Berkaca
dari Sondang
Lilik H.S., PENELITI
DI LEMBAGA PEMBEBASAN, MEDIA, DAN ILMU SOSIAL
Sumber
: SINAR
HARAPAN, 14
Desember 2011
“Stop eksploitasi buruh! Jangan biarkan
kematianku sia-sia!” teriak Chun Tae-il sesaat sebelum api menjilat tubuhnya.
Tanggal 13 November 1970, buruh pabrik garmen di Kota Seoul, Korea Selatan itu
membakar diri di depan aksi massa.
Barangkali hanya kebetulan Sondang Hutagalung
dan Chun Tae-il sama-sama berusia 22 tahun ketika mengakhiri hidupnya.
Kebetulan juga Sondang melakukan aksinya di bulan yang sama dengan Mohammed
Bouazizi yang tewas terpanggang api pada 17 Desember 2010, bulan ketika dunia
memperingati Hari HAM sedunia.
Aksi Chun Tae-il pada 1970-an itu segera
mengguncang Korea Selatan. Aksi dan pemogokan buruh bergemuruh seantero negeri.
Buruknya kondisi kerja, upah rendah, dan PHK massal adalah lahan kering yang
dengan cepat tersulut api.
Berjarak 40 tahun kemudian, tindakan nekad
Bouazizi, pedagang kecil dari Tunisia yang dilatari frustasi ekononi akut,
mendapat respons serupa. Api perlawanan massa menjalar cepat di Tunisia, hingga
rezim Presiden Zine al-Abidine Ben Ali pun terjungkal.
Bagaimana dengan Sondang? Rakyat di negeri
ini pun dibuat terperangah. Pertama kali dalam sejarah orang membakar diri
tepat di depan Istana Negara. Reaksi yang timbul beragam. Banyak yang mengutuk,
tak sedikit yang menempatkannya sebagai martir perjuangan.
Tapi sejumlah reaksi yang bergema di sosial
media tak lantas bersambut dengan tumpah ruah orang turun ke jalan. Orang
justru lebih banyak memperdebatkan motif dan cara kematian Sondang. Banyak yang
menilai sebagai konyol dan sia-sia.
Sondang mati tanpa meninggalkan pesan politik
secara harfiah. Tetapi, apakah pesan selalu harus selalu tersurat? Dalam
rekaman video pada aksi Kamisan pada 18 Agustus 2011, aksi korban pelanggaran
HAM yang rutin digelar tiap minggu di depan istana, Sondang menyatakan, “Kalau
saya bermimpi menjadi anggota DPR, saya akan ajak anggota DPR, menteri,
presiden untuk bisa melihat kondisi rakyat sekarang.”
Menerobos Kemampatan
Sondang adalah bagian dari anak muda yang
gelisah. Ia hanya tak tahu metode perjuangan paling tepat untuk menyuarakan
aspirasinya. Ia juga berada di tengah situasi ekonomi politik yang tengah mampat.
Barangkali, dia berharap aksinya mampu menerobos kemampatan ini. Kebetulan cara
yang dipilihnya ganjil dan tak dapat dinalar sebagian besar orang.
Gelombang neoliberalisme telah menerjang
setiap sendi kehidupan rakyat. Dampak pasar bebas, privatisasi, dan penghapusan
subsidi ini telah menjerat di segala sektor masyarakat.
Mahalnya biaya pendidikan dan kesehatan,
petani kehilangan akses lahan, para buruh menjadi tenaga outsourcing,
dan perempuan kian terdesak menjadi buruh migran. Tingkat pengangguran
meningkat dan kesenjangan sosial pun semakin lebar. Dalam kondisi ini,
protes-protes rakyat bak membentur tembok.
Semoga kita belum lupa bahwa sejarah
perubahan selalu ditabuh anak-anak muda yang gelisah, yang tak bisa nyaman
ketika menyaksikan kemiskinan dan penindasan dibiarkan merajalela, sementara
hukum menjadi pajangan belaka.
Pada periode akhir 1980-an, di bawah
cengkeraman sistem otoritarian Soeharto, ada sekelompok anak muda yang gelisah,
yang mengadang risiko menyelinap di dusun-dusun di Kedung Ombo, Boyolali, Jawa
Tengah, dan mengadvokasi para petani yang dirampas tanahnya dengan dalih
pembangunan waduk.
Anak-anak muda itu kemudian juga menyelinap
di basis kampung-kampung buruh serta mengorganisasi kekuatan dari kampus, yang
ketika itu tengah sekarat oleh kebijakan NKK/BKK (Normalisasi Kehidupan
Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan).
Bertahun kemudian, orang juga mencibir ketika
anak-anak muda ini membentuk partai, yakni PRD (Partai Rakyat Demokratik),
dengan mengusung program politik pencabutan dwifungsi ABRI, lima Paket UU
Politik, serta pembebasan Timor-Timur.
Kelak, bertahun kemudian, tuntutan politik
itu berbuah. Sayang, transisi demokrasi pada 1998 tak berjalan mulus. Kekuatan
ekonomi dan politik tetap dipegang tangan-tangan lama.
Negeri Paradoks
Keresahan Sondang adalah keresahan bersama.
Saya tidak bisa membayangkan bagaimana perih ketika api mulai menjilat
tubuhnya.
Barangkali, ia ingin menghayati keperihan
yang diderita para korban pelanggaran HAM, para ibu yang anak dan suaminya diculik,
yang tiada kabar hingga berbelas tahun lamanya, juga keperihan rakyat Papua
yang puluhan tahun hidup nestapa di atas limpahan emas yang dikeruk dan dijual
negara.
Mungkin lewat perih itulah Sondang ingin
bicara. Dia ingin penguasa mendengar. Dia ingin gerakan rakyat menggeliat
kembali dan kembali ke khittah membangun pemberdayaan rakyat.
Sayangnya, negeri Sondang adalah Indonesia,
sebuah negeri yang dihuni banyak orang yang gampang lupa. Bergunung kasus hukum
dan pelanggaran HAM menguap begitu saja, kemudian kita sudah tersihir
berita-berita baru. Kemudian sibuk lagi memperdebatkan hal-hal baru dan lupa
problem utama bangsa ini.
Negeri ini juga penuh paradoks. Pejabat dan
politikus bisa dengan nyaman menggerogoti uang negara dan pamer kekayaan
sementara di belahan Nusa Tenggara Timur, busung lapar yang melanda balita, dan
angka kematian ibu terus meningkat.
Korupsi bukan dianggap sebagai kejahatan luar
biasa, sehingga koruptor masih bisa berdiri tegak dan tersenyum ketika disorot
kamera televisi.
Mereka juga tak merasa resah kendati
Indonesia nyaris berdiri di jurang kebangkrutan. Sumber daya alam telah habis
dikeruk dan dijual, dan beban utang luar negeri mencapai triliunan rupiah.
Jangan lupa, Indonesia juga bertengger dalam jajaran negara terkorup di dunia.
Chun Tae-il, Bouazizi, dan Sondang sama-sama
rakyat kecil, sama-sama dipagut resah akibat kekuasaan yang korup. Sayangnya
para pejabat, politikus, dan sebagian besar dari kita tak cukup merasa resah, juga
ketika ada anak manusia demi didengar suaranya membakar diri di depan mata
kita. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar