Rabu, 07 Desember 2011

Menanti Gebrakan Abraham

Menanti Gebrakan Abraham
Marwan Mas, GURU BESAR ILMU HUKUM UNIVERSITAS 45, MAKASSAR
Sumber : SINDO, 7 Desember 2011



Di atas kertas,komposisi pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2011–2015 cukup ideal.Abraham Samad, Bambang Widjojanto, Busyro Muqoddas,Adnan Pandu Praja, dan Zulkarnaen,adalah pilihan yang melahirkan optimisme baru dalam memerangi korupsi yang sampai kini belum dimenangkan.

Pilihan Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang menetapkan Abraham sebagai ketua juga menyimpan asa terhadap pengungkapan perkara kakap yang menjadi perhatian publik. Meski Abraham tidak secara tegas menunjuk kasus korupsi yang dijanjikan untuk dituntaskan, publik sudah mengarah pandangannya pada kasus bailout Bank Century, kasus pemberian cek pelawat dalam pemilihan calon Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia, kaburnya Nunun Nurbaeti, kasus proyek Hambalang,serta dugaan korupsi Wisma Atlet SEA Games.

Malah, dia berjanji akan mundur jika dalam setahun tidak melakukan gebrakan atau menuntaskan kasus-kasus besar. Janji yang tergolong nekat paling tidak akan menjadi dinamika tersendiri bagi KPK yang selama dua tahun terakhir mendapat sorotan lantaran tidak mampu mengungkap kasuskasus besar yang jadi perhatian publik.

Tentu ada yang optimistis, ada pula yang skeptis jika dengan kaca mata kuda melihat Komisi III DPR sebagai lembaga politik.Tetapi trek integritas dan keberanian yang dimiliki Abraham dan Bambang kemudian dipadukan dengan tiga komisioner lainnya, bisa menafikan semua keniscayaan kepentingan politik.

Momentum Tokoh Muda

Manakala berpijak pada pentingnya “momentum”, maka saatnyalah tokoh muda menunjukkan taringnya dalam pemberantasan korupsi. Sebab, selama ini begitu gampangnya negeri ini kehilangan momentum yang semestinya mendorong terjadinya perubahan yang betul-betul berguna bagi perbaikan penegakan hukum. Momentum bagi tokoh muda yang terbuka lebar ini,tak boleh disia-siakan.

Paling tidak ada dua aspek yang perlu diatensi Abraham sebagai Ketua KPK. Pertama, aspek kolegial dalam mengambil keputusan yang harus bekerja secara bersama. Abraham harus mampu menekan ambisi pribadinya dengan cara memaksakan keinginannya, terutama saat terkejar waktu setahun tetapi belum berbuat apa-apa.Tanpa menafikan kepentingan tertentu, tetapi meyakinkan komisioner lainnya bahwa gebrakan untuk membongkar kasus besar tanpa tebang pulih adalah kerja tambahan Abraham.

Kedua,pemikiran konstruktif yang terbentuk di benak Abraham terhadap skala prioritas kasus kakap yang harus diungkap belum tentu sepaham dengan komisioner lainnya. Apalagi, saat uji kelayakan, Abraham sempat mengungkap bahwa pimpinan KPK tidak boleh banyak berkomentar di media, yang dibutuhkan adalah kerja.

Ungkapan itu menohok Busyro Muqoddas, yang tentu saja secara psikologis bisa berpengaruh dalam kerja sama keduanya. Selaku Ketua KPK,Abraham harus meyakinkan Busyro bahwa kepentingan institusi harus dijaga dari kemungkinan sorotan dan intervensi akibat pernyataan yang pada akhirnya tidak diimplementasi.

Masih segar dalam ingatan, Busyro pernah berjanji akan ada tersangka baru dari kalangan DPR dalam kasus dugaan suap proyek pembangunan Wisma Atlet, tetapi tersangka baru dimaksud tak pernah diumumkan. Pernyataan ke ruang publik yang tidak segera dibuktikan sudah pasti akan menjatuhkan citra institusi. Bagi publik, pelaksana hukum lebih diharapkan menunjukkan kinerjanya ketimbang bicara yang tidak pernah dibuktikan.

Meski Abraham tergolong muda,kalau ia mampu memosisikan dirinya dengan baik di antara komisioner lain yang lebihsenior, bukantidakmungkin risiko pulang kampung tidak akan terjadi. Sembari mengawal KPK agar energi politik kekuasaan tidak memengaruhi dan melemahkan arah pemberantasan korupsi, boleh jadi negeri ini akan sedikit bernafas lega dari kungkungan koruptor. Kita tidak ingin kekuatan hegemonik terus menerus mengacak- acak rasa keadilan rakyat.

Kepentingan Politik?

Telah lama paradoks pemberantasan korupsi menyengsarakan rakyat. Korupsi yang semakin menggurita dalam realitasnya masih dihadapi dengan cara-cara biasa. Malah lebih sering dihadapi dengan menoleransi pelaku yang berasal dari elit politik dan kekuasaan. Proses penyidikan dan peradilan terkesan di-setting sesuai pesanan,sehingga tak mengherankan kalau banyak terdakwa korupsi yang divonis bebas.

Kepemimpinan KPK baru membuat harapan rakyat kembali menggunung, apalagi diketuai tokoh muda. Realitas menunjukkan, kepemimpinan KPK sebelumnya belum pernah menunjukkan kehebatannya dengan menggunakan kewenangan besar yang dimilikinya untuk membongkar kasus korupsi kelas kakap dengan jumlah kerugian uang negara yang besar.

Rakyat berharap agar janji Abraham mampu diapresiasi secara kolegial untuk mengusut secara tuntas kasuskasus korupsi besar. KPK tak boleh hanya menangkap jaksa atau hakim yang menerima suap, sementara aparat hukum lain seperti polisi sama sekali tak tersentuh.Kasus rekening gendut perwira polisi yang diduga bermasalah, bisa dijadikan ukuran apakah Pimpinan KPK baru ini tidak diskriminatif.

Pengungkapan kasus-kasus besar tidak boleh menjebak KPK ke ranah pertarungan politik untuk kepentingan Pemilihan Umum 2014.Abraham harus mampu berkelit dari jebakan itu sebab banyak kalangan yang sangsi,jangan-jangan Abraham dipilih ketua untuk kepentingan politik.Rakyat menanti gebrakan Abraham, bukan hanya memenuhi janjinya.

Tetapi yang juga penting,menepis kemungkinan dijadikan boneka kepentingan politik. Publik juga sering membandingkan performa Busyro dengan yang digantikannya, Antasari Azhar yang berani menahan besan Presiden SBY.

Apakah ini bisa dijadikan acuan untuk lebih menguatkan nyali Abraham? Ataukah pimpinan baru KPK itu hanya mengikuti genderang penguasa? Rakyat menanti bukti dan waktu jugalah yang menjawabnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar