Kamis, 15 Desember 2011

Di Bawah Naungan Islamis


Di Bawah Naungan Islamis
Novriantoni Kahar, AKTIVIS JARINGAN ISLAM LIBERAL (JIL)
Sumber : JIL, 5 Desember 2011


“Beberapa intelektual menyebut eksperimen “Islam adalah solusi” ini merupakan fase utopia-ideologis yang tak dapat dielakkan sebelum terjadi pencerahan intelektual dan kultural yang massif dan radikal di Timur Tengah. Masyarakat Arab harus diberi kesempatan bertualang dengan Islamisme dalam suatu iklim demokratis agar mereka dapat menilai, memberi insentif, atau justru menghukumnya lewat mahkamah kotak suara pada pemilihan umum berikutnya.”

Kemenangan beberapa partai Islam di Tunisia, Maroko, Mesir, dan kemungkinan Libya, Yaman dan Suriah belakangan ini membuat pengamat Timur Tengah memplesetkan istilah Musim Semi Arab (al-Rabi’ al-‘Arabi) menjadi Musim Semi Islamisme (al-Rabi’ al-Islamawi). Panen raya elektoral kaum Islamis ini kini menimbulkan pertanyaan tentang paras Islamisme ketika berkuasa. Apakah kaum Islamis akan mengalami moderasi atau justru lebih radikal dan memaksakan agenda-agenda yang akan mengekang kebebasan sipil? Dengan kata lain: apakah kaum Islamis akan mengubah sistem (transform the system) atau justru akan dipaksa berubah oleh sistem (be transformed by the system) sembari mengompromikan ideologi asasi mereka?

Belum Terjadi, Mari Diuiji
 
Tentu banyak faktor sosial-politik-ekonomi yang menjelaskan mengapa partai-partai Islamis mampu mengalahkan pesaing-pesaing mereka dari partai-partai sekular. Dengan resiko mensimplifikasi, percobaan yang error oleh rezim-rezim otoriter non-Islamis berhasil dimanfaatkan kaum Islamis yang selama ini beroposisi atau menjaga jarak dengan kekuasaan. Stigmatisasi “akibat tidak menerapkan syariat, westernis, kolaborator Zionis” yang mereka tinjukan kepada lawan-lawan politik mereka, berhasil memberi keuntungan elektoral.

Percobaan Islamisme yang banal dan error di Afganistan, Iran, maupun Palestina tentu bukan rahasia. Namun mereka berkilah bahwa itu disebabkan faktor-faktor di luar kekuasaan mereka seperti konspirasi Barat, tekanan Zionis, dan lain-lain. Bagi mereka, eksperimentasi Islamisme par excellent belum pernah terjadi dan teruji. Kini tibalah saatnya mencoba dan membuktikan bahwa “Islam adalah solusi” di dalam suatu iklim berdemokrasi.

Beberapa intelektual menyebut eksperimen “Islam adalah solusi” ini merupakan fase utopia-ideologis yang tak dapat dielakkan sebelum terjadi pencerahan intelektual dan kultural yang massif dan radikal di Timur Tengah. Masyarakat Arab harus diberi kesempatan bertualang dengan Islamisme dalam suatu iklim demokratis agar mereka dapat menilai, memberi insentif, atau justru menghukumnya lewat mahkamah kotak suara pada pemilihan umum berikutnya.

Menuju Demokrasi Illiberal
 
Prasangka bahwa kalangan Islamis akan membajak demokrasi lalu menegakkan otoritarianisme berwajah baru memang cukup beralasan juga. Wakil Ketua Partai Kebebasan dan Keadilan Mesir, Essam El-Arian, misalnya mengatakan, dia tak bisa menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal demi berdemokrasi. Itu tugas Allah dan kehendak rakyat. Karena itu, ketentuan-ketentuan normatif Islam seperti soal jilbab bisa saja akan diagendakan ketika mereka berkuasa. Karenanya Mesir pasca-Mubarak bisa jadi akan bertranformasi dari “negara otoriter semi-liberal” menuju “negara demokrasi illiberal” sebagaimana formulasi Fareed Zakaria.

Otoritarianisme semi-liberal dan demokrasi illiberal, kata Muktaz Billah—dosen ilmu politik di Universitas Michigan, AS (www.shorouqnews.com, 13/12/11)—sama-sama melanggar hak asasi manusia. Hanya saja, otoritarianisme semi-liberal mengakui hak-hak dasar dan kebebasan primordial individu, namun ia dapat ditunda, diabaikan, atau dilanggar bila dianggap mengganggu stabilitas politik atau mengancam eksistensi rezim. Itulah yang terjadi pada masa Husni Mubarak. Sementara dalam sistem demokrasi illiberal, pelanggaran terhadap hak-hak dan kebebasan individu berlangsung lewat tirani mayoritas. Jenis dan volume kebebasan yang diberikan kepada warga negara ditentukan oleh selera mayoritas. Hak dasar atas kebebasan pun dianggap bukan sesuatu yang melekat secara primordial pada tiap individu melainkan karunia yang dihibahkan mayoritas yang beriman kepada supremasi prosedural demokrasi.

Kekhawatiran ini kini nyata dan sangat berasalan di Mesir maupun Libya; namun tidak di Maroko ataupun Tunisia. Shadi Hamid, ahli Ikhwanul Muslimin merumuskan: bila kesempatan terbuka lebar, kalangan Islamis yang berkuasa dipastikan akan mengusung legislasi-legislasi sosial yang konservatif (socially conservative legislation) seperti segregasi seksual, pengetatan aturan perempuan, atau aspek-aspek trivial dari Islam. Namun sosiolog Saad Eddin Ibrahim optimis bahwa kultur dagelan (ruh al-marh) yang melekat pada orang Mesir dan masyarakat Arab yang relatif terbuka justru akan menjadi aspek penghalang bagi penerapan legislasi-legislasi sosial yang illiberal (al-Masr al-Yaum, 16/7/2011).

Memeluk atau Dipeluk Kekuasaan
 
Karena itu, pilihan kaum Islamis di era demokrasi adalah gagal memerintah atau berubah. Olivier Roy misalnya percaya, alih-alih sukses memaksakan ketentuan syariat (the logic of the syariah), kaum Islamis justru akan terpaksa memeluk kekuasaan dan bermain dalam kerangka logis bernegara (the logic of the state). Namun penilaian normatif seperti ini kurang memberi gambaran tentang pola-pola hubungan kaum Islamis dengan kekuasaan. Studi James Piscatori yang menguji tiga model performa kaum Islamis di Iran, Turki, dan Palestina setidaknya menampilkan beberapa catatan menarik.

Menurut Piscatori, (1) ideologi tidaklah serta merta akan menjadi rompi pengekang (straitjacket) bagi kalangan Islamis untuk bermanuver dan bertransformasi. Tak hanya partai Islam Turki yang berubah dari Erbakanisme menuju Erdoganisme; kaum Islamis Iran pun bergerak di antara pendulum tuntutan demokrasi dan kuasa clerisocracy ala mullah. Hamas pun berubah dari retorika “perempuan adalah tempat mengandung dan pengayom keluarga” menjadi penyerta perempuan secara lebih aktif di dalam kegiatan sosial, di parlemen, bahkan menjadi polwan.

Memang (2) tantangan riil memerintah juga tidak serta merta akan mentransformasi mereka menjadi pengingkar nilai-nilai dan ideologi asasi mereka. Sudah pasti pula mereka tidak akan menjadi liberal, kecuali dalam soal ekonomi. Namun yang pasti, mereka akan lebih welcome dengan pragmatisme. Kalangan Islamis tidak akan mengubah persepsi konflik Arab-Israel dari “konflik eksistensial-peradaban” menjadi “konflik situasional-teritorial”. Namun di tingkat aksi, besar kemungkinan mereka tak akan mengambil portofolio kementerian yang sensitif seperti soal pertahanan dan urusan luar negeri. Radikalisasi kalangan Islamis, kata Shadi Hamid, kemungkinan tak akan terjadi dalam kebijakan luar negeri (Foreign Affair edisi Mei-Juni 2011).

(3) Radikalisasi atau moderasi kalangan Islamis juga ditentukan oleh sistem politik di negara masing-masing. Faktor ini ikut menentukan apakah mereka akan menjadi lebih demokratis seperti Turki atau tetap otoriter sebagaimana Iran maupun Gaza. Di Tunisia maupun Mesir, kini masih berlangsung tarik menarik soal konstitusi, sistem pemerintahan, maupun posisi militer. Semua itu kelak akan ikut menentukan paras dan performa kaum Islamis di kekuasaan. Ingat, kaum Islamis Turki bermetamerfosa sedemikian rupa karena berbagai faktor seperti sistem politik dan militer, massa sekuler yang kritis, ditambah soal geo-politik.

Dan terakhir (4), kaum Islamis hanya bersedia mengompromikan nilai-nilai ideal dan ideologi asasi mereka “dengan berat hati” dan “hanya oleh suatu tekanan yang sangat besar”. Selain itu yang membedakan mereka secara kategoris dengan para kompetitor, aspek itu pulalah yang menjadi alasan konstituen untuk memberi mereka mandat. Kegagalan memperoleh mayoritas mutlak di parleman dan wujudnya lapisan masyarakat sekular yang kritis seperti di Tunisia dan Mesir, kemungkinan akan memaksa mereka menjadi moderat. Interdependensi dengan dunia luar juga akan sangat mempengaruhi fluktuasi radikalisasi dan moderasi.

Dalam konteks Mesir, kalangan Ikhwani dari Partai Kebebasan dan Keadilan yang akan berkoalisi dengan kalangan Salafis Partai Cahaya (Hizb an-Nur), kemungkinan akan mengegolkan legislasi-legislasi konservatif yang berdampak membatasi kebebasan sipil. Namun mereka tak akan membatalkan Perjanjian Damai Camp David (1979) sehingga memicu ketegangan diplomatik dengan Israel dan suporter utamanya. Selain merisikokan hilangnya kompensasi damai sebesar 3 miliar dolar per tahun dari Paman Sam, aksi itu juga akan berimplikasi perang-damai yang terbukti mempercepat ketuntuhan suatu rezim seperti di masa Abdel Nasser.

Intinya, beberapa studi menunjukkan bahwa perilaku kaum Islamis di kekuasaan lebih mengarah ke moderasi ketimbang radikalisasi. Retorika dan gertak sambal mereka sebelum berkuasa tak akan serta merta dibuktikan setelah mereka berkuasa, terlebih bila eksistensi mereka justru terancam. Mereka akan dipeluk kekuasaan ketimbang sebaliknya. ●  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar