Minoritas
Muslim Perlu Fikih Minoritas
Abdul Moqsith Ghazali, AKTIVIS JARINGAN ISLAM LIBERAL (JIL)
Sumber
: JIL, 14 Desember
2011
“Belajar dari pengalaman Mekah, yang
perlu dikembangkaan minoritas muslim dalam berelasi dengan mayoritas non-Islam
di Barat adalah al-fiqh al-akbar (fikih makro) bukan al-fiqh al-asghar (fikih
mikro). Jika fikih mikro terlampau sibuk untuk mengatasi persoalan “receh” atau
“trivial” dalam fikih seperti soal penyembelihan hewan kurban, maka fikih makro
lebih mengembangkan penegakan moral atau etika publik. Dengan pengembangan
al-fiqh al-akbar, peluang umat Islam untuk mencari titik temu dengan pengikut
abrahamic religion lain seperti Kristen dan Yahudi lebih mungkin dilakukan.”
Sebagian
umat Islam tak betah tinggal di negeri-negeri Muslim yang mayoritas penduduknya
beragama Islam. Tak sedikit umat Islam berpindah ke beberapa negara di Barat
yang mayoritas penduduknya beragama non-Islam, seperti Eropa, Amerika Serikat,
Australia, dan lain-lain. Motif perpindahannya sangat beragam, mulai dari niat
awal untuk mencari ilmu lalu menetap sebagai warga negara, mencari pekerjaan
demi meningkatkan taraf hidup-ekonominya hingga mencari suaka politik akibat
serentetan ancaman di negerinya sendiri.
Kita tahu bahwa sebagian besar umat Islam
yang pindah ke Barat adalah awam di bidang ilmu-ilmu keislaman. Karena itu,
sesampainya di tanah tujuan (Barat), banyak di antara mereka yang gagap dan
bingung. Di satu sisi umat Islam yang pindah itu harus tetap bekerja di
sejumlah perusahaan Barat untuk memenuhi nafkah keluarga. Namun, di sisi lain,
mereka menghadapi sebuah kenyataan betapa tak mudahnya melaksanakan ajaran
Islam di Barat yang mayoritas penduduknya non-Muslim. Sejumlah keluhan kerap di
sampaikan.
Jika dikelompokkan, keluhan minoritas muslim
tentang pelaksanaan ajaran Islam di Barat menyentuh hampir semua aspek dalam
Islam. Pertama, keluhan di bidang ibadah mahdlah (ibadah murni), seperti shalat
(termasuk shalat Jum’at), dan puasa. Mencari masjid untuk shalat Jum’at di
Barat susah. Umat Islam tak jarang harus menempuh perjalanan jauh agar shalat
Jum’at bisa dilangsungkan, sementara yang bersangkutan pada saat yang sama juga
harus bekerja di perusahaan. Terlampau sering meninggalkan pekerjaan dengan
alasan shalat Jum’at kadang tak segera dipahami oleh atasan mereka di Barat.
Kedua, dalam bidang ahwâl syakhshiyyah (hukum
keluarga) juga ada masalah. Di bidang ini, sebagian minoritas muslim di Barat
menghadapi soal pelik mengenai status perkawinan. Banyak dijumpai, suami dan
istri pada mulanya beragama Kristen. Namun, seiring waktu kadang si istri
memeluk Islam, sementara si suami masih menganut agama lamanya. Konsisten
dengan fikih lama-konvensional, maka si isteri harus bercerai dari suaminya.
Karena perempuan Islam tak dibolehkan menikah dengan orang laki-laki bukan
Islam. Hingga sekarang, pernikahan beda agama masih sulit untuk ditembus
kehalalannya karena begitu kukuhnya argumen naqliyah yang mengharamkannya.
Namun, tak jarang fikih Islam berkata “A”, umat Islam berkata “B”. Tak sedikit
umat Islam di Barat lebih mempertahankan pernikahannya sekalipun beda agama,
dengan alasan tak mungkin menghancurkan bangunan keluarga yang telah tegak
dengan peluh dan air mata. Demi anak dan keutuhan keluarga, mereka memilih
mempertahankan keluarga daripada menghancurkannya.
Berbagai upaya telah ditempuh agar keharaman
nikah beda agama bisa dilonggarkan. Jika kita menganggap bahwa non-Islam di
Barat adalah Ahli Kitab, maka semestinya tak ada masalah sekiranya orang Islam
hendak menikahi perempuan Yahudi dan Kristen di sana. Al-Qur’an dengan tegas
mengatakan tentang kehalalan laki-laki muslim menikah dengan perempuan Ahli
Kitab. Zainuddin al-Malibari dalam kitabnya, Fath al-Mu’in, membolehkan
laki-laki Muslim menikahi perempuan Yahudi-Israel. Sementara tentang pernikahan
perempuan muslim dengan laki-laki Ahli Kitab, semua ulama cenderung
mengharamkannya. Pengharaman ini muncul dari sebuah kekhawatiran: bahwa jika
laki-lakinya non-muslim dan perempuannya yang muslim, maka besar kemungkinan
agama isteri dan anak-anak akan mengikuti agama sang suami. Namun, kekhawatiran
ini tak banyak terbukti. Berbagai riset menunjukkan, anak-anak yang lahir dari
orang tua berbeda agama banyak mengikuti agama ibu. Di tengah masyarakat Barat
yang menjunjung tinggi kebebasan beragama, tekanan suami agar isteri dan
anak-anak mengikuti agama diri si suami sebenarnya tak terlampau
mengkhawatirkan.
Soal dalam perkawinan ini tak pelak juga akan
berimbas pada pewarisan. Pandangan fikih yang (konon) diacukan pada sebuah
hadits melarang umat Islam mewariskan hartanya pada keluarga atau keturunan
non-muslim. Perbedaan agama (ikhtilâf al-dîn) dianggap sebagai penghalang
(mâni’) terjadinya proses waris-mewarisi. Ketentuan ini tak mudah ditunaikan
keluarga muslim di Barat di mana salah satu anggota keluarganya ada yang
berbeda agama. Dengan demikian diperlukan pemahaman yang lebih kontekstual
terhadap ketentuan fiqhiyyah seperti ini. Yusuf al-Qardhawi berusaha memberi
solusi: bahwa orang Islam boleh menerima warisan dari orang non-muslim, tapi
tidak buat sebaliknya. Pendapat ini tanggung dan tak menyelesaikan masalah.
Orang akan menggugat pandangan al-Qardhawi ini: bahwa umat Islam hanya mencari
“enaknya saja”—siap menerima warisan tapi tak siap mewariskan. Ia dinilai tidak
adil (unfair).
Jika ditelusuri, ikatan kewarisan dalam Islam
terjadi karena ikatan darah bukan ikatan agama. Perbedaan agama dijadikan
sebagai penghalang kewarisan (mâni’ al-irtsi) dalam fikih Islam terdahulu,
karena umat Islam terlibat konflik dengan umat agama lain. Artinya, dalam
suasana normal (ketika umat Islam tak berada dalam suasana perang dengan umat
agama lain), maka fikih Islam kembali ke hukum normal lagi. Bahwa perbedaan
agama tak boleh dijadikan sebagai penghalang. Saya cenderung tak mempersoalkan
sekiranya seorang anak yang beragama Kristen di Barat hendak mewariskan harta
kepada orang tuanya yang beragama Islam. Begitu juga sebaliknya. Darah yang
mengalir dalam tubuh anak adalah darah orang tua. Sementara dalam kasus
suami-istri, sekalipun tak ada hubungan darah, mereka telah sepakat mengadakan
satu ikatan kukuh (mîtsâqan ghalîzhan) untuk hidup bersama dalam hubungan
sebagai suami-isteri, karena itu wajar kalau terjadi waris-mewarisi.
Ketiga, dalam bidang muamalah juga ada
masalah. Tak sedikit ulama fikih yang berpendapat perihal haramnya umat Islam
bersahabat dengan umat agama lain. Tak hanya disitu, bahkan juga diharamkan
untuk memilih kepala negara non-muslim. Menerapkan pandangan fikih demikian di
Barat potensial menimbulkan masalah. Umat Islam akan kian teralienasi dari
komunitas besar di Barat. Padahal, sebagai warga negara, umat Islam mustinya
mengintegrasikan diri dalam sebuah komunitas. Ia tak boleh menarik diri dari
lalu lalang pergaulan masyarakat. Dalam keadaan demikian, sekalipun banyak teks
agama yang melarang umat Islam bergaul dengan umat non-muslim, umat Islam di
Barat akhirnya cenderung tak mempedulikannya.
Dengan latar itu, ulama Islam berfikir agar
minoritas muslim di Barat mendapatkan penanganan khusus dari sudut fikih.
Sebab, bertumpu pada fikih arus utama akan merepotkan posisi umat Islam di
sana. Jabir Thaha al-‘Alwani dan Yusuf al-Qardhawi menempuh solusi progresif
dengan merintis fikih baru, fikih minoritas (fiqh al-aqalliyyat). Jabir
al-‘Alwani menulis buku berjudul Toward a Fiqh for Minorities. Yusuf
al-Qaradhawi menulis buku “Fi Fiqh al-Aqalliyyat al-Muslimah”. Di Indonesia,
Ahmad Imam Mawardi menulis buku Fiqh Minoritas: Fiqh al-Aqalliyyat dan Evolusi
Maqashid al-Syariah, dari Konsep ke Pendekatan.
Bagi saya, ada beberapa hal yang perlu
disampaikan untuk mengukuhkan argumen-argumen para penggagas fikih minoritas
itu. Pertama, fikih minoritas harus dilandaskan pada pengalaman umat Islam awal
di Mekah ketika menjadi minoritas. Dalam periode Mekah, Islam fokus pada
penyampaian pokok-pokok ajaran Islam, seperti akidah dan etika. Persoalan
syariat tak menjadi bahasan utama. Fakhr al-Din al-Razi berkata, kehadiran Nabi
Muhammad bukan untuk membawa syariat baru, melainkan untuk meneguhkan syariat
Nabi Ibrahim. Merujuk kepada al-Qur’an (al-Nisa’ [4]: 163), sebagian ulama
berpendapat bahwa Nabi Muhammad diutus pada mulanya untuk menggenapi syariat
Nabi Nuh.
Belajar dari pengalaman Mekah ini, yang perlu
dikembangkaan minoritas muslim dalam berelasi dengan mayoritas non-Islam di
Barat adalah al-fiqh al-akbar (fikih makro) bukan al-fiqh al-asghar (fikih
mikro). Jika fikih mikro terlampau sibuk untuk mengatasi persoalan “receh” atau
“trivial” dalam fikih seperti soal penyembelihan hewan kurban, maka fikih makro
lebih mengembangkan penegakan moral atau etika publik. Dengan pengembangan
al-fiqh al-akbar, peluang umat Islam untuk mencari titik temu dengan pengikut
abrahamic religion lain seperti Kristen dan Yahudi lebih mungkin dilakukan.
Kedua, melakukan penafsiran ulang terhadap
hadits, juga al-Qur’an. Sebab, banyak pandangan fikih yang sempit disandarkan
pada al-Qur’an. Tak selayaknya minoritas muslim mengembangkan fikih eksklusif,
fikih tertutup yang selalu memandang orang lain secara negatif. Umat Islam di
Barat membutuhkan fikih pluralis, yaitu sejenis tafsir keagamaan yang lebih
positif memandang umat agama lain. Umat Islam tak perlu membesar-besarkan
hal-hal kecil yang cenderung memisahkan dirinya secara sosial dari umat agama
lain, tapi justru perlu memperbanyak kesamaan-kesamaan di antara umat beragama.
Dengan tegas al-Qur’an meminta umat Islam untuk mencari kesamaan bukan
perbedaan dengan umat agama lain. Mencari perbedaan itu mudah, sementara
mencari persamaan itu susah.
Jika mengikuti tuntunan etik-moral al-Qur’an
dan sejarah keteladanan Nabi Muhammad, kita akan tahu bahwa umat agama lain
bukanlah ancaman bagi umat Islam. Pluralitas keagamaan itu menjelma dalam
keluarga Nabi Muhammad. Buku-buku sejarah menunjukkan, Nabi Muhammad pernah
memiliki menantu musyrik (Abu al-‘Ash, suami dari Zainab binti al-Rasul), budak
perempuan beragama Kristen Koptik (Maria al-Qibthiyah) dan Yahudi (Raihanah),
mertua beragama Yahudi (ayahanda dari Shafiyah, istri Nabi). Waraqah ibn Naufal
yang memberi kesaksian dan pengakuan atas kenabian Muhammad adalah saudara
sepupu Khadijah binti Khuwailid (isteri Nabi).
Ketiga, umat Islam di Barat tak boleh
memposisikan diri sebagai muslim dzimmi apalagi muslim harbi. Di bidang politik
dan pemerintahan, umat Islam bisa menjadi bagian dari proses dan dinamika
perpolitikan di sana. Sekularisasi yang menjadi pilihan negara-negara Barat
sesungguhnya merupakan peluang atau kesempatan bagi umat Islam untuk terlibat
dalam berbagai aktivitas publik. Umat Islam bisa menjadi anggota parlemen dan
pejabat publik lainnya.
Namun, umat Islam harus tahu batas-batas
terjauh yang tak mungkin diterobos. Misalnya, umat Islam di Barat tak usahlah
berimajinasi untuk memiliki lembaga peradilan sendiri yang khusus menyelesaikan
persoalan perdata dan pidana umat Islam. Umat Islam tak perlu mengusulkan
sanski-sanksi hukum fikih jinayat (pidana) Islam seperti hukum qishash, hukum
rajam, hukum potong tangan, hukum pancung, dan lain-lain. Hukum penjara bagi
pelaku kriminal tak usah diusulkan untuk diganti hukum potong tangan, hukum
pancung, hukum qishash seperti yang diujarkan secara harafiah dalam al-Qur’an.
Menangkap spirit al-Qur’an, kita tahu bahwa yang terpenting dari pemberian
sanksi hukum adalah bagaimana menjerakan para pelaku kriminal (zawâjir). Jika
dengan hukum penjara, tujuan hukum sudah tercapai, maka tuntutan untuk
menerapkan sanksi hukum seperti potong tangan sudah tak diperlukan lagi.
Keempat, menyelesaikan masalah dalam fikih
keseharian, mulai dari soal ibadah mahdlah sampai soal makanan-minuman
(al-ath’imah wa al-asyribah). Di antaranya: (a) Tentang penyembelihan hewan
kurban. Banyak ulama berpendirian bahwa hewan kurban bisa diganti dengan mata
uang. Dengan demikian, minoritas muslim tak perlu berkeras ingin menyembelih
hewan kurban secara massal. Barat yang menjunjung tinggi kebersihan tak akan
mengijinkan penyembelihan hewan kurban secara sembarangan seperti yang kerap
kita saksikan di Indonesia. Minoritas muslim juga harus sadar bahwa
penyembelihan hewan kurban merupakan perkara sunnah saja. Sekiranya tak mungkin
dilakukan, tidak apa-apa untuk ditinggalkan. Ada banyak saluran yang bisa
dipakai orang kaya Islam di Barat untuk membantu mereka yang papa-miskin.
(b) Soal poligami dan pemukulan istri.
Minoritas muslim tak usah menerapkan poligami. Dalam pandangan Barat, menikah
dengan banyak perempuan itu adalah bagian dari perkawinan primitif.
Menyemarakkan poligami akan menimbulkan stigma negatif, bukan hanya terhadap
minoritas muslim di Barat, melainkan juga terhadap agama Islam sendiri. Begitu
juga soal pemukulan suami terhadap istri. Masyarakat Barat tak mengerti kenapa
seorang suami diberi kewenangan untuk memukul istrinya. Bagi Barat, memukul
seorang istri tak bisa dipahami. Memukul tetap dianggap sebagai tindakan
kriminal, sekalipun dengan merujuk pada al-Qur’an. Sejumlah tafsir kontemporer
telah diedarkan bahwa ayat al-Qur’an yang memperkenalkan pemukulan istri
((misalnya Q.S. al-Nisa [4]: 34) itu tak bisa dimaknai secara harafiah. Ia
lahir dari sebuah konteks yang berbeda dengan konteks umat Islam hari ini.
(c) Soal shalat Jum’at. Sekiranya tak mungkin
melaksanakan shalat Jum’at, karena satu dan lain hal, maka minoritas muslim
bisa segera menggantinya dengan shalat zhuhur. Dalam pandangan fikih, hujan
saja bisa dijadikan alasan untuk tak mengikuti shalat Jum’at. Jika tak
memungkinkan menyelenggarakan shalat Jum’at karena tak memenuhi ambang batas 40
orang seperti yang ditetapkan mazhab Syafii, dengan mengikuti mazhab Hanafi,
shalat Jum’at bisa tetap dilakukan: yaitu dengan empat orang (satu dari
yang empat adalah imam). Al-Thabari, seperti dikutip Ibn Rushd, berkata bahwa
shalat Jum’at bisa diselenggarakan dengan satu imam dan satu makmum. Ada yang
berkata, shalat Jum’at itu termasuk fardlu kifayah. Jika dalam satu negara
bagian atau satu provinsi tertentu, satu kelompok kecil muslim telah
menyelenggarakan shalat Jum’at, maka gugurlah kewajiban bagi kelompok muslim
lain untuk melakukan ibadah shalat Jum’at. Bahkan, ada yang berkata, ibadah
Jum’at itu hanya sunnah belaka (baca Ibn Rusyd, Bidâyah al-Mujtahid Juz I, hlm.
113-114). Beragam pandangan fikih ini sengaja saya kemukakan agar umat Islam
memiliki banyak pilihan, sehingga mereka bebas untuk menentukan yang terbaik
dan maslahat buat dirinya.
(d) Dalam soal makanan dan minuman, fikih
Islam sangat tegas perihal halal dan haramnya. Menghadapi rigiditas fikih
Islam, minoritas muslim beruntung dengan tranparansi Barat yang melengkapi
seluruh jenis makanan dan minuman dengan mencantumkan daftar komposisi dan
ingredients-nya di bungkus produk itu. Dengan demikian, minoritas muslim di
Barat akan mengetahui tentang jenis-jenis makanan yang mengandung unsur babi,
misalnya. Namun, jika ragu dengan kehalalan makanan atau minuman, minoritas
muslim di Barat bisa mengatasinya dengan membawa makanan dan minuman
sendiri—seperti kerap dilakukan para aktivis Islam di Jakarta.
Dalam perkara fikih sehari-hari ini, sejumlah
kaidah fikih bisa dipakai untuk mengatasi kebuntuan. Misalnya, al-masyaqqatu
tajlibu al-taisîr (kesulitan dapat mendatangkan kemudahan); dar’u al-mafâsid
muqaddam ‘alâ jalb al-mashâlih (menghindari kemafsadatan lebih didahulukan
daripada mengambil kemaslahatan); al-dlarûrah tubîhu al-mahdhûrah (kemudaratan
bisa menghalalkan yang terlarang); al-amr idzâ dlâqa ittasa’a wa idza ittasa’a
dlâqa (segala sesuatu jika sempit akan meluas, dan jika meluas akan menyempit);
al-umûr bi maqâshidihâ (segala sesuatu tergantung maksud-tujuannya). Dengan
bersandar pada beberapa kaidah fikih tersebut, maka minoritas muslim bisa
keluar dari kekakuan fikih konvensional. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar