“Powerful
Words by Heart”
Puspita Zorawar, EXPERTISE
PERSONAL DEVELOPMENT INDONESIA
Sumber
: SINAR HARAPAN, 10 Desember 2011
Pada
suatu kesempatan, saya pernah menjadi salah satu pembicara dalam seminar
mahasiswa di Jakarta dengan judul “Wordsmart di Era Multimedia”.
Salah
satu topik yang dibahas pada waktu itu adalah kemampuan menyampaikan gagasan
melalui kata-kata atau tulisan merupakan salah satu potensi besar yang dapat
menjadi alternatif profesi di masa kini.
Howard
Gardner, penulis Frame of Mind: The Theory of Multiple Intelligences (1983),
berpendapat bahwa di antara ketujuh kecerdasan yang dimiliki manusia, salah
satu di antaranya adalah kecerdasan bahasa.
Ini
merupakan suatu kepekaan terhadap bahasa lisan atau bahasa tulis (baca:
kata-kata). Seseorang dengan kecerdasan ini akan mampu mempelajari bahasa
dengan cepat serta menggunakannya dengan tepat.
Rangkaian
kata yang mengandung arti (lazim kita sebut kalimat) merupakan bagian yang
sangat penting dalam proses berkomunikasi. Dengan demikian, tujuan
berkomunikasi kita akan tercapai.
Walau
dalam proses komunikasi sering ketika sender (komunikator) menyampaikan
pesan kepada receiver (komunikan), terjadi banyak variabel yang sering
menjadi penghalang pesan dapat diterima dengan baik, namun saya ingin
menyampaikan bahwa hampir 80 persen proses berkomunikasi diwakili oleh
rangkaian kata.
Seorang
pengarang buku best seller menggunakan kata-kata yang tepat untuk
menghibur, menginformasikan pengetahuan, atau memberi motivasi, memberi manfaat
kepada orang lain (pembacanya), sehingga buku-buku mereka dapat laris dibeli
orang.
Namun,
di sisi lain, oleh pihak lain, rangkaian kata juga dapat digunakan untuk
mengungkapkan emosi seseorang, untuk menuduh, memfitnah, memaki-maki orang
lain, bahkan mengintimidasi seseorang.
Tidak
lama setelah seminar tersebut, seorang senior saya, sebut saja Pak Adit,
seorang direktur di sebuah perusahaan multinasional menelepon saya dari luar
pulau dalam sebuah perjalanan dinasnya. Selain karena akan mengoordinasikan
suatu hal, beliau juga menceritakan kegemasannya pada seseorang, sebut saja Pak
Hiro.
Pak
Adit bercerita bahwa Pak Hiro telah melakukan tindakan tidak terpuji sebagai
seorang profesional, menelepon sekretarisnya dengan “penuh amarah”. Ia
memaki-maki sang sekretaris karena permohonannya agar Pak Adit dapat menjadi
pembicara dalam suatu sarasehan internal perusahaan tempat Pak Hiro bekerja
tidak kunjung mendapat tanggapan.
Sementara
itu, menurut sekretaris Pak Adit, hal tu terjadi karena jadwal Pak Adit padat
sekali sehingga sekretaris Pak Adit belum dapat memberikan konfirmasi sebagai
pembicara, seperti yang diminta oleh Pak Hiro.
Pak
Adit memang salah seorang ahli di Indonesia dalam materi yang diajukan Pak Hiro
untuk sarasehan internal di perusahaannya.
Pak
Hiro merasa memiliki kuasa dengan mengatasnamakan sebuah perusahaannya untuk
“memaksa” Pak Adit memberikan konfirmasi segera, karena tentu saja event
internal tersebut akan lebih menarik kehadiran para karyawan perusahaan
tersebut jika dapat menghadirkan Pak Adit.
Namun,
apa yang terjadi pada akhirnya? Karena kata-kata yang penuh amarah, ditambah
dengan penyampaian dengan emosi tinggi dari Pak Hiro, tanpa berpikir panjang,
tanpa melihat perusahaan apa yang mengundang, langsung saja Pak Adit memutuskan
menolak permintaan tersebut.
Bahkan,
Pak Adit menginstruksikan kepada sang sekretaris bahwa jika suatu ketika ada
permintaan lagi dari Pak Hiro, sebaiknya langsung saja ditolak dengan cara yang
profesional.
Pak
Adit tidak tertarik lagi kepada content (isi pesan) yang disampaikan
oleh Pak Hiro melalui sekretarisnya, namun hanya satu hal yang menjadi
pertimbangan Pak Adit, yaitu context (situasi) bahwa seseorang telah
meminta sesuatu dengan penuh amarah adalah tindakan yang tidak profesional.
The
real art of conversation is not only to say the right thing at the right time,
but also to leave unsaid the wrong thing at the tempting moment.
Kata-kata
yang disampaikan pada saat kita berkomunikasi, dengan siapa pun, selalu keluar
dari hati kita. Kata-kata yang penuh amarah justru berpotensi menggagalkan
tujuan proses berkomunikasi. Kata-kata yang penuh amarah dari Pak Hiro, membuat
Pak Adit tidak pernah merasa trust (percaya) lagi kepada Pak Hiro.
Kata-kata
seperti pedang, seperti pedang bermata dua. Ketika kita berkomunikasi, setelah
kita mendengarkan pihak lain, kemudian pada saat kita akan memberikan feedback,
kata-kata yang kita rangkai dengan benar, kita sampaikan secara asertif, dalam
waktu yang tepat akan membuahkan hasil luar biasa. Itulah the powerful word
by heart, yang akan sangat berpengaruh apakah komunikasi kita dapat efektif
atau tidak.
Kata-kata
yang kita sampaikan dalam proses komunikasi kita, sudah seharusnya mewakili isi
hati kita. Kata-kata yang telah kita sampaikan kepada orang lain, tidak akan
lenyap diterbangkan angin dan hilang begitu saja. Setiap perkataan kita akan
mempunyai makna tertentu bagi yang mendengarkannya.
Hati
kitalah yang menentukan apakah kita berkata-kata untuk memberikan manfaat
kepada orang lain atau tidak.
Ketika
kita ingin membangun generasi muda untuk menjadi pemimpin yang lebih baik di
masa yang akan datang, kata-kata yang kita sampaikan kepada mereka adalah
kata-kata yang memercayakan sebuah tanggung jawab kepada mereka, misalnya “Kalian
pasti bisa menyelesaikan ujian dengan baik, bahkan dapat berprestasi lebih baik
lagi dari semester sebelumnya”. Sebaiknya kita tidak hanya menyampaikan kata-kata
yang sekadarnya, misalnya “Kalau ujian, kalian jangan lupa belajar ya...”
Pernyataan
pertama dan pernyataan yang kedua akan menghasilkan dampak yang berbeda.
Pernyataan pertama mengandung arti: memercayakan tanggung jawab, mendukung
perolehan prestasi yang meningkat dari sebelumnya, membuka diskusi (open
communications) lebih jauh tentang bagaimana solusi untuk mencapai prestasi
yang lebih baik lagi.
Namun,
komunikasi dengan pernyataan yang kedua, hanyalah sekadar mengingatkan bahwa
ketika ujian jangan lupa belajar, tidak mengandung makna lebih, bahkan kecil
kemungkinan menghasilkan prestasi.
Kata-kata
yang dirangkai dengan tujuan positif sesuai dengan isi hati kita yang positif,
menjadikan kita menyampaikan powerful words by heart dalam berkomunikasi
dengan orang lain. Berkomunikasi dengan efektif adalah tidak hanya menyampaikan
kata-kata, namun menyampaikan powerful words by heart. Wise
men speak because they have something to say; fools because they have to say
something (Plato). ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar