Sabtu, 10 Desember 2011

Penegakan Hak Asasi Manusia Pasca-Sondang


Penegakan Hak Asasi Manusia Pasca-Sondang
Usman Hamid, PENELITI DI PUSAT PENELITIAN POLITIK LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA (LIPI)
Sumber : SINDO, 10 Desember 2011




Saya terhentak ketika mendengar bahwa aksi bakar diri di depan Istana dilakukan mahasiswa yang aktif bersolidaritas kepada perjuangan korban pelanggaran hak asasi manusia (HAM).

Bagaimana kita memaknainya dalam peringatan Hari HAM kali ini? Sondang Hutagalung––jika benar hasil tes DNA dokter–– adalah mahasiswa yang kerap ada dan aktif berperan dalam prakarsa-prakarsa Kontras untuk memperjuangkan keadilan dan HAM.

Jika ke Kontras,hampir selalu kita temui dia sedang berkumpul sesama aktivis mahasiswa dan mendiskusikan permasalahan HAM atau seputar bagaimana membangun gerakan mahasiswa dan peranan pemuda. Sondang aktif mempersiapkan kegiatan korban dan keluarga korban pelanggaran HAM untuk melakukan aksi diam pada setiap Kamis,pukul 4 sore, di depan Istana.

Ia dikenal ramah, menyukai olahraga sepak bola. Pada akhir pekan, saya kerap melihatnya membaca buku di perpustakaan Kontras. Dalam dua bulan terakhir, Sondang tak hadir di tengahtengah berbagai kegiatan Kontras yang belakangan begitu intensif memantau perkembangan Papua.

Ketidakhadiran ini hal biasa karena sebagai seorang aktivis mahasiswa, mungkin saja dia tengah mengikuti kegiatan dengan organisasi lain ataumelakukan tugastugas mahasiswa. Lalu apa yang terjadi sebenarnya? Yang pasti, orang tua, keluarga, dan kerabat dekatnya amat bersedih hati. Kita pun bersedih dan dibuatnya tak percaya.

Dan bila direnungkan lebih mendalam lagi, kita seperti diajak untuk merefleksikan aksi ini sebagai suatu bentuk pengorbanan diri sekaligus untuk membangun perhatian dan menggelorakan spirit kejuangan (martyrdom) yang lebih luas. Tindakan ini dikenal sebagai self-immolation yang dikenal selama berabad-abad sebagai protes politik terhadap ketidakadilan dan kezaliman kekuasaan yang nyaris mustahil dikoreksi.

Keadaan yang nyaris tak terkoreksi itu melahirkan semacam tindakan dramatik dan revolusioner pada diri aktor selfimmolation untuk menarik perhatian dari khalayak luas dengan menyerahkan tubuhnya pada api sebagai aksi pengabdian diri. Majalah Times dan New York Times mencatat, setidaknya terdapat 100 orang dalam kurun 1963–1971 yang melakukan self-immolation sebagai protes terhadap Amerika Serikat dalam Perang Vietnam.

Dalam gelombang baru dari revolusi sosial, Sondang Hutagalung mengingatkan kita pada Mohamed Bouazizi, seorang sarjana Tunisia yang dagangannya dirampas oleh aparat karena dianggap ilegal.Di tengah ketatnya kontrol kekuasaan, dia kemudian menempatkan aksi bakar tubuhnya sebagai wujud protes terhadap kesewenangwenangan.

Bouazizi atau Sondang juga seperti mengulangi Jan Palach, seorang mahasiswa Czechnya yang menentang aksi pendudukan militer Soviet dengan cara membakar diri dan kemudian melahirkan perlawanan yang meluas.

Tak Menentu

Lalu apakah kondisi kehidupan masyarakat Indonesia sudah sedemikian kritisnya sehingga seorang mahasiswa seperti Sondang berani mengambil tindakan demikian? Keadaan penegakan HAM di Tanah Air memang semakin tak menentu. Pemerintahan yang berkuasa selalu menyangkal dan menunda pemenuhan tuntutan berbagai lapisan rakyat bawah.

Media massa setiap hari merekam perlawanan-perlawanan sosial perseorangan maupun kelompok masyarakat terhadap kebijakan negara yang tidak adil.Tindakan-tindakan represif negara semakin dihidupkan kembali sekaligus semakin gagal meredam suara-suara protes.

Dalam penelitian mendalam, Imparsial dan Kontras bekerja sama dengan Federasi Internasional HAM yang berbasis di Paris, Prancis (FIDH) menyimpulkan bahwa walaupun sejak 1998 terjadi perbaikan melalui berbagai pernyataan politik mengenai komitmen penegakan HAM, Indonesia terus menghadapi tantangan serius dalam isu HAM.

Di antaranya ketiadaan hukuman dalam kasus-kasus kekerasan yang dilakukan aparat keamanan negara, berbagai legislasi yang inkonsisten dengan kewajiban Indonesia kepada konvensi HAM internasional, sistem peradilan yang lemah dan korup, serta berkembangnya intoleransi terhadap kaum minoritas.

Penelitian yang berjudul “Shadows and Clouds: Human Rights in Indonesia, Shady Legacy,Uncertain Future (2010)” menemukan budaya kebal hukum dan ketiadaan hukuman (impunitas) terbawa dari pemerintahan Soeharto. Ini adalah persenyawaan dari besarnya kekuasaan militer,reformasi polisi yang tak memadai, dan kerentanan sistem peradilan dari pengaruh eksternal.

Penyelidikan kredibel terhadap pelanggaran HAM berat, terutama yang melibatkan aparat keamanan, jarang dilakukan. Sejumlah anggota militer, apalagi perwira, yang dituduh atau didakwa dalam pelanggaran HAM tetap menjalankan tugas aktifnya, bahkan mendapat kenaikan pangkat dan promosi jabatan militer hingga jabatan di jajaran kementerian. Status kontrol sipil dari pemerintah dan DPR terhadap tentara masih meragukan.

Dalam merespons Papua, taktik bersenjata ala Orde Baru masih diterapkan untuk membungkam suara kritis di Papua, termasuk dengan penyiksaan warga sipil secara brutal dengan stigma separatis. Contoh lainnya adalah rendahnya akuntabilitas atas pembunuhan pembela HAM Munir Thalib Said pada 2004 dan putusan bebas bagi terdakwa dalang pembunuhan tersebut,Muchdi Purwo-pranjono, setelah melalui persidangan yang penuh cacat.

Berlakunya legislasi antiterorisme dan penyalahgunaannya juga telah menyebabkan pelanggaran HAM berat oleh aparat keamanan dan intelijen. Baru-baru ini Badan Intelijen Negara diberi wewenang yang eksesif, mengatasi institusi hukum. Sebelumnya Undang- Undang Antiterorisme (UU 15/2003) memuat definisi “terorisme” yang luas sehingga membuka pintu pelaksanaan sewenang-wenang oleh negara. Praktik dari UU ini membuktikan kekuasaan yang luas tanpa kendali pada pelaksana hukum.

Nah, kondisi seperti inilah yang mungkin dipikirkan oleh seorang mahasiswa seperti Sondang. Kita selayaknya berempati dan mengambil prakarsa untuk mengubah keadaan ini.

1 komentar: