PNS
Muda dan Godaan Korupsi
Lukman Santoso Az, PENELITI PADA STAIDA INSTITUTE;
ALUMNUS PROGRAM MAGISTER ILMU
HUKUM UII YOGYAKARTA
Sumber : REPUBLIKA, 17 Desember 2011
Berbagai gemuruh skandal korupsi di negeri
ini tampaknya tidak akan pernah surut dan bahkan semakin mengakar dan
membudaya. Virus korupsi tersebut telah menyebar dari tingkat pusat hingga
daerah, dari eksekutif, legislatif, sampai yudikatif. Belum tuntas kasus
Nazaruddin dan kebenaran 'nyanyiannya'', kasus cek pelawan Nunun Nurbaetie dengan
kelihaiannya. Kini sudah ada lagi kasus rekening 'Gendut' PNS Muda.
Semuanya bertema sama, korupsi pejabat pemerintah. Yang lebih mengerikan lagi dalam kasus terbaru ini adalah PNS yang diduga korupsi masih berusia muda. Memang, korupsi tak pernah mengenal usia, lantas bagaimana jadinya meraka ketika sudah tua, tentu akan lebih membahayakan lagi.
Berdasarkan temuan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) disebutkan bahwa 50 persen PNS berusia muda di negeri ini terindikasi korupsi. Dari data tersebut, terdapat 10 PNS golongan IIIB usia muda yang memiliki rekening gendut, bernilai miliaran rupiah yang jauh dari nilai gaji dan pendapatan resmi mereka. Bahkan, PPATK juga menemukan transaksi dua PNS golongan IIIB berusia 28 tahun yang menilap uang negara dari proyek fiktif.
Seandainya Bung Karno masih hidup saat ini, betapa prihatinnya ia melihat perilaku para pemuda. Padahal, bagi Bung Karno, pemuda adalah harapan bangsa dan mampu mengguncang dunia, dalam artian yang positif. Sekarang, sejumlah pemuda memang mampu mengguncang dunia, sayangnya itu dalam hal korupsi.
Tahun lalu, kita disuguhi aksi seorang Gayus Tambunan yang melakukan korupsi miliaran rupiah. Dengan harta hasil korupsi itu, meskipun sudah di tahanan, dia bisa menyuap ratusan juta untuk bisa bepergian ke luar negeri. Tahun ini, kita disuguhi oleh atraksi lain, yakni sepak terjang sang koruptor bernama Nazaruddin. Kedua orang itu boleh dibilang anak-anak muda yang masih memiliki kiprah panjang. Mereka yang mestinya menjadi tumpuan dan harapan bangsa, yang terjadi justru melakukan pengkhianatan terhadap bangsa.
Dari realitas itu tampaknya birokrat muda saat ini telah terjerembab dalam kubangan korupsi. Korupsi bukan hanya membudaya, tetapi menjadi prasyarat bagi PNS muda untuk menyesuaikan dengan kehidupan yang hedonis. Fenomena gaya hidup tersebut telah menjerat mereka dalam sebuah struktur untuk mengotak-atik kemungkinan, memanfaatkan celah, dan mengelaborasi relasi-relasi untuk melakukan sesuatu yang mempertemukan kepentingan. Skandal korupsi pajak yang melibatkan Gayus Tambunan dan kasus anggaran dengan episentrum M Nazaruddin yang telah disinggung di atas merupakan sekelumit contoh dari realitas ini.
Kecenderungan budaya korupsi di Indonesia memang begitu luas. Perilaku korup sudah melebar dan sangat mendalam (widespread and deep rooted). Tidak hanya di tingkat puncak kekuasaan seperti di level pemerintah pusat, tetapi hampir merata di semua jaringan birokrasi yang berjalan pada semua level. Hampir sulit mencari tatanan birokrasi yang steril dari jerat korupsi.
Bobroknya moralitas elite politik yang korup tersebut semakin memperkuat tesis EF Schumacher dan Fritjof Capra, bahwa krisis ekonomi, sosial, politik, dan lingkungan hidup pada sebuah bangsa sejatinya berakar dari krisis moralitas anak bangsa. Dampaknya adalah korupsi telah dianggap sebagai bagian integral dari struktur kesadaran dan budaya masyarakat Indonesia atau dalam bahasa lain sebagai cultural determinism (determinasi kultural).
Sekarang tinggal apakah penegak hukum, pemerintah, juga Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), berkomitmen nyata memberangus koruptor, membersihkan negeri ini dari para maling uang rakyat, termasuk terhadap koruptor dari kalangan PNS muda. Jika serius dan bukan hanya sebatas retorika, tentu harus dibuktikan dengan tindakan nyata, misalnya, dengan membuat Undang-Undang Pembuktian Terbalik untuk mengusut dari mana asal kekayaan para pejabat, para PNS, dan elemen lain yang dicurigai memiliki kekayaan tak wajar.
Dengan realitas ini, tentu kita selalu terusik untuk menggugat apa sebenarnya hakikat pelaksanaan, pengawalan, dan pengaruh reformasi birokrasi yang saat ini berlangsung untuk membangun good governance. Apakah remunerasi di instansi-instansi tertentu berhenti sebatas penyesuaian dan kenaikan pendapatan, tanpa mampu menyentuh perubahan mentalitas PNS? Masih banyak pertanyaan lain yang bisa diajukan dalam hal ini.
Dalam pandangan Jamil Mubarok (2011), percepatan reformasi birokrasi untuk membersihkan para birokrat korup menjadi agenda yang sangat mendesak saat ini. Terdapat beberapa langkah yang harus ditempuh pemerintah agar bencana kemanusiaan ini tidak meluas. Pertama, adalah dengan mengkaji ulang proses rekrutmen PNS. Perlu dilengkapi dengan profile assessment dan kompetensi harus dibarengi dengan kualitas moral dan etika. Kedua, perlu mengkaji ulang materi diklat CPNS, dan diklat lainnya dengan memasukkan materi yang menekankan nilai-nilai kejujuran.
Ketiga, pembenahan di dalam promosi, rotasi, dan mutasi jabatan PNS yang harus dijadikan pertimbangan kapabilitas dan rekam jejak perilaku atau etikanya. Keempat adalah dengan melakukan audit kinerja secara berkala, terutama pada penyimpangan perilaku. Adapun kelima, adalah dengan mengkaji ulang proses hukuman (punishment) yang panjang dan berbelit-belit bagi PNS yang melanggar. PNS harus bisa dikenai sanksi secara cepat dan tepat untuk memotong generasi PNS korup dan kinerja yang buruk.
Langkah-langkah strategis tersebut tentu menjadi tidak berarti tanpa kerja sama dari semua pihak, terutama pemerintah, aparat penegak hukum, termasuk masyarakat dalam memberi pengawasan, untuk menjunjung hukum seadil-adilnya sekaligus melakukan pembenahan birokrasi di semua level pemerintahan. Maka, pemerintah-khususnya Presiden SBY-harus benar-benar membuktikan komitmennya dalam berjihad melawan korupsi sebagaimana pidatonya pada peringatan hari antikorupsi beberapa hari lalu. Termasuk mengawal penegakan hukum agar tidak berhenti di tengah jalan. Tindak tegas para koruptor tersebut, berikan hukuman yang berat dan sita semua aset mereka, buat mereka miskin agar memberi efek jera bagi siapa pun untuk melakukan korupsi. Kita tidak akan pernah bisa menggali akar untuk membangun atmosfer antikorupsi tanpa ketegasan hukum yang berdaya-efek penjeraan kuat.
Sangat tidak layak jika seorang PNS yang telah bersumpah mengabdi pada negara dan rakyat (civil servant) hidup bak raja-raja kecil yang abai dan menelikung aliran dana negara yang dialokasikan untuk rakyat. Di sinilah komitmen, sistem, dan kultur sadar hukum untuk menopang upaya menciptakan good governance yang serius dan konsisten di semua lini sangat dibutuhkan, bukan sekadar konsep, jargon, dan retorika. ●
Semuanya bertema sama, korupsi pejabat pemerintah. Yang lebih mengerikan lagi dalam kasus terbaru ini adalah PNS yang diduga korupsi masih berusia muda. Memang, korupsi tak pernah mengenal usia, lantas bagaimana jadinya meraka ketika sudah tua, tentu akan lebih membahayakan lagi.
Berdasarkan temuan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) disebutkan bahwa 50 persen PNS berusia muda di negeri ini terindikasi korupsi. Dari data tersebut, terdapat 10 PNS golongan IIIB usia muda yang memiliki rekening gendut, bernilai miliaran rupiah yang jauh dari nilai gaji dan pendapatan resmi mereka. Bahkan, PPATK juga menemukan transaksi dua PNS golongan IIIB berusia 28 tahun yang menilap uang negara dari proyek fiktif.
Seandainya Bung Karno masih hidup saat ini, betapa prihatinnya ia melihat perilaku para pemuda. Padahal, bagi Bung Karno, pemuda adalah harapan bangsa dan mampu mengguncang dunia, dalam artian yang positif. Sekarang, sejumlah pemuda memang mampu mengguncang dunia, sayangnya itu dalam hal korupsi.
Tahun lalu, kita disuguhi aksi seorang Gayus Tambunan yang melakukan korupsi miliaran rupiah. Dengan harta hasil korupsi itu, meskipun sudah di tahanan, dia bisa menyuap ratusan juta untuk bisa bepergian ke luar negeri. Tahun ini, kita disuguhi oleh atraksi lain, yakni sepak terjang sang koruptor bernama Nazaruddin. Kedua orang itu boleh dibilang anak-anak muda yang masih memiliki kiprah panjang. Mereka yang mestinya menjadi tumpuan dan harapan bangsa, yang terjadi justru melakukan pengkhianatan terhadap bangsa.
Dari realitas itu tampaknya birokrat muda saat ini telah terjerembab dalam kubangan korupsi. Korupsi bukan hanya membudaya, tetapi menjadi prasyarat bagi PNS muda untuk menyesuaikan dengan kehidupan yang hedonis. Fenomena gaya hidup tersebut telah menjerat mereka dalam sebuah struktur untuk mengotak-atik kemungkinan, memanfaatkan celah, dan mengelaborasi relasi-relasi untuk melakukan sesuatu yang mempertemukan kepentingan. Skandal korupsi pajak yang melibatkan Gayus Tambunan dan kasus anggaran dengan episentrum M Nazaruddin yang telah disinggung di atas merupakan sekelumit contoh dari realitas ini.
Kecenderungan budaya korupsi di Indonesia memang begitu luas. Perilaku korup sudah melebar dan sangat mendalam (widespread and deep rooted). Tidak hanya di tingkat puncak kekuasaan seperti di level pemerintah pusat, tetapi hampir merata di semua jaringan birokrasi yang berjalan pada semua level. Hampir sulit mencari tatanan birokrasi yang steril dari jerat korupsi.
Bobroknya moralitas elite politik yang korup tersebut semakin memperkuat tesis EF Schumacher dan Fritjof Capra, bahwa krisis ekonomi, sosial, politik, dan lingkungan hidup pada sebuah bangsa sejatinya berakar dari krisis moralitas anak bangsa. Dampaknya adalah korupsi telah dianggap sebagai bagian integral dari struktur kesadaran dan budaya masyarakat Indonesia atau dalam bahasa lain sebagai cultural determinism (determinasi kultural).
Sekarang tinggal apakah penegak hukum, pemerintah, juga Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), berkomitmen nyata memberangus koruptor, membersihkan negeri ini dari para maling uang rakyat, termasuk terhadap koruptor dari kalangan PNS muda. Jika serius dan bukan hanya sebatas retorika, tentu harus dibuktikan dengan tindakan nyata, misalnya, dengan membuat Undang-Undang Pembuktian Terbalik untuk mengusut dari mana asal kekayaan para pejabat, para PNS, dan elemen lain yang dicurigai memiliki kekayaan tak wajar.
Dengan realitas ini, tentu kita selalu terusik untuk menggugat apa sebenarnya hakikat pelaksanaan, pengawalan, dan pengaruh reformasi birokrasi yang saat ini berlangsung untuk membangun good governance. Apakah remunerasi di instansi-instansi tertentu berhenti sebatas penyesuaian dan kenaikan pendapatan, tanpa mampu menyentuh perubahan mentalitas PNS? Masih banyak pertanyaan lain yang bisa diajukan dalam hal ini.
Dalam pandangan Jamil Mubarok (2011), percepatan reformasi birokrasi untuk membersihkan para birokrat korup menjadi agenda yang sangat mendesak saat ini. Terdapat beberapa langkah yang harus ditempuh pemerintah agar bencana kemanusiaan ini tidak meluas. Pertama, adalah dengan mengkaji ulang proses rekrutmen PNS. Perlu dilengkapi dengan profile assessment dan kompetensi harus dibarengi dengan kualitas moral dan etika. Kedua, perlu mengkaji ulang materi diklat CPNS, dan diklat lainnya dengan memasukkan materi yang menekankan nilai-nilai kejujuran.
Ketiga, pembenahan di dalam promosi, rotasi, dan mutasi jabatan PNS yang harus dijadikan pertimbangan kapabilitas dan rekam jejak perilaku atau etikanya. Keempat adalah dengan melakukan audit kinerja secara berkala, terutama pada penyimpangan perilaku. Adapun kelima, adalah dengan mengkaji ulang proses hukuman (punishment) yang panjang dan berbelit-belit bagi PNS yang melanggar. PNS harus bisa dikenai sanksi secara cepat dan tepat untuk memotong generasi PNS korup dan kinerja yang buruk.
Langkah-langkah strategis tersebut tentu menjadi tidak berarti tanpa kerja sama dari semua pihak, terutama pemerintah, aparat penegak hukum, termasuk masyarakat dalam memberi pengawasan, untuk menjunjung hukum seadil-adilnya sekaligus melakukan pembenahan birokrasi di semua level pemerintahan. Maka, pemerintah-khususnya Presiden SBY-harus benar-benar membuktikan komitmennya dalam berjihad melawan korupsi sebagaimana pidatonya pada peringatan hari antikorupsi beberapa hari lalu. Termasuk mengawal penegakan hukum agar tidak berhenti di tengah jalan. Tindak tegas para koruptor tersebut, berikan hukuman yang berat dan sita semua aset mereka, buat mereka miskin agar memberi efek jera bagi siapa pun untuk melakukan korupsi. Kita tidak akan pernah bisa menggali akar untuk membangun atmosfer antikorupsi tanpa ketegasan hukum yang berdaya-efek penjeraan kuat.
Sangat tidak layak jika seorang PNS yang telah bersumpah mengabdi pada negara dan rakyat (civil servant) hidup bak raja-raja kecil yang abai dan menelikung aliran dana negara yang dialokasikan untuk rakyat. Di sinilah komitmen, sistem, dan kultur sadar hukum untuk menopang upaya menciptakan good governance yang serius dan konsisten di semua lini sangat dibutuhkan, bukan sekadar konsep, jargon, dan retorika. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar