Rabu, 14 Desember 2011

Pendidikan Karakter dan Harga Diri Bangsa

Pendidikan Karakter dan Harga Diri Bangsa
Sirikit Syah, DIREKTUR MEDIA WATCH,
MAHASISWA PASCASARJANA UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA.
Sumber : SINAR HARAPAN, 14 Desember 2011


Pada suatu pagi di pompa bensin, saya merasa dihina negara dalam antrean di mana sebuah spanduk berbunyi “BBM hanya untuk orang tidak mampu!”, dan petugas memisahkan pembeli golongan mampu dan tak mampu berdasarkan jenis kendaraan.
Pagi itu kami perlu membeli BBM, bersama belasan pembeli lainnya yang segolongan dengan kami. Pengalaman itu amat tidak menyenangkan. Kendaraan kami menuju antrean, dan ketika petugas bertanya, “Beli apa, pak?”, suami saya menjawab, “Yang untuk orang miskin. Kami bagian dari rakyat Indonesia yang miskin alias tidak mampu.”
Nada suami saya dongkol karena merasa telah dicap (distempel) atau diberi label pemerintah, melalui petugas pompa bensin, sebagai “orang tidak mampu”.
Rasanya tidak ada negara yang mempermalukan rakyatnya sendiri seperti ini. Mempermalukan di depan publik, di ranah terbuka. Bahkan belakangan dijadikan ILM (iklan layanan masyarakat) di televisi.

Semua orang diberi tahu dan saling tahu tentang siapa yang mampu dan siapa yang tidak mampu. Negara tidak pernah berpikir dampak psikologis pada para pembeli BBM yang diberi label “orang tak mampu”. Negara menanamkan perasaan terhina dan rendah diri di benak sebagian rakyatnya. Rakyat Indonesia dikondisikan untuk kehilangan martabat dan harga diri.

Betapa paradoksnya tindakan melecehkan bangsa sendiri ini oleh pemerintahan Presiden SBY, dengan pidato 14 Mei tahun ini juga dari presiden yang sama tentang “Pencanangan Tahun Pendidikan Karakter”.

Pemimpin yang berbicara tentang perlunya pendidikan karakter bagi bangsa, pada tarikan napas yang sama menghilangkan harga diri bangsa dengan cara menggolong-golongkan rakyat mampu–tak mampu di ranah publik. Mungkinkah pendidikan karakter yang dimaksud tidak memasukkan unsur “bangga akan harga diri” atau “martabat” sebagai individu rakyat maupun sebagai bangsa?

Kita menjadi tak tahu lagi maksud sesungguhnya para pemimpin kita. Kita bahkan tak tahu lagi apa yang diajarkan para guru pada anak-anak kita di sekolah. Bukankah perkara rasa malu, kejujuran, ketertiban, kebersihan, kedisplinan, itu tidak ada teorinya, melainkan harus dicontohkan? Tak ada gunanya mulut berbusa bicara kejujuran, kalau kelakuan tidak jujur.

Apa gunanya sekolah-sekolah memasang spanduk “Jaga Kebersihan” kalau tak ada tempat sampah di tiap sudut sekolah? Apa gunanya kantor mempunyai slogan “Cintai dan Lestarikan Lingkungan”, kalau sampah organik dan sampah daur ulang tempatnya sama?
Apa gunanya seorang ayah menasihati anaknya untuk jujur, kalau kemudian dia menyekolahkan anaknya itu melalui pintu belakang alias menyuap? Atau presiden menyerukan “Kita Bisa”, bila di tempat-tempat umum kita digiring ke golongan “tidak mampu”?

Menggembosi Pendidikan Karakter

Perilaku rakyat kecil yang miskin banyak yang lebih terhormat daripada perilaku para pemimpin yang mabuk kekuasaan, tamak harta benda, tak punya malu, dan tak punya harga diri.

Ada yang mengaku lupa (alias hilang ingatan), ada yang mengaku sakit-sakitan, dan ada yang meninggalkan jabatan menteri di tengah jalan karena tak mampu menjawab persoalan Bank Century. Semuanya bertentangan dengan “pendidikan karakter bangsa” yang dicanangkan Presiden SBY Mei lalu.

“Guru kencing berdiri, murid kencing berlari”. Pepatah itu tampaknya menjadi amat signifikan ketika kita membahas persoalan pendidikan karakter. Namun pemerintah telah menggembosi sendiri semangat pendidikan karakternya ketika di pompa-pompa bensin rakyat diklarifikasi menjadi dua kelas sederhana: golongan mampu dan tak mampu.

Memang rasanya hanya di Indonesia pemerintah mendesakkan mental “tidak mampu” ke benak rakyatnya. Banyak orang tua dipaksa mengaku miskin agar mereka mendapatkan haknya untuk pendidikan anak-anak mereka, atau untuk mengakses layanan kesehatan.
Anak-anak muda, generasi penerus bangsa, sejak muda sudah diajari untuk “tidak tahu malu”. Meskipun UUD 45 mengatakan pendidikan anak Indonesia dibiayai negara, untuk mengaksesnya anak harus mengaku miskin lebih dulu, yang prosesnya (mengurus dari RT, RW, kelurahan) pasti akan menyakitkan dan memalukan bagi rakyat yang hanya ingin bisa sekolah atau mendapatkan keringanan biaya rumah sakit.

Para orang tua ini dipermalukan dalam memperoleh “surat keterangan miskin” agar anaknya bisa sekolah tanpa bayar, atau bila ada kerabat yang membutuhkan layanan rumah sakit.

Sekarang untuk menjalankan kehidupan sehari-hari kita juga harus menahan malu dicap sebagai orang miskin oleh negara. Di pompa bensin, para pengendara sepeda motor, para sopir angkot, dan para pegawai swasta antre membeli BBM “khusus untuk orang tak mampu”.

Orang-orang ini, rakyat kecil ini, sesungguhnya jauh lebih terhormat daripada Gayus Tambunan, Nazarudin, Nunun, para hakim yang rakus suap, bahkan Sri Mulyani. Mereka ini, meski digolongkan “tidak mampu”, adalah orang “paling mampu” di negeri ini.

Mereka menciptakan pekerjaannya sendiri, mempekerjakan orang lain, tidak menerima gaji dari negara, tidak korupsi, bahkan membayar pajak. Mereka survive dengan penuh martabat, dan pemerintah masih saja menghina mereka.

Rakyat Indonesia menyaksikan ditemukan begitu banyak uang, rupiah-dolar-yen, di rumah-rumah para tersangka koruptor (bahkan sampai di bak cucian di kamar mandi!).
Begitu banyak uang beredar di kalangan petinggi partai politik, wakil rakyat, dan pemimpin pemerintahan. Namun betapa teganya mereka yang berkecimpung dalam uang ini berkata kepada rakyat: “Indonesia sedang bangkrut, kalian beli BBM agak mahal dikit ya. Kalau nggak mau mahal ya kena stempel miskin.”

Pemerintahan ini telah sangat menyakiti hati rakyat Indonesia, para penabung di Bank Century yang ditilep dananya, warga negara non-PNS yang rajin bayar pajak tapi tak mendapat bantuan apa pun dari pemerintah, dan para pemberi suara yang ditinggalkan.
Mungkin presiden perlu duduk merenung di akhir tahun ini: “Karakter bangsa bagaimana yang mesti dididikkan pada generasi muda Indonesia, dan bagaimana menerapkannya.” 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar