ke tahun.Pada masa lalu—ketika rezim otoriter mencengkeram praksis politik di Indonesia—para pejuang HAM di dalam negeri terus menyerukan penghormatan negara atas hak-hak sipil dan politik (sipol).

Atas nama stabilitas nasional, rezim otoriter pada masa lalu dengan mudah melakukan pelanggaran hak-hak sipol. Kini,ketika praksis demokrasi menjadi suatu keniscayaan sejarah, pelanggaran hakhak sipol memang mengalami penurunan,namun akhir-akhir ini kita juga melihat kecenderungan terjadi arus balik dalam penikmatan hak-hak tersebut. Hak beragama dan berkeyakinan serta hak berpendapat dan berekspresi, misalnya, menghadapi tantangan dan hambatan tersendiri.

Pada titik ini, perjuangan bagi pemenuhan hak-hak sipol masih harus terus diperjuangkan. Meski demikian, kita juga harus berbagi perhatian pada rumpun lain dalam HAM yang tak kalah pentingnya dari hakhak sipol, yaitu pemenuhan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya (ekosob). Ketentuan- ketentuan tentang kewajiban negara dalam hak-hak ekosob tercantum dalam Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (KIHESB).

Dengan lahirnya kovenan ini,paradigma “charity”telah digeser menjadi paradigma “hak”, yang dapat diklaim oleh warga.Melalui UU No 11 Tahun 2005 Indonesia telah meratifikasi instrumen tersebut. Ratifikasi tentu belum cukup menjamin pemenuhan hak-hak ekosob.

Menurut data pengaduan Komnas HAM pada 2009 dan 2010, sebanyak 36% dari 6.000 pengaduan ke Komnas HAM adalah pengaduan atas terlanggarnya hak-hak ekosob. Angka ini menunjukkan bahwa persoalan pemenuhan hak-hak ekosob adalah isu HAM yang serius pada saat ini dan masa-masa mendatang.

Cakupan Hak-Hak Ekosob

Apa yang kita maksud dengan hak-hak ekosob ini? Yang tercakup ke dalam kategori hakhak ekosob ialah hak atas penentuan nasib sendiri; hak atas jaminan persamaan laki-laki dan perempuan; hak atas pekerjaan; hak atas kebebasan berserikat; hak atas upah yang adil; hak mogok; hak atas pendidikan; hak atas kesehatan; hak atas perumahan; hak atas pangan; hak atas lingkungan yang sehat dan bersih; hak atas hidup yang layak; perlindungan terhadap keluarga; hak atas jaminan reproduksi perempuan; hak untuk mendapatkan akses pada kemajuan ilmu pengetahuan, seni, sastra dan teknologi.

Berdasarkan pada kajian- kajian mutakhir hak-hak ekosob,para pakar mulai menyadari bahwa hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya ternyata tidak melulu merupakan hak-hak positif (positive rights). Ditemukan cukup banyak hak-hak yang diakui di dalamnya menuntut bukan saja negara tidak mengambil tindakan tertentu untuk melindungi hak (state obligation not to do something). Jadi bukan melulu mengharuskan negara aktif mengambil tindakan (state obligation to do something).

Hal ini dapat kita lihat pada klausulklausul dalam perumusan tentang hak berserikat,hak mogok, kebebasan memilih sekolah,kebebasan melakukan riset, larangan menggunakan anakanak untuk pekerjaan berbahaya, dan seterusnya, yang terdapat di dalam CESCR.

Situasi Hak Ekosob

Hak-hak ekosob belum dinikmati secara menyeluruh oleh warga negara Indonesia. Selain masih merupakan barang mewah, hak-hak ini juga ditandai oleh pelanggaran-pelanggaran yang masif (grave), yang hingga saat ini sulit dicari jalan penyelesaian dan pemenuhannya.

Bila dibanding dengan pelanggaranpelanggaran di bidang hak-hak sipol yang telah memiliki mekanisme yang memadai baik di tingkat internasional maupun nasional, pelanggaran-pelanggaran yang berskala masif di bidang hak-hak ekosob (ecosoc rights) masih belum memiliki mekanisme dan prosedur penyelesaian yang jelas.

Seakan-akan pelanggaran terhadap hak ekosob tidak menimbulkan kewajiban bagi negara untuk menanganinya: seakan ada impunitas yang tersembunyi. Pelanggaran atas hak ekosob bukan hanya mengedepan pada masa transisi sekarang, melainkan sudah mengakar jauh di masa pemerintahan sebelumnya (Orde Baru).

Saat ini pelanggaran terhadap hak ekosob semakin meluas. Apalagi setelah pemerintah SBY-Boediono memutuskan untuk mencabut berbagai fasilitas subsidi terhadap belanja-belanja sosial (social expenditure), termasuk pencabutan terhadap subsidi sekolah, kesehatan, hingga pada BBM.

Kita menyaksikan bertambahnya jumlah orang miskin, nelayan-nelayan kecil yang tak melaut, fasilitas kesehatan dasar tak terpenuhi, merebaknya busung lapar, gizi anak yang rendah (sehingga memunculkan isu lost generation), biaya sekolah semakin tak terjangkau oleh rakyat kecil, lapangan kerja semakin langka, dan seterusnya.Semua fenomena itu menunjukkan dengan sangat gamblang bahwa negara telah melalaikan atau melanggar kewajibannya terhadap pemenuhan hak-hak ekosob.

Perlu Ada Mekanisme

Belakangan ini semakin banyak ikhtiar yang dilakukan para sarjana dan aktivis HAM untuk memalingkan perhatian ke arah advokasi hak-hak ekonomi ekosob. Pada 1998, Komite Ecosoc mengeluarkan Komentar Umum (General Comment) No 9 yang mendorong negara menyediakan mekanisme penyelesaian hukum (yustisiabilitas) atas pelanggaran hak-hak ekosob.

Tidak kalah besar artinya,dalam keseluruhan upaya ini adalah, kajian yang dibuat oleh Sub-Komisi HAM PBB (melalui pelapor khususnya) mengenai impunitas dalam pelanggaran hak-hak ekosob. Kajian itu telah menggugah perhatian orang akan semakin pentingnya perlindungan terhadap hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya.

Pada 10 Desember 2008 akhirnya PBB berhasil merumuskan Optional Protocol to the International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights (Resolusi Majelis Umum A/RES/63/117). Melalui Protokol Pilihan tersebut sekarang tersedia mekanisme pengaduan terhadap pelanggaran hak-hak ekosob.

Protokol Pilihan memperkenalkan mekanisme seperti communication, interim measures, friendly settlement, dan inquiry procedure. Mekanisme ini memberi peluang bagi warga negara atau individu untuk melakukan pengaduan dan meminta tanggung jawab negara atas pemenuhan hak ekosob.

Komite dapat meminta negara pihak, berdasarkan informasi yang akurat terdapat indikasi pelanggaran yang sistematis atau grave,melakukan inquiry ke negara yang bersangkutan. Pelaksanaan “penyelidikan” memang dilakukan secara rahasia dan kerja sama dari negara pihak. Temuan-temuan penyelidikan akan disampaikan ke negara yang bersangkutan, dan Komite akan memantau followup dari rekomendasi yang disampaikan dalam laporan hasil penyelidikan tersebut.

Hingga kini harus diakui bahwa kita masih menghadapi jalan buntu untuk mewujudkan pemenuhan hak-hak ekosob. Kondisi ini terjadi karena hingga kini kita belum memiliki mekanisme nasional dalam menjamin pemenuhan hak-hak ekosob.Protokol Pilihan untuk Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya mungkin bisa kita jadikan rujukan dalam upaya kita membangun mekanisme nasional yang dimaksud.

Tanpa tersedianya suatu mekanisme yang efektif dan aplikatif, sulit bagi kita memutus mata rantai impunitas yang selama ini membelit hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya. Inilah tantangan kita bersama!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar