Akankah
Toleransi Agama di Indonesia Berlanjut?
Franz Magnis-Suseno SJ, ROHANIWAN
DAN DOSEN DI SEKOLAH TINGGI FILSAFAT DRIYARKARA, JAKARTA
Sumber
: SINAR HARAPAN, 10 Desember 2011
Kekerasan
terhadap orang Kristen di Indonesia sering kali menjadi berita. Namun,
tindak-tindak kekerasan atas orang Kristen tidak semestinya mengaburkan fakta
bahwa mayoritas umat kristiani hidup dan beribadah bebas dari ketakutan dan
gangguan di sebuah negara mayoritas muslim, dan bahwa pindah agama pun tidak
pernah dilarang di sini.
Namun,
dalam beberapa tahun belakangan, tingkat kebebasan beragama telah menurun.
Pemerintah harus memiliki keberanian untuk menghentikan tren ini dan melindungi
minoritas agama untuk terus menegakkan kebebasan beragama.
Dalam
sembilan bulan pertama di 2011 saja, Forum Komunikasi Kristiani Jakarta
mencatat adanya 31 kali kejadian gangguan terhadap gereja. Pada 2010, mereka
mencatat ada 47 insiden.
Di
banyak daerah, hampir tidak mungkin untuk membangun gedung gereja baru dan
ketika umat kristiani melaksanakan kebaktian Minggu mereka di tempat yang tidak
berizin, mereka sering kali terpaksa berhenti di bawah ancaman kekerasan.
Bahkan, tahun ini beberapa ancaman bermotif agama berubah menjadi insiden
kekerasan.
Meski
sangat berhasil memerangi terorisme, pemerintah seperti enggan mengambil
tindakan ketika kalangan minoritas terancam. Meski pemerintah mengecam
penggunaan kekerasan, ini tidak selalu didukung dengan aksi.
Misalnya,
ketika tiga orang Ahmadiyah terbunuh di Cikeusik, polisi lokal tidak turun
tangan, dan kemudian, para pelaku hanya menerima hukuman tiga sampai tujuh
bulan kurungan penjara.
Adanya
kesenjangan antara pernyataan mengecam kekerasan dan konsekuensinya, mendorong
orang-orang di daerah masuk dalam politik sektarian yang menindas kalangan
minoritas.
Sudah
lebih dari setahun, jemaat Presbiterian di Bogor kerap diusik oleh
kelompok-kelompok non-Kristen karena harus menggelar kebaktian hari Minggu di
pinggir jalan setelah gerejanya ditutup oleh wali kota.
Kendati
Mahkamah Agung kemudian menyatakan bahwa penutupan ini tidak sah, gereja
tersebut tetap ditutup oleh wali kota, yang menghiraukan pandangan sebagian
warga muslimnya.
Ini
memperlihatkan macetnya toleransi dan ketertiban masyarakat. Pada masa lalu,
perlawanan terhadap pembangunan gereja sering kali dijustifikasi dengan argumen
bahwa gereja-gereja yang dibangun ini akan memurtadkan warga muslim.
Argumen-argumen ini biasanya dibantah melalui dialog atau diselesaikan lewat
pengadilan.
Kini,
orang tidak lagi peduli dengan dalih-dalih seperti itu dan langsung saja
mengatakan bahwa mereka tidak ingin ada gereja di kawasan perumahan mereka.
Pada
saat yang sama, banyak pemerintah daerah tengah memberlakukan peraturan
berdasarkan syariat Islam yang semakin membatasi tidak saja aktivitas kaum
minoritas agama, tetapi juga hak-hak warga negara, terutama perempuan.
Pemerintah
perlu mengumumkan bahwa ada wilayah-wilayah – seperti kebebasan beragama dan
hak asasi manusia – yang tidak bisa menjadi kewenangan yurisdiksi pemerintah
daerah, yang rentan akan kepentingan politik yang memecah-belah, dan yang
diatur dan dilindungi oleh pemerintah pusat.
Perkembangan
Positif
Namun,
kendati ada berita-berita yang mengganggu, telah ada berbagai perkembangan
positif yang perlu kita ingat dan lanjutkan. Dalam 15 tahun terakhir, hubungan
antara orang Kristen dan muslim arus utama terus membaik.
Bila
empat puluh tahun yang lalu orang Kristen cenderung meminta perlindungan dari
militer ketika ada masalah muncul, kini mereka berpaling ke Nahdlatul Ulama,
organisasi muslim terbesar di Indonesia, tidak saja untuk meminta perlindungan
tetapi juga untuk memperlihatkan pada publik bahwa hubungan antaragama di
tingkat akar rumput masihlah kuat.
Di
banyak tempat, hubungan yang saling percaya terjalin antara tokoh Kristen dan
tokoh muslim arus utama di tingkat daerah.
Mahasiswa
sekolah teologi Katolik secara rutin menggelar acara dan singgah di pesantren,
dan di beberapa tempat, pemuda Banser Nahdlatul Ulama melindungi gereja-gereja
selama perayaan Natal dan Paskah, yang kian memperlihatkan adanya ikatan
antaragama yang kuat.
Di
tingkat tokoh agama, pada 10 Januari silam, beberapa tokoh terkenal dari
berbagai agama mengeluarkan deklarasi bersama yang mengkritik pemerintah karena
gagal mewujudkan janji yang telah dibuatnya kepada publik. Tiga contoh ini
memperlihatkan bahwa mempertahankan hubungan baik dan pengertian adalah kunci
untuk membangun hubungan antaragama yang baik.
Lantas,
apakah orang Kristen di Indonesia menghadapi lebih banyak tantangan di masa
depan? Kebebasan beragama cukup berakar pada budaya Indonesia dan dihormati
oleh Islam arus utama.
Perbaikan
nyata dalam hubungan antara orang Kristen dan muslim arus utama dalam 15 tahun
terakhir mungkin menjadi penjamin kuat akan masa depan toleransi beragama dan ketertiban
masyarakat di Indonesia. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar