Mengapa
Indonesia Tahan Krisis?
A Tony Prasetiantono, KEPALA
PUSAT STUDI EKONOMI DAN KEBIJAKAN PUBLIK (PSEKP) UGM;
KOMISARIS INDEPENDEN BANK PERMATA
KOMISARIS INDEPENDEN BANK PERMATA
Sumber : SINDO, 19 Desember 2011
Krisis ekonomi global benar-benar
akan datang pada 2012. Kita semua sudah tahu hal itu, dan mustahil
menghindarinya. Yang belum diketahui, seberapa besar krisis tersebut akan
menyebabkan kerusakan perekonomian Indonesia?
Transmisi krisis ekonomi global ke Indonesia terutama terjadi melalui transaksi perdagangan internasional dan aliran modal.Ekspor kita cenderung melemah,karena pasar potensial seperti Amerika Serikat (AS) dan Eropa sedang “sakit”.Negara-negara pasar kita yang lain, meski sakitnya tidak separah kedua kawasan itu,juga kemungkinan besar akan sedikit menurunkan permintaannya terhadap produk-produk ekspor kita. Mereka adalah Jepang, China dan Asia Tenggara.
Namun Indonesia beruntung. Kontribusi ekspor kita terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) yang kini sekitar Rp7.000 triliun, tidaklah besar. Ekspor neto atau neraca perdagangan (selisih antara ekspor terhadap impor) dalam dua tahun terakhir sekitar USD20 miliar,atau ekuivalen 3% PDB. Ini persentase yang relatif kecil,sementara penyumbang terbesar PDB adalah konsumsi rumah tangga sebesar 60%. Sisanya disumbang oleh investasi (30%) dan belanja pemerintah (7%).
Struktur ini mirip dengan yang terjadi di AS,yang penduduknya sekitar 310 juta orang.Dengan kata lain,perekonomian yang memiliki pasar domestik kuat akan bisa bertahan dengan mengandalkan potensi lokal. Inilah alasan terbesar perekonomian Indonesia mampu tumbuh 4,5% saat terjadi krisis subprime mortgage di AS pada 2009. Sementara itu,negara yang ketergantungan ekonominya terhadap ekspor,terutama produk manufaktur,sangat terkena krisis.
Contoh terbaik adalah Singapura. Saat krisis memuncak pada semester I- 2009, perekonomian Singapura bahkan mengalami kontraksi hingga di atas 10%. Kejadian ini tampaknya bakal terulang pada 2012. Meski demikian,saya masih optimistis,situasi 2012 lebih baik daripada 2009.Artinya, perekonomian Singapura kendati bakal melemah, rasanya tidak bakal mengalaminya sedramatis 2009.
Pertumbuhan ekonomi memang akan melambat,tapi tidak akan sampai minus 13%. Lebih masuk akal jika Singapura bakal tetap tumbuh positif namun landai, misal pertumbuhan di bawah 3%. Kalaupun pertumbuhan negatif,katakanlah hanya minus 1 atau 2% saja. Mengapa? Pertama, timbulnya kesadaran bersama, bahwa terlalu riskan membiarkan Yunani dan Italia bangkrut, karena efek dominonya terlalu besar.Kebangkrutan mereka dipandang sebagai too big to fail.
Karena itu, banyak negara maju dan sebagian emerging markets terkemuka yang akan membantu menolong. Caranya adalah membeli obligasi negara-negara tersebut untuk menopang stabilitas. Pemerintah AS juga akan menempuh segala cara agar negaranya tidak bangkrut. Kedua, meski harga komoditas primer (pertambangan dan perkebunan) tetap tinggi, namun level harga kali ini belum setinggi saat krisis 2008-2009. Bahkan masih terbuka kemungkinan harga-harga tersebut akan tertekan turun, seiring dengan pelemahan permintaan akibat krisis. Ini akan membantu upaya pemulihan.
Karena itu, krisis memang akan memberi dampak negatif terhadap seluruh dunia, namun daya rusaknya belum sebesar krisis 2009. Perekonomian dunia masih tetap akan tumbuh, namun dengan level landai. Tidak seperti 2009, negara-negara emerging markets Asia masih akan mencapai pertumbuhan ekonomi positif, namun melemah. Pertahanan penting perekonomian Indonesia adalah sektor finansial.
Pada akhir 2011, pasar finansial memang cenderung panik karena aroma ketidakpastian penyelesaian krisis zona euro. Namun pada jangka menengah ke depan, saya yakin investor akan tetap memandang Indonesia sebagai negara penting untuk menerima investasi portofolio, sebagaimana China dan India. Krisis ekonomi tahun 2012 nanti tetap akan menyisakan China, India dan Indonesia sebagai tiga negara dengan kinerja pertumbuhan ekonomi tertinggi.
China tetap mampu tumbuh 9%; India 7 atau 7,5%; dan Indonesia antara 6 hingga 6,3%. Jadi, tidak ada alasan bagi investor untuk meninggalkan Indonesia. Kalaupun sekarang terjadi kepanikan, itu bersifat sementara. Yang membuat kita tetap optimistis adalah kondisi industri perbankan. Pada saat krisis 1998, industri ini merupakan “pintu masuk” terjadinya krisis yang kemudian menjalar ke mana-mana.
Kini industri perbankan jauh lebih sound. Aspek terpentingnya adalah posisi modal. Kini rata-rata rasio kecukupan modal atau capital adequacy ratio (CAR) adalah 16,7%, atau jauh melebihi persyaratan minimal 8%. Sedangkan kemampuan mengelola risiko tercermin pada non-performing loan(NPL) yang kini 3%, atau jauh di bawah batas aman 5%. Secara kualitatif, industri perbankan juga terus mendorong tata kelola (governance).Ini semua bermuara pada profil industri perbankan yang lebih tahan guncangan.
Namun itu semua belum cukup untuk menghadapi krisis 2012. Pemerintah harus lebih tangkas mengendalikan sisi fiskal. Jangan biarkan pembangunan infrastruktur berjalan lambat atau bahkan jalan di tempat, dan terjebak pada wacana “menunggu investor swasta yang tak kunjung datang”. Pemerintah harus berani “pasang badan” membiayai proyek infrastruktur. Belanja pemerintah yang sangat tidak disiplin,sehingga menyisakan begitu banyak anggaran tak terserap, tidak boleh terjadi lagi pada 2012.
Problem birokrasi dan kepemimpinan yang dalam beberapa tahun terakhir menjadi bottleneck, harus diurai. Saya selalu ingat, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sejak awal selalu mendengungkan istilah yang indah, yakni perlunya debottlenecking. Namun sayang, itu cuma sebatas wacana. Semoga tahun 2012 memberi semangat baru, agar istilah tersebut benar-benar diimplementasikan. Jika semua itu dilakukan, saya yakin perekonomian Indonesia masih bisa tumbuh antara 6,0-6,3% pada 2012. Tetaplah optimistis, dan tetaplah bekerja keras untuk mencapainya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar