Selasa, 20 Desember 2011

Quo Vadis Pembangunan Manusia Indonesia?


Quo Vadis Pembangunan Manusia Indonesia?
Ivan A. Hadar, KOORDINATOR TARGET MDGS 2007-2010
Sumber : SINDO, 19 Desember 2011



Dalam publikasi terbarunya, UNDP mencatat terjadinya penurunan drastis Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia dari peringkat ke- 108 pada 2010 menjadi ke-124 pada tahun ini.

Namun, baiknya kita membacanya dengan hati-hati dan mempertimbangkan dua hal berikut ini. Pertama, untuk tahun ini jumlah negara yang dinilai oleh UNDP bertambah menjadi 187,sedangkan tahun lalu 169. Kedua,sejak 2010, pengukuran IPM telah menggunakan kriteria yang berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Dengan menggunakan kriteria baru ini, posisi Indonesia sebenarnya mengalami perbaikan satu tingkat dibandingkan tahun lalu.

Meskipun demikian, menimbang potensi negeri yang sangat kaya sumber daya alam serta memiliki pasar yang luas ini,kita berharap terjadi peningkatan yang jauh lebih cepat. Pertimbangannya, posisi Indonesia saat ini dengan nilai IPM 0,6170 masih berada dalam kategori negaranegara berperingkat menengah bawah dengan nilai rata-rata dunia sebesar 0,682. Adalah benar bahwa dalam waktu tiga dasawarsa terakhir, nilai IPM Indonesia meningkat dari 0,423 menjadi 0,6170.

Sebuah peningkatan rata-rata sebesar 1,19% per tahun. Sementara dalam kurun waktu tersebut,angka harapan hidup juga meningkat sekitar 20%.Begitu pula dengan gross national income(GNI) per kapita yang meningkat hampir dua kali lipat. Namun,penilaian jangka panjang tersebut ketika diperbandingkan dengan negara-negara tetangga atau secara regional memperlihatkan lambannya peningkatan peringkat kita.

Pada 1980, untuk kawasan Asia dan Pasifik, Indonesia bersama China, Malaysia, Thailand, dan Filipina memiliki nilai IPM yang hampir sama. Kini, negara-negara tersebut telah mengalami perkembangan yang berbeda. Posisi Indonesia saat ini berada di bawah beberapa negara ASEAN seperti Singapura dan Malaysia yang berperingkat tinggi,sementara Thailand (103) dan Filipina (112) berada pada posisi menengah atas.

Adapun Vietnam dan beberapa negara ASEAN lainnya seperti Myanmar, Laos, Kamboja masih berada di bawah Indonesia. Tanpa ada perubahan kebijakan yang signifikan, terutama mengenai upaya pemberantasan kemiskinan yang menjadi penyebab utama rendahnya pendidikan dan kesehatan serta berimplikasi pada rendahnya peringkat IPM kita,Indonesia dicemaskan akan “berjalan di tempat”untuk kemudian dalam waktu dekat tersusul, paling tidak oleh Vietnam.

Kebijakan Pro-Orang Miskin

Dengan menggunakan ukuran nasional,yaitu mereka yang dianggap miskin karena asupannya di bawah 2.100 kkal serta penghasilannya di bawah 1,25 dolar AS per hari dan beberapa kriteria nonmakanan,jumlah orang miskin di Indonesia sejak 2007 mengalami penurunan.Per Maret 2007 turun 2,13 juta, dari 39,30 juta orang (17,75%) menjadi 37,17 juta orang (16,58%) dibandingkan periode yang sama tahun lalu.Lalu, turun lagi menjadi 14,15% atau sekitar (BPS,Siaran Pers Juli 2009).

Terakhir turun menjadi 12,4% atau sekitar 30,02 juta orang (PS,Juli 2011). Meski angkanya masih tinggi, sejumlah pengamat meragukan hasil survei tersebut karena memprediksi jumlah yang lebih tinggi. Terlepas dari kontroversi tersebut, diperlukan berbagai pendekatan untuk menjelaskan penyebab kemiskinan yang tergolong tinggi tersebut serta proses pemiskinan yang masih saja berlanjut.

Bagi Amartya Sen (1981), seseorang disebut miskin karena tidak memiliki akses (entitlement) untuk memenuhi kebutuhannya.Akses yang menjadi hak setiap orang itu ditentukan oleh “nilai”diri yang dimilikinya.Bagi kebanyakan orang, nilai yang dimiliki sebatas tenaga kerja.Karena itu,kemiskinan dan kelaparan tidak bisa diatasi dengan sekadar memperbesar produksi. Orang miskin harus punya pekerjaan yang memberinya penghasilan.

Terdapat kesepakatan luas bahwa jika pemberantasan kemiskinan adalah motif utama kebijakan pembangunan, pengadaan dan peningkatan penghasilan orang miskin adalah tujuan terpenting semua kegiatan. Namun, asumsi bahwa pertumbuhan ekonomi adalah resep terbaik pemberantasan kemiskinan karena akan menyerap tenaga kerja perlu dikritisi. Karena, kenyataan empiris menunjukkan hal berbeda. Penyebabnya, terutama akibat maraknya cara berproduksi industrial yang padat modal dan hemat tenaga kerja.

Berseberangan dengan asumsi tersebut adalah keyakinan bahwa orang miskin harus dibantu memperoleh penghasilan.Usaha kecil diyakini sebagai pendukung utama perekonomian rakyat meski biasanya dipandang sebelah mata oleh pemerintah. Tampaknya, meski tidak ada resep instant dan dipastikan manjur,beberapa hal berikut ini harus menjadi pegangan dalam kebijakan pemberantasan kemiskinan. Pertama,manusia, kesejahteraan, dan pengamanan masa depannya harus selalu menjadi fokus utama kebijakan pembangunan.

Bukan pertumbuhan ekonomi, pendapatan per kapita, kemampuan bersaing ataupun integrasi ke dalam pasar dunia. Kedua,lewat kebijakan dan regulasi,kesempatan yang sama harus diberikan dalam persaingan antara usaha kecil dengan usaha menengah besar padat modal maupun antarusaha kecil itu sendiri. Ketiga, pemberantasan kemiskinan lewat pengadaan lapangan kerja harus memperhatikan tingkat pengembangan industri dan integrasi sebuah negara dalam pasar dunia.

Negara yang tingkat pertumbuhan industrinya belum terlalu maju sementara sektor informalnya masih dominan seperti halnya Indonesia, perlu mempertimbangkan strategi yang pas. Keempat, pemetaan masalah dan potensi sebuah negara serta akseptansi strategi pembangunan yang spesifik hanya akan bisa diterima luas bila hal tersebut dilakukan dengan melibatkan semua pihak terkait, termasuk orang miskin.

Kelima, negara berkembang dengan potensi pasar luas seperti halnya Indonesia sering kali akan ditekan oleh lembaga multilateral (terutama WTO, IMF, dan Bank Dunia) serta negara adidaya (khususnya AS, China) untuk membuka pasarnya dan menghilangkan subsidi. Bila hal ini dituruti,paling tidak secara jangka pendek, berdampak anjloknya tingkat upah dan meningkatnya PHK yang berarti meningkatnya jumlah orang miskin.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar