Musim
Semi di Arab, Musim Dingin di Israel
Ulil Abshar-Abdalla, AKTIVIS JARINGAN ISLAM
LIBERAL (JIL)
Sumber : JIL, 19 Desember 2011
“Saat
ini, sikap skeptis-konservatif dalam melihat fenomena demokratisasi di Timteng
tampaknya sudah ditinggalkan oleh banyak pemerintahan di Barat. Dalam pandangan
mereka, demokratisasi di Timteng untuk sesaat memang akan memfasilitasi serta
menguntungkan partai-partai Islamis. Tetapi, arena demokrasi yang bebas, pada
gilirannya, akan memaksa partai-partai itu bersikap pragmatis dan realistis,
seperti ditunjukkan oleh, misalnya, partai AKP di Turki. Mengutip pendapat
Dubes Palestina di Jakarta, Fariz N. Mehdawi, dalam sebuah percakapan pribadi,
pengalaman berkuasa dan menyelesaikan masalah-masalah kongkrit justru akan
memaksa partai-partai Islamis meninggalkan retorika mereka yang radikal dan
ekstrem.”
Ada dua mazhab dalam melihat perubahan
radikal di Timur Tengah saat ini – perubahan yang oleh pengamat dan media Barat
disebut Musim Semi Arab (Arab Spring; al-Rabi’ al-‘Arabi). Yang pertama adalah
mazhab optimis-liberal; yang kedua mazhab pesimis-konservatif. Mazhab pertama
melihat perubahan-perubahan di Timteng saat ini sebagai kabar baik yang akan
mengubah kawasan itu menjadi lebih demokratis di masa-masa mendatang, dan
karena itu harus didukung.
Kekuatan sipil yang demokratis dan liberal
justru akan diuntungkan oleh perubahan tersebut. Kekuatan ini, dalam waktu yang
sangat panjang, dihambat dan dimatikan oleh rejim-rejim otoriter di kawasan
itu, begitu rupa sehingga akhirnya hanya ada satu kekuatan yang mampu membangun
oposisi terhadap pemerintah yang otoriter di sana – yakni kekuatan oposisi yang
memakai bahasa agama (religious opposition). Biasanya, mereka menjadikan masjid
sebagai basis kekuatannya. Sementara kekuatan oposisi sekular sama sekali tak
diberi kesempatan. Dengan tumbangnya rejim-rejim otoriter di Timteng sekarang,
diharapkan kekuatan-kekuatan oposisi sekuler akan tumbuh dan berkembang guna
mengimbangi kekuatan Islamis. Inilah tafsiran kubu optimis-liberal.
Mazhab kedua (yakni mazhab
pesimis-konservatif) memandang perubahan itu sebagai pintu gerbang dari mana
Islamisme akan masuk dan menguasai negeri-negeri Arab. Menurut mazhab ini,
runtuhnya rezim-rezim otoriter di Timteng akan membuka lebar kesempatan bagi
kelompok Islamis-fundamentalis untuk naik ke permukaan dan memenangkan pemilu.
Mazhab kedua ini mencoba menjustifikasi dirinya dengan menunjuk kepada
kemenangan sejumlah partai Islamis di beberapa negara di kawasan itu: al-Nahdah
di Tunisia, Partai Pembangunan dan Keadilan di Maroko, dan Partai Kebebasan dan
Keadilan di Mesir.
Di Barat, ada dua sosok yang mewakili kedua
mazhab tersebut. Mazhab optimis-liberal disuarakan kolumnis koran The New York
Times, Thomas L. Friedman (biasa dipanggil Tom, dan seorang keturunan Yahudi).
Sementara itu mazhab pesimis-konservatif disuarakan oleh kaum
Republikan-konservatif di AS dan diikuti oleh Perdana Menteri Israel Benyamin
Netanyahu.
Dalam kolomnya yang disiarkan baru-baru ini
di koran NYT (29/11/2011) , Tom Friedman melancarkan kritik keras terhadap
sikap PM Netanyahu yang melihat dengan skeptis, bahkan sinis,
perubahan-perubahan yang terjadi di Timteng saat ini. Netanyahu, dalam
pidatonya di Knesset (parlemen Israel) pada 9/11/2011 yang lalu, antara lain,
mengatakan bahwa “revolusi Arab” hanya akan membawa kawasan itu mundur ke
belakang. Dengan revolusi itu, negeri-negeri Arab justru akan dikuasai oleh
kekuatan-kekuatan Islamis yang anti-Barat, anti-liberal, anti-Israel dan tidak
demokratis.
Netanyahu juga mengkritik sikap pemerintah
Obama yang ia anggap mendukung gerakan sipil di Medan Tahrir (Tahrir Square,
simbol perlawanan terhadap otoritarianisme Hosni Mobarak) di Kairo, Mesir. Mestinya,
demikian menurut Netanyahu, pemerintah Obama harus membela rejim otoriter
Mubarak agar tidak lengser. Sebab rejim inilah yang selama ini bisa diandalkan
sebagai sahabat Israel. “Demokratisasi” Arab justru akan melambungkan
kekuatan-kekuatan Islamis ke kursi kekuasaan dan sudah bisa dipastikan akan
mempunyai sikap bermusuhan dengan Israel.
Tom Friedman mengkritik pandangan Netanyahu
ini. Menurut dia, pandangan “hawkish” ala Netanyahu dan kaum konservatif di
Amerika itu justru akan menghalangi proses perdamaian yang langgeng di Timteng.
Menurutnya, sikap keras-kepala Netanyahu ini akan menghambat terlaksananya
solusi dua-negara (two states solution) yang selama ini dipandang sebagai
satu-satunya opsi paling masuk akal untuk menyelesaikan masalah Palestina-Israel.
Menurut Tom Friedman, sikap terbaik yang
harus diambil oleh pemerintah Israel adalah persis seperti yang ditempuh
Presiden Obama sekarang: berdiri bersama serta mendukung gerakan reformasi yang
menghendaki demokratisasi di Timteng, bukan malah membenci serta menjauhi
mereka. Negeri-negeri Timteng yang kian demokratis justru akan menguntungkan
Israel. Bercokolnya rejim-rejim otoriter di sana, di atas permukaan, memang
tampak seolah-olah menguntungkan Israel, sebab mereka selama ini bersahabat
dengan negeri Yahudi itu. Tetapi, membiarkan rejim-rejim seperti itu bercokol
terus di Timteng justru akan menyuburkan kekuatan-kekuatan Islamis yang
anti-Israel. Otoritarianisme, tidak seperti disangkakan oleh Netanyahu, akan
menguntungkan kelompok Islamis-radikal dan fundamentalis.
Ringkasnya, menurut Tom Friedman, pemerintah
Israel harus merangkul, bukan menjauhi, kekuatan-kekuatan reformis yang hendak
menjadikan Timteng lebih demokratis.
Dalam kolomnya yang lain (NYT, 13/12/2011),
Tom Friedman mengkritik sikap “pro-Israel-kebablasan” yang diperlihatkan oleh
para politisi Partai Republik yang saat ini sedang bertarung untuk
memperebutkan tiket calon presiden dari GOP (Grand Old Party, julukan populer
untuk Partai Republik) pada pemilu presiden 2012 mendatang. Baru-baru ini, Newt
Gingrich, salah satu kandidat presiden dari Partai Republik, mengatakan bahwa
bangsa Palestina adalah ciptaan belakangan. Mereka bukanlah bangsa yang secara
historis ada sejak dahulu kala. Karena itu, menurut dia, mereka tak layak
mendapatkan sebuah negara tersendiri.
Kandidat lain, Mitt Romney, mantan gubernur
negara bagian Massachusetts, mengatakan bahwa pemerintah Amerika tak seharusnya
memainkan peran terdepan untuk mendorong proses perdamaian antara Israel dan
Palestina. Menurutnya, proses semacam itu hanya akan memojokkan posisi Israel
saja. Pemerintah AS, menurut Romney, harus melakukan apa saja yang dianggap
baik oleh pemerintah Israel. Dengan kata lain, pemerintah AS seharusnya
membebek saja pada segala kemauan negara Yahudi itu, tanpa sikap cadangan
(reserve) apapun.
Tentu saja, sikap pro-Israel-kebablasan
semacam ini dikemukakan oleh Gingrich dan Romney sebagai taktik untuk
memenangkan sokongan dari komunitas dan lobby Yahudi di AS—dua blok kekuatan
yang memang memainkan peranan penting dalam politik domestik di Amerika selama
ini. Sudah menjadi rahasia umum, dalam setiap pemilu presiden di AS, hampir
semua kandidat berlomba-lomba untuk menarik simpati Israel dan komunitas Yahudi
di sana – sebut saja semacam perlombaan “Israelier than thou politics”. Di
kalangan Partai Republik, perlombaan ini berlangsung lebih vulgar dan “norak”.
Sikap pesimis-konservatif yang dianut
kalangan Republikan di AS dan PM Israel Netanyahu ini sebetulnya bukanlah sikap
yang dominan. Sebagian besar masyarakat dan media Barat justru menyambut dengan
baik dan antusias perubahan-perubahan di Timteng saat ini. Sikap inilah yang
juga diadopsi oleh Pemerintah Obama. Meskipun pada awalnya ragu-ragu, pada
akhirnya Pemerintah Obama memberikan sokongan penuh kepada gerakan
pro-reformasi yang menghendaki lengsernya penguasa-penguasa otoriter di kawasan
itu. Ini jelas kontras dengan keadaan pada dekade 90an. Pada 1991, kita ingat,
kemenangan FIS, partai Islamis di Aljazair, digagalkan oleh kubu militer di negeri
itu, dengan alasan bahwa kemenangan FIS akan mengubah corak negeri itu menjadi
lebih “Islamis” dan anti-sekularisme. Intervensi itu didukung oleh
negeri-negeri Barat, terutama Perancis. Kita tahu, saat itu, pandangan yang
umum diikuti oleh pemerintah Barat adalah: Jangan biarkan kelompok Islamis
memenangkan kursi kekuasaan, sebab kemenangan mereka, lewat jalur demokrasi,
akan mematikan demokrasi sendiri. Kalangan Islamis, demikian pandangan mereka,
menempuh jalur demokrasi hanya untuk kebutuhan sesaat saja. Setelah menang,
partai-partai itu akan menghentikan demokrasi. Istilah yang populer saat itu:
One man, one vote, one time.
Saat ini, sikap skeptis semacam itu tampaknya
sudah ditinggalkan oleh banyak pemerintahan di Barat. Dalam pandangan mereka, demokratisasi
di Timteng untuk sesaat memang akan memfasilitasi serta menguntungkan
partai-partai Islamis. Tetapi, arena demokrasi yang bebas, pada gilirannya,
akan memaksa partai-partai itu bersikap pragmatis dan realistis, seperti
ditunjukkan oleh, misalnya, partai AKP di Turki. Mengutip pendapat Dubes
Palestina di Jakarta, Fariz N. Mehdawi, dalam sebuah percakapan pribadi,
pengalaman berkuasa dan menyelesaikan masalah-masalah kongkrit justru akan
memaksa partai-partai Islamis meninggalkan retorika mereka yang radikal dan
ekstrem.
Dengan kata lain, angin Musim Semi Arab bukan
saja bertiup di dunia Arab sendiri, tetapi juga melebar menerpa negeri-negeri
Barat. Perubahan sikap pemerintah Barat ini, meskipun tidaklah segala-galanya,
jelas penting untuk menjaga momentum demokratisasi di kawasan Arab. Akan lain
keadaannya manakala negeri-negeri Barat, misalnya, masih kekeuh berpegang pada
cara pandang konservatif ala Netanyahu yang menyokong otoritarianisme dan
mencurigai segala bentuk relaksasi politik di sana.
Dunia Arab berubah. Tetapi dunia Barat juga
berubah. Tampaknya yang keras kepala menolak perubahan saat ini adalah Israel
di bawah kepemimpinan PM Netanyahu. Jika Israel bersikap “hawkish”
terus-terusan semacam ini, jelas dia akan kian terisolasi dan ditinggalkan oleh
“kereta” sejarah yang melaju cepat. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar