Di
Bawah Naungan Islamis
Novriantoni Kahar, AKTIVIS JARINGAN ISLAM LIBERAL (JIL)
Sumber
: JIL, 5 Desember
2011
“Beberapa intelektual menyebut
eksperimen “Islam adalah solusi” ini merupakan fase utopia-ideologis yang tak
dapat dielakkan sebelum terjadi pencerahan intelektual dan kultural yang massif
dan radikal di Timur Tengah. Masyarakat Arab harus diberi kesempatan bertualang
dengan Islamisme dalam suatu iklim demokratis agar mereka dapat menilai,
memberi insentif, atau justru menghukumnya lewat mahkamah kotak suara pada
pemilihan umum berikutnya.”
Kemenangan beberapa partai Islam di Tunisia,
Maroko, Mesir, dan kemungkinan Libya, Yaman dan Suriah belakangan ini membuat
pengamat Timur Tengah memplesetkan istilah Musim Semi Arab (al-Rabi’ al-‘Arabi)
menjadi Musim Semi Islamisme (al-Rabi’ al-Islamawi). Panen raya elektoral kaum
Islamis ini kini menimbulkan pertanyaan tentang paras Islamisme ketika
berkuasa. Apakah kaum Islamis akan mengalami moderasi atau justru lebih radikal
dan memaksakan agenda-agenda yang akan mengekang kebebasan sipil? Dengan kata
lain: apakah kaum Islamis akan mengubah sistem (transform the system) atau
justru akan dipaksa berubah oleh sistem (be transformed by the system) sembari
mengompromikan ideologi asasi mereka?
Belum
Terjadi, Mari Diuiji
Tentu banyak faktor sosial-politik-ekonomi yang menjelaskan mengapa
partai-partai Islamis mampu mengalahkan pesaing-pesaing mereka dari
partai-partai sekular. Dengan resiko mensimplifikasi, percobaan yang error oleh
rezim-rezim otoriter non-Islamis berhasil dimanfaatkan kaum Islamis yang selama
ini beroposisi atau menjaga jarak dengan kekuasaan. Stigmatisasi “akibat tidak
menerapkan syariat, westernis, kolaborator Zionis” yang mereka tinjukan kepada
lawan-lawan politik mereka, berhasil memberi keuntungan elektoral.
Percobaan Islamisme yang banal dan error di
Afganistan, Iran, maupun Palestina tentu bukan rahasia. Namun mereka berkilah
bahwa itu disebabkan faktor-faktor di luar kekuasaan mereka seperti konspirasi
Barat, tekanan Zionis, dan lain-lain. Bagi mereka, eksperimentasi Islamisme par
excellent belum pernah terjadi dan teruji. Kini tibalah saatnya mencoba dan
membuktikan bahwa “Islam adalah solusi” di dalam suatu iklim berdemokrasi.
Beberapa intelektual menyebut eksperimen
“Islam adalah solusi” ini merupakan fase utopia-ideologis yang tak dapat
dielakkan sebelum terjadi pencerahan intelektual dan kultural yang massif dan
radikal di Timur Tengah. Masyarakat Arab harus diberi kesempatan bertualang
dengan Islamisme dalam suatu iklim demokratis agar mereka dapat menilai,
memberi insentif, atau justru menghukumnya lewat mahkamah kotak suara pada
pemilihan umum berikutnya.
Menuju
Demokrasi Illiberal
Prasangka bahwa kalangan Islamis akan membajak demokrasi lalu menegakkan
otoritarianisme berwajah baru memang cukup beralasan juga. Wakil Ketua Partai
Kebebasan dan Keadilan Mesir, Essam El-Arian, misalnya mengatakan, dia tak bisa
menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal demi berdemokrasi. Itu
tugas Allah dan kehendak rakyat. Karena itu, ketentuan-ketentuan normatif Islam
seperti soal jilbab bisa saja akan diagendakan ketika mereka berkuasa.
Karenanya Mesir pasca-Mubarak bisa jadi akan bertranformasi dari “negara
otoriter semi-liberal” menuju “negara demokrasi illiberal” sebagaimana
formulasi Fareed Zakaria.
Otoritarianisme semi-liberal dan demokrasi
illiberal, kata Muktaz Billah—dosen ilmu politik di Universitas Michigan, AS
(www.shorouqnews.com, 13/12/11)—sama-sama melanggar hak asasi manusia. Hanya
saja, otoritarianisme semi-liberal mengakui hak-hak dasar dan kebebasan
primordial individu, namun ia dapat ditunda, diabaikan, atau dilanggar bila
dianggap mengganggu stabilitas politik atau mengancam eksistensi rezim. Itulah
yang terjadi pada masa Husni Mubarak. Sementara dalam sistem demokrasi illiberal,
pelanggaran terhadap hak-hak dan kebebasan individu berlangsung lewat tirani
mayoritas. Jenis dan volume kebebasan yang diberikan kepada warga negara
ditentukan oleh selera mayoritas. Hak dasar atas kebebasan pun dianggap bukan
sesuatu yang melekat secara primordial pada tiap individu melainkan karunia
yang dihibahkan mayoritas yang beriman kepada supremasi prosedural demokrasi.
Kekhawatiran ini kini nyata dan sangat
berasalan di Mesir maupun Libya; namun tidak di Maroko ataupun Tunisia. Shadi
Hamid, ahli Ikhwanul Muslimin merumuskan: bila kesempatan terbuka lebar,
kalangan Islamis yang berkuasa dipastikan akan mengusung legislasi-legislasi
sosial yang konservatif (socially conservative legislation) seperti segregasi
seksual, pengetatan aturan perempuan, atau aspek-aspek trivial dari Islam.
Namun sosiolog Saad Eddin Ibrahim optimis bahwa kultur dagelan (ruh al-marh)
yang melekat pada orang Mesir dan masyarakat Arab yang relatif terbuka justru
akan menjadi aspek penghalang bagi penerapan legislasi-legislasi sosial yang
illiberal (al-Masr al-Yaum, 16/7/2011).
Memeluk atau Dipeluk Kekuasaan
Karena itu, pilihan kaum Islamis di era demokrasi adalah gagal memerintah atau
berubah. Olivier Roy misalnya percaya, alih-alih sukses memaksakan ketentuan
syariat (the logic of the syariah), kaum Islamis justru akan terpaksa memeluk
kekuasaan dan bermain dalam kerangka logis bernegara (the logic of the state).
Namun penilaian normatif seperti ini kurang memberi gambaran tentang pola-pola
hubungan kaum Islamis dengan kekuasaan. Studi James Piscatori yang menguji tiga
model performa kaum Islamis di Iran, Turki, dan Palestina setidaknya
menampilkan beberapa catatan menarik.
Menurut Piscatori, (1) ideologi tidaklah
serta merta akan menjadi rompi pengekang (straitjacket) bagi kalangan Islamis
untuk bermanuver dan bertransformasi. Tak hanya partai Islam Turki yang berubah
dari Erbakanisme menuju Erdoganisme; kaum Islamis Iran pun bergerak di antara
pendulum tuntutan demokrasi dan kuasa clerisocracy ala mullah. Hamas pun
berubah dari retorika “perempuan adalah tempat mengandung dan pengayom
keluarga” menjadi penyerta perempuan secara lebih aktif di dalam kegiatan
sosial, di parlemen, bahkan menjadi polwan.
Memang (2) tantangan riil memerintah juga
tidak serta merta akan mentransformasi mereka menjadi pengingkar nilai-nilai
dan ideologi asasi mereka. Sudah pasti pula mereka tidak akan menjadi liberal,
kecuali dalam soal ekonomi. Namun yang pasti, mereka akan lebih welcome dengan
pragmatisme. Kalangan Islamis tidak akan mengubah persepsi konflik Arab-Israel
dari “konflik eksistensial-peradaban” menjadi “konflik situasional-teritorial”.
Namun di tingkat aksi, besar kemungkinan mereka tak akan mengambil portofolio
kementerian yang sensitif seperti soal pertahanan dan urusan luar negeri.
Radikalisasi kalangan Islamis, kata Shadi Hamid, kemungkinan tak akan terjadi
dalam kebijakan luar negeri (Foreign Affair edisi Mei-Juni 2011).
(3) Radikalisasi atau moderasi kalangan
Islamis juga ditentukan oleh sistem politik di negara masing-masing. Faktor ini
ikut menentukan apakah mereka akan menjadi lebih demokratis seperti Turki atau
tetap otoriter sebagaimana Iran maupun Gaza. Di Tunisia maupun Mesir, kini
masih berlangsung tarik menarik soal konstitusi, sistem pemerintahan, maupun
posisi militer. Semua itu kelak akan ikut menentukan paras dan performa kaum
Islamis di kekuasaan. Ingat, kaum Islamis Turki bermetamerfosa sedemikian rupa
karena berbagai faktor seperti sistem politik dan militer, massa sekuler yang
kritis, ditambah soal geo-politik.
Dan
terakhir (4), kaum Islamis hanya bersedia mengompromikan nilai-nilai ideal dan
ideologi asasi mereka “dengan berat hati” dan “hanya oleh suatu tekanan yang
sangat besar”. Selain itu yang membedakan mereka secara kategoris dengan para
kompetitor, aspek itu pulalah yang menjadi alasan konstituen untuk memberi
mereka mandat. Kegagalan memperoleh mayoritas mutlak di parleman dan wujudnya
lapisan masyarakat sekular yang kritis seperti di Tunisia dan Mesir,
kemungkinan akan memaksa mereka menjadi moderat. Interdependensi dengan dunia
luar juga akan sangat mempengaruhi fluktuasi radikalisasi dan moderasi.
Dalam konteks Mesir, kalangan Ikhwani dari
Partai Kebebasan dan Keadilan yang akan berkoalisi dengan kalangan Salafis
Partai Cahaya (Hizb an-Nur), kemungkinan akan mengegolkan legislasi-legislasi
konservatif yang berdampak membatasi kebebasan sipil. Namun mereka tak akan
membatalkan Perjanjian Damai Camp David (1979) sehingga memicu ketegangan
diplomatik dengan Israel dan suporter utamanya. Selain merisikokan hilangnya
kompensasi damai sebesar 3 miliar dolar per tahun dari Paman Sam, aksi itu juga
akan berimplikasi perang-damai yang terbukti mempercepat ketuntuhan suatu rezim
seperti di masa Abdel Nasser.
Intinya, beberapa studi menunjukkan bahwa
perilaku kaum Islamis di kekuasaan lebih mengarah ke moderasi ketimbang
radikalisasi. Retorika dan gertak sambal mereka sebelum berkuasa tak akan serta
merta dibuktikan setelah mereka berkuasa, terlebih bila eksistensi mereka
justru terancam. Mereka akan dipeluk kekuasaan ketimbang sebaliknya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar