Perlu
Desentralisasi Asimetris
M Mas’ud Said, ANGGOTA DEWAN PAKAR, PENGURUS
PUSAT MASYARAKAT ILMU PEMERINTAHAN INDONESIA
Sumber
: KOMPAS, 5 Desember 2011
Setidaknya
ada tiga provinsi di Indonesia yang bisa menjadi dasar pertimbangan mengapa
Indonesia seharusnya menerapkan desentralisasi asimetris. Ketiga provinsi ialah
DI Yogyakarta, Papua, dan Aceh.
Sebagaimana
diketahui, secara legalitas, otonomi daerah kita hanya mengenal dua sistem,
yaitu otonomi khusus (otsus) dan otonomi daerah (otda) berdasarkan UU Nomor 32
Tahun 2004. Dalam sistem otsus, mekanisme berjalan menurut bingkai perundangan
yang dirancang dengan memperhatikan kekhususan tertentu secara definitif.
Pertimbangan lain ialah karakteristik dimiliki daerah tertentu, terutama aspek
rendahnya kualitas hidup, ketertinggalan, dan aspek politis.
Aspek
politis Aceh dan Papua lebih dominan dibandingkan dengan provinsi lain karena
secara teoretis saat itu otsus diharapkan menjadi lem perekat kesatuan provinsi
ini sebagai bagian integral NKRI. Dalam terminologi teoretis, Mark Turner dan
BC Smith menyebutnya a glue of national integration.
Sudahkah
sistem legalitas otonomi kita dapat mengaspirasi dinamika di provinsi lain?
Jumlah provinsi yang menuntut kekhususan akan bisa bertambah kalau kita
memasukkan Bali yang memiliki kekhasan budaya dan pariwisata, DKI Jakarta yang
memiliki kekhususan sebagai ibu kota negara dan pusat pemerintahan, atau bahkan
Kepulauan Riau yang daratannya 4,21 persen saja dari wilayah kepulauannya.
Diperlukan
kebijakan untuk mengadopsi sistem otonomi asimetris dengan payung hukum
setingkat instruksi presiden (inpres) untuk mengakomodasi konteks provinsi yang
beragam di Indonesia tanpa perlu memasukkan mereka ke kerangka otsus yang
memakan banyak biaya, infrastruktur, dan kebijakan setingkat UU. Apa yang akan
dilakukan oleh presiden untuk Papua dan Aceh serta memberikan bantuan khusus
dana perikanan, kelautan, dan perguruan tinggi maritim bagi Provinsi Kepulauan
Riau bisa dijadikan inspirasi bagi pelaksanaan otonomi di luar kerangka otsus
dan otda 2004.
Dalam
pertemuan ilmiah yang diselenggarakan oleh Masyarakat Ilmu Pemerintahan
Indonesia di Jakarta akhir Juni, tersirat betapa keanekaragaman sejarah
pemerintahan dan budaya lokal sudah menjadi kenyataan sejarah.
Selain
itu, ada juga keinginan kuat untuk mengakomodasi kekhususan dengan cara aman
tanpa meminta otsus. Dari sini muncul konsep jalan tengah yang disebut dengan
istilah desentralisasi asimetris, di mana provinsi bisa mendapatkan atau
melaksanakan skema agak khusus pada bidang tertentu di luar ketentuan otsus dan
otoda 2004 yang terlalu mengedepankan generalisasi tanpa membuat UU baru.
Indonesia
Memang Asimetris
Semakin
hari, kita menyaksikan semakin banyak kompleksitas pemerintahan di tingkat
provinsi menyusul sedikitnya ruang gerak provinsi dalam konteks peraturan
sekarang. Dalam rangka mengakui dan mengembangkan hak-hak adat, kekayaan
intelektual masyarakat, serta keadilan dalam perspektif hubungan pusat-daerah,
diperlukan solusi interpretatif yang cerdas tanpa mengurangi kehati-hatian
dalam memberikan kewenangan lebih besar kepada provinsi.
Selama
ini, terjadi ketegangan dan tarik-ulur kewenangan antara pusat serta daerah
yang bermuara pada kebuntuan. Situasi ini akan berjalan tanpa akhir selama
belum ditemukan konteks legal untuk basis penyelesaian persoalan di atas. Tanpa
upaya mencari solusinya, kondisi ini akan menjadi ancaman bagi keutuhan NKRI.
Secara
konseptual, desentralisasi asimetris bukanlah hal baru. Desentralisasi
asimetris telah dilaksanakan baik di negara-negara federal maupun unitarian
meski awalnya bukan dimaksudkan untuk memberi kekhususan sebagaimana di
Indonesia. Jika desentralisasi asimetris diartikan sebagai ruang gerak lebih
luas bagi provinsi di luar Aceh dan Papua, konsep ini patut dipertimbangkan
sebagai basis teoretis bagi pelaksanaan otonomi di luar otsus dan otda.
Inti
desentralisasi asimetris adalah terbukanya ruang gerak implementasi dan
kreativitas provinsi dalam pelaksanaan pemerintahan di luar ketentuan umum dan
khusus. Mengapa provinsi? Ini karena level kabupaten dan kota sudah cukup
terakomodasi dalam perundangan pemerintahan selama ini.
Dalam
hal ini, desentralisasi asimetris dapat menjadi terobosan akan kebuntuan
mekanisme formal. Contohnya, Provinsi DIY tidak perlu mengubah sistem pemilihan
gubernurnya karena sistem itu telah berjalan justru sebelum negara ini lahir.
DIY dapat melaksanakan pilkada dengan sistem lokalnya. Demikian juga DKI
Jakarta dapat melaksanakan keistimewaan terbatas sebagai ibu kota untuk
masalah-masalah pembangunan sosial dan ekonomi agar dapat bersaing dengan
koleganya, seperti Singapura atau Kuala Lumpur.
Untuk
kasus Indonesia, fokus otda yang diletakkan pada kabupaten dan kota sudah
tepat. Otsus di level provinsi untuk Aceh dan Papua juga sudah masuk akal.
Namun, kita masih melihat adanya kelemahan saat dihadapkan pada situasi
pemerintahan provinsi lain yang beraneka ragam. Ada alasan mengapa
desentralisasi asimetris diberlakukan di level provinsi, yakni, dalam posisi
barunya di perundang-undangan, ia adalah ujung tombak, wakil pemerintah di daerah,
sekaligus sebagai daerah otonom.
Fondasi
dan nilai utama desentralisasi asimetris adalah demokrasi sekaligus memperkuat
NKRI. Dengan posisi asimetris untuk sektor tertentu ini, kehendak mengubah
posisi politik provinsi dari semula sebagai ancaman disintegrasi menuju
kebebasan terbatas untuk mengembangkan diri sebagaimana dijamin pasal 18 UUD
1945 bisa ditingkatkan.
Dari
pengamatan di lapangan, bisa dilihat bahwa selama ini daerah yang membuat isu
”lepas dari NKRI” bukanlah level kabupaten atau kota, tetapi provinsi. Dengan
menambah keleluasaan yang sewajarnya di tingkat provinsi, diharapkan ia bisa
menjadi jantung pertahanan agar daerah tak menerabas melebihi haknya untuk
berubah.
Pelaksanaan
desentralisasi asimetris bagi DI Yogyakarta, Papua, DKI Jakarta, dan Bali bukan
hanya akan mengakomodasi keberagam anyang ada, tetapi juga memberi keleluasaan
bagi mereka untuk memperkuat jati diri dalam kerangka NKRI. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar