Selasa, 13 Desember 2011

Akses Mudah dan Suku Bunga Rendah, Harus!


LAPORAN AKHIR TAHUN 2011
Akses Mudah dan Suku Bunga Rendah, Harus!
Sumber : KOMPAS, 13 Desember 2011



Jangan beri masyarakat kita pilihan: akses mudah atau suku bunga pinjaman rendah? Berikan dua hal tersebut sekaligus. Otoritas kebijakan dan industri perbankan bisa bersama mewujudkan.

Selama ini, akses masyarakat terhadap perbankan terganjal kendala, di antaranya ketiadaan kolateral atau agunan, minimnya pemenuhan syarat oleh usaha mikro, kecil, dan menengah, serta tidak ada pengetahuan tentang perbankan.

Keterbatasan akses bukan hanya terhadap 121 bank umum, melainkan juga sekitar 1.680 bank perkreditan rakyat di Indonesia. Secara umum, sekitar 60 persen dari 237,5 juta penduduk Indonesia masih belum tersentuh lembaga keuangan. Jadi, untuk 142,5 juta jiwa tersebut, mengakses kredit perbankan juga masih di awang-awang.

Soal suku bunga kredit perbankan juga tak kalah pelik. Selama ini, bank di Indonesia menerapkan suku bunga yang cukup tinggi dengan berbagai dalih. Alasan umumnya, suku bunga simpanan masih tinggi. Apalagi, masih banyak bank yang mengandalkan dana mahal alias deposito—yang suku bunganya jelas lebih tinggi dibandingkan tabungan dan giro—untuk menghimpun dana pihak ketiga.

Bahkan, ada bankir yang terus terang mengakui harus menawarkan suku bunga simpanan tinggi agar nasabah tidak kabur ke bank lain. Akibatnya, selisih suku bunga deposito satu bulan dengan suku bunga pinjaman cukup tinggi.

Namun, kondisi perbankan yang tidak efisien patut diselisik. Ketidakefisienan berdampak besar terhadap tingginya suku bunga kredit yang ditanggung nasabah. Sederhananya, suku bunga kredit terdiri dari suku bunga dasar kredit (SBDK) ditambah premi risiko. SBDK terdiri dari biaya operasional, biaya dana, dan margin.

Biaya operasional bank yang tidak efisien cenderung tinggi. Rasio biaya operasional dibandingkan pendapatan operasional (BOPO) sebagai ukuran efisiensi bisa menunjukkan hal itu.

Di Indonesia, BOPO perbankan pada Oktober 2011 sebesar 86,4 persen. Pada tahun 2008, BOPO mencapai 88,6 persen, yang turun bertahap menjadi 86,6 persen pada tahun 2009 dan 86,1 persen pada tahun 2010.

Namun, jika dibandingkan BOPO perbankan di wilayah ASEAN yang berada pada kisaran 40-60 persen, perbankan Indonesia masih jauh dari efisien.

Lalu biaya yang ditanggung bank untuk mengumpulkan dana. Alasan tawaran suku bunga simpanan tinggi mestinya sudah tak digunakan lagi.

Jika dicermati, cukup banyak usaha untuk menurunkan suku bunga pinjaman bank. Misalnya, per 31 Maret 2011, Bank Indonesia mewajibkan bank memublikasikan SBDK untuk kredit korporasi, ritel, dan konsumer.

Tahap awal, aturan itu hanya berlaku bagi bank beraset Rp 10 triliun atau lebih, yang saat itu jumlahnya 42 bank. Harapannya, bank-bank itu akan menjadi acuan bagi bank lain dalam menerapkan SBDK.

Publikasi tersebut dilakukan melalui situs web bank yang bersangkutan, di kantor bank, ataupun laporan keuangan per triwulan melalui surat kabar. Tujuannya, SBDK lebih terbuka sehingga masyarakat bisa memilih.

Pengusaha menyambut baik kebijakan tersebut. Transparansi pada akhirnya akan membuat suku bunga turun. Jika suku bunga kredit turun, pengusaha akan banyak mengambil kredit modal kerja dan investasi. Perekonomian terdongkrak.

Rasio Kredit

Sebagai gambaran, rasio kredit terhadap produk domestik bruto (PDB) di Indonesia masih rendah, yakni 29,1 persen pada tahun 2010. Angka itu naik tipis dari 27,7 persen pada tahun 2009 dan 26,6 persen pada tahun 2008.

Bandingkan dengan rasio kredit terhadap PDB di China yang sebesar 131,1 persen. Atau dengan Thailand yang mencapai 116,7 persen, Malaysia sekitar 114,9 persen, Singapura sebesar 102,1 persen, dan Korea Selatan sekitar 100,8 persen.

Survei Bank Indonesia menunjukkan, dana internal perusahaan masih mendominasi pembiayaan modal kerja dan investasi, yakni 48 persen dan 61 persen. Adapun kredit bank hanya mencakup 25 persen modal kerja dan 21 persen investasi.

Padahal, dengan asumsi perekonomian Indonesia akan tumbuh 6,3-6,7 persen pada tahun 2012, diperlukan pembiayaan setidaknya Rp 598 triliun. Jumlah itu setara dengan laju pertumbuhan kredit 26,9 persen.

Sayangnya, masyarakat umum belum banyak menyadari haknya untuk memilah dan memilih SBDK yang sesuai dengan kemampuannya. Alasannya, pilihan bank sudah cocok atau kemudahan transaksi. BI perlu mencari cara untuk mengajak masyarakat sadar memilah lebih dahulu SBDK yang paling sesuai.

Sepanjang tahun 2011, Bank Indonesia menurunkan suku bunga acuan 75 basis poin. Salah satu alasannya, mendorong pertumbuhan perekonomian. Dengan turunnya suku bunga acuan, suku bunga kredit akan mengikuti turun sehingga kredit lebih banyak mengucur. Peran bank-bank besar menjadi motor penurunan suku bunga sangat diharapkan. Dengan jaringan teknologi informasi yang canggih, logikanya, bank-bank besar itu lebih efisien. Dengan kata lain, tak ada lagi tekanan beban operasional yang besar jika bantuan TI sudah sangat canggih.
(Dewi Indriastuti)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar