Jera
Korupsi
Azyumardi Azra, DIREKTUR SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF
HIDAYATULLAH JAKARTA
Sumber
: KOMPAS, 5 Desember 2011
Laporan
utama harian ini, terbitan 25 November lalu, ”Aparat Tidak Jera Korupsi”,
membuat kita geleng-geleng kepala dan sangat prihatin. Ancaman hukuman penjara
ternyata tidak membuat keder kalangan pejabat publik dari eksekutif,
legislatif, sampai yudikatif. Mulai dari mantan menteri, gubernur, bupati, wali
kota, anggota DPR, petinggi Polri, jaksa, sampai hakim sudah banyak yang
dijebloskan ke penjara.
Dari
waktu ke waktu, Komisi Pemberantasan Korupsi, juga Polri dan Kejaksaan,
menangkap para pejabat publik yang terduga—dan kemudian terbukti di
pengadilan—melakukan korupsi. Akan tetapi, tetap saja ada yang berani melakukan
korupsi dan pasti masih banyak lagi yang sedang berusaha dengan cara apa pun
menilep aset dan harta publik.
Hampir
bisa dipastikan, kasus-kasus korupsi yang terungkap hanya merupakan bagian
kecil atau puncak gunung es dari wabah korupsi di negeri ini. Masih banyak
koruptor yang melenggang kangkung, bebas dari jangkauan hukum, bahkan asyik
berbelanja entah di mana, apakah karena mereka memiliki beking tertentu yang
kuat atau karena mereka dapat ”membeli” aparat hukum dengan uang hasil korupsi.
Kenyataan
ini sekali lagi membuktikan bahwa pemberantasan korupsi sama sekali masih jauh
dari selesai, bahkan sebaliknya: terlihat kecenderungan tambah meruyak ke
mana-mana, menjangkiti hampir semua sektor publik. Akibatnya, kini seolah- olah
hampir tidak ada lagi sektor publik yang bisa dipercaya bersih dari korupsi.
Bahkan, sektor penegak hukum yang semestinya bebas dari korupsi seakan-akan
menjadi tongkat membawa rebah karena adanya mereka yang terlibat korupsi.
Ketamakan dan Hedonisme
Memandang
terus berlanjutnya korupsi dalam skala mencemaskan di kalangan para pejabat
publik, korupsi yang mereka lakukan tak lain karena kerakusan. Gaji dan
berbagai insen- tif yang mereka terima sangat lebih daripada cukup. Karena itu,
mereka korupsi karena ketamakan belaka, bukan karena ”kebutuhan”—yang juga
tidak bisa dan tidak boleh ditoleransi karena setiap dan semua bentuk korupsi
tidak dapat dibenarkan.
Namun,
korupsi karena ketamakan lebih-lebih lagi tidak bisa ditoleransi, apalagi
dibiarkan, karena angkara murka nafsu ketamakan sangat merusak baik pribadi,
masyarakat, maupun negara-bangsa.
Tamak
memang salah satu sifat bawaan manusia yang sebenarnya bisa dikendalikan dari
diri sendiri baik dengan menggunakan akal sehat maupun hati nurani.
Selanjutnya, tamak juga bisa dikendalikan dengan mendasarkan diri pada ajaran
agama serta norma adat dan sosial. Namun, dalam realitas, terdapat manusia yang
tak bisa menggunakan akal sehat dan nuraninya dan, bahkan, tidak mengindahkan
ajaran agama yang dia imani.
Mereka
juga tidak takut terhadap berbagai undang-undang dan ketentuan hukum yang
memberikan ancaman berat terhadap pelaku korupsi. Ini tidak lain karena mereka
lebih dikuasai hawa nafsu setan, ketamakan, dan kerakusan mencuri aset publik serta
negara.
Mengapa
mereka lebih dikuasai hawa nafsu tamak?
Dalam
banyak segi, nafsu tamak untuk korupsi selain disebabkan kegagalan
mengendalikan hawa nafsu diri yang bernyala-nyala, juga karena lingkungan
sosial yang langsung maupun tidak langsung mendorong dan menjerumuskan pejabat
publik ke dalam korupsi.
Ini
bisa mulai dari lingkungan keluarga: suami atau istri yang menjadi tokoh publik
berorientasi pada kehidupan melimpah atau berlaku lebih besar pasak daripada
tiang. Dengan kecenderungan ini, tumbuhlah sikap serba permisif terhadap
korupsi: suami atau istri tidak pernah saling melarang, bahkan membiarkan dan
mendorong suami atau istrinya melakukan korupsi untuk memenuhi orientasi serta
gaya hidup berkelimpahan.
Yang
tidak kurang pengaruhnya adalah lingkungan kehidupan sosial yang lebih luas di
kelompok sendiri, kantor, bahkan masyarakat umumnya. Gejala meningkatnya gaya
hidup materialistis dan hedonistik di banyak lingkungan lembaga publik juga
turut memberikan kontribusi bagi kian merajalelanya korupsi. Bahkan, di
lingkungan seperti ini seolah-olah terjadi konspirasi untuk bersikap saling
sokong dan tahu sama tahu atas keberlangsungan praktik-praktik korupsi.
Hukuman Sosial
Cara
”konvensional”, khususnya hukuman kurungan, kelihatan tidak mampu mencegah
pejabat publik tertentu melakukan korupsi. Apalagi, ketika hukuman penjara yang
dijatuhkan pengadilan sering relatif ringan dan menjadi lebih ringan lagi
dengan adanya remisi yang diberikan secara indiskriminatif.
Juga
bukan rahasia lagi, ada pelaku korupsi sering menghabiskan waktu di luar
penjara dengan berbagai alasan, seperti sakit, sehingga dapat tidur-tiduran di
ruang rawat eksekutif yang kian banyak tersedia di rumah sakit. Dalam istilah
Betawi, hukum terus dikadalin melalui cara seperti ini.
Karena
itu, perlu berbagai cara inkonvensional dalam usaha membuat jera pejabat publik
pelaku korupsi. Di antara hukuman tidak konvensional itu adalah ancaman hukuman
mati, hukuman seumur hidup, penyitaan seluruh kekayaan, dan kewajiban melakukan
pelayanan sosial. Yang terakhir ini adalah koruptor, misalnya, diwajibkan
melakukan kerja sosial tertentu, seperti membersihkan toilet umum, dalam jangka
waktu tertentu—kalau perlu, pakaian yang bersangkutan dilengkapi dengan tulisan
”koruptor”.
Yang
tak kurang penting adalah hukuman dan sanksi sosial semacam pengucilan dari
lingkungan masyarakat. Kini sudah waktunya masyarakat menghilangkan sikap
permisif terhadap korupsi dan koruptor dan, sebaliknya, memperkuat perlawanan
serta sikap antikorupsi mulai dari lingkungan sosial paling kecil.
Di
sinilah peran tokoh yang memiliki integritas dalam berbagai
lembaga sosial dan ormas menjadi sangat penting untuk terus mengambil inisiatif
dalam konsolidasi serta pemberdayaan masyarakat melawan korupsi. ●
Pemimpin adalah teladan bagi umatnya. Apa yang dilakukan pemimpin, maka hal itu pula yang dilakukan oleh rakyatnta. Yang dipimpin selalu meniru hal-hal yang dilakukan pemimpinnya. Seorang pemimpin haruslah orang yang mempunyai komitmen mencegah diri dari korupsi dan suap secara internal, dan menunjukkan sikap anti terhadap korupsi dan suap, serta melakukan upaya-upaya pencegahan terjadinya korupsi dan suap di dalam masyarakat, baik secara kekerasan maupun secara lisan. Kalau pemimpin sudah menunjukkan keteladanan seperti itu, maka lambat laun korupsi dan suap yang kini merajalela itu dapat dicegah secara berangsung-angsur.
BalasHapus