Belanja
Pangkal Kaya?
Muhammad Chatib Basri, Pendiri CReco Research
Institute dan Dosen Fakultas Ekonomi UI
Sumber : KOMPAS, 19 Desember 2011
Ingat pepatah kuno: hemat pangkal kaya? Tak
banyak yang menyadari, pepatah ini adalah salah satu sumber perdebatan antara
Keynes dan neo-classical economics.
Keynes punya preposisi menarik: jika semua orang menabung dalam masa resesi,
konsumsi akan turun. Akibatnya, permintaan agregat dan pertumbuhan ekonomi
menurun. Keynes seperti mengatakan: belanjalah pada saat resesi!
Inilah paradox of thrift. Belanja pangkal
kaya? Pertanyaan ini penting saat kita membahas ekonomi Indonesia yang bersinar
karena munculnya kelas konsumen baru. Tak dapat dimungkiri, kinerja
perekonomian Indonesia terus meningkat.
Kemampuan menjaga stabilitas makroekonomi dan
kesinambungan fiskal selama 10 tahun terakhir berbuah kembalinya Indonesia ke
dalam investment grade. Prestasi yang luar biasa. Tak hanya itu, pengesahan RUU
Pembebasan Lahan sedikit banyak akan membantu menyelesaikan masalah
infrastruktur. Syaratnya: selesaikan peraturan pemerintahnya segera!
Pendeknya, ekonomi Indonesia punya potensi
luar biasa. Studi Bank Dunia (2011) menunjukkan bahwa individu yang pengeluaran
per kapitanya lebih dari 4 dollar AS (sekitar Rp 36.000) per hari meningkat
dari 5,7 persen (2003) menjadi 18,2 persen (2010) atau ada tambahan 30 juta
orang. Tambahan ini hampir sama besar dengan populasi Singapura dan Malaysia
digabung sekaligus!
Apa implikasinya? Chennery dan Syrquin (1975)
membenarkan hukum Engle: elastisitas pendapatan terhadap permintaan nonmakanan
lebih besar dari 1. Kenaikan pendapatan per kapita sebesar 1 persen akan
meningkatkan permintaan konsumsi nonmakanan lebih dari 1 persen.
Mengapa? Sejalan dengan peningkatan
pendapatan per kapita, konsumsi akan bergeser dari ”kebutuhan” (seperti
makanan) ke ”keinginan”. Ini yang menjelaskan mengapa penjualan mobil, sepeda
motor, telepon seluler, dan rumah naik tajam. Ada hal yang penting lagi:
elastisitas pendapatan untuk sektor jasa amat tinggi. Kenaikan pendapatan per kapita
akan meningkatkan permintaan terhadap jasa jauh lebih cepat dibandingkan dengan
sektor manufaktur.
Jangan heran jika permintaan terhadap jasa
pendidikan, kesehatan, rekreasi (leisure), dan industri kreatif akan luar biasa
pada masa depan. Ekonom Sjamsu Rahardja mengingatkan saya bahwa semakin modern
proses industri manufaktur, semakin tinggi kebutuhan akan sektor jasa yang
andal (manajemen, procurement, logistik, dan sebagainya). Jasa adalah sektor
masa depan.
Ironisnya: di sini kita amat terbelakang.
Lebih ironis lagi, Singapura begitu cepat membaca ini. Lihat saja: permintaan
jasa dari Indonesia ke Singapura untuk kesehatan, rekreasi, dan pendidikan
terus mengalir. Jika kita tak berubah, pasar domestik ini akan dibanjiri impor.
Atau untuk memenuhi kebutuhan jasa, kelas konsumen baru Indonesia akan pergi ke
luar negeri.
Lalu dengan semangat berapi-api dan
kecurigaan yang tinggi kita berteriak, ”Awas asing!” Saya ingin kita
berhati-hati di sini. Proporsi impor konsumsi dalam total impor kita sebenarnya
kurang dari 8 persen. Sebagian besar impor kita adalah bahan baku dan barang
modal.
Data statistik Indonesia menunjukkan impor
turun tajam justru pada saat krisis karena investasi turun. Artinya, impor kita
erat sekali kaitannya dengan investasi. Pembatasan impor justru akan memukul
investasi dan pertumbuhan ekonomi dalam jangka pendek.
Selain itu, hati-hati dengan seleksi dalam
pemberian proteksi. Government is very bad in picking winner, but losers are
very good in picking government. Proteksi dan kuota impor amat rawan ekonomi
rente, baik untuk kepentingan pengusaha yang dekat dengan kekuasaan maupun yang
ada hubungannya dengan partai politik. Lalu haruskah kita biarkan ekonomi kita
tanpa proteksi? Saya kira tidak. Pemerintah dapat memberikan bantuan melalui
kebijakan industrial.
Jika sektor manufaktur dan jasa adalah sektor
masa depan, kualitas sumber daya manusia dan kebutuhan inovasi amat penting.
Jika pemerintah ingin membantu usaha domestik, berikan insentif kepada
aktivitas dan bukan kepada sektor—seperti argumen ekonom Dani Rodrik dari
Harvard University. Contoh, berikan potongan pajak untuk aktivitas pengembangan
sumber daya manusia dan aktivitas penelitian dan pengembangan.
Berikan insentif untuk adopsi teknologi dari
luar untuk ”produk baru” atau kebutuhan domestik. ”Produk baru” bisa berarti
produk lama yang melalui inovasi bisa diproduksi Indonesia dengan lebih
efisien. Yang perlu diingat: insentif harus ada batas waktu. Dalam sekian tahun
harus menghasilkan. Jika tidak, hentikan.
Dalam kaitan penelitian dan pengembangan ini,
saya justru melihat bahwa Indonesia harus membuka diri. Tanpa menjadi bagian
dari jaring produksi, alih teknologi akan sulit terjadi. Indonesia bisa
terperangkap dalam middle income trap. Ini tak boleh terjadi.
Oleh karena itu, dalam jangka panjang, kita
tak bisa hidup dengan pepatah ”belanja pangkal kaya”. Krisis di Eropa dan AS
mengajarkan bahaya ”besar pasak daripada tiang”. Di sini argumen neo-classic
tentang pentingnya tabungan menjadi benar.
Tabungan berlimpah akan membuat
biaya investasi turun, yang pada gilirannya akan mendorong investasi.
Tampaknya kita memang masih perlu bekerja
keras sebelum bersenang-senang. Oleh karena itu, pepatah berakit-rakit ke hulu,
berenang-renang ke tepian mungkin masih relevan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar