Demokrasi
dan Kesejahteraan
Bestian Nainggolan, DIVISI LITBANG KOMPAS
Sumber : KOMPAS, 19 Desember 2011
Mengaitkan demokrasi dengan kesejahteraan
tidak pernah putus dari beragam perdebatan. Persoalannya, apakah demokrasi
memang menjadi faktor pemicu kesejahteraan masyarakat, ataukah sebaliknya
justru kesejahteraanlah yang memampukan demokrasi berjalan dengan baik?
Di luar pertanyaan itu sebenarnya terdapat
pula beragam pertanyaan hipotetis lain yang tidak kurang menjadi perhatian.
Misalnya, apakah benar demokrasi menjadi satu-satunya prasyarat bakal
terciptanya kesejahteraan, ataupun sebaliknya kesejahteraan menjadi syarat
penentu? Apabila memang kedua entitas tersebut berkaitan, apakah selinier itu
hubungan yang terbentuk?
Masih banyak lagi yang dapat diperdebatkan
dari keduanya. Akan tetapi, pertanyaan-pertanyaan ”mana yang lebih dahulu” di
antara variabel demokrasi dan kesejahteraan belakangan ini menjadi semakin
krusial dipersoalkan, terutama bagi negara-negara yang pada satu sisi kini
berubah struktur politiknya, sementara di sisi lain negara tersebut tengah pula
bergulat dalam pemakmuran masyarakatnya.
Bagi Indonesia, pertanyaan semacam ini
menjadi semakin relevan, terutama tatkala kedua persoalan itu dihadapkan pada
realitas yang berkembang di masyarakat saat ini. Mencermati berbagai hasil
pengumpulan opini publik yang dilakukan Kompas sepanjang tahun ini, misalnya,
terlihat benar adanya kecenderungan ketidakpuasan publik yang tinggi terhadap
berbagai kondisi politik, sosial, ataupun ekonomi yang mereka rasakan.
Sebagian
besar di antara mereka berpandangan bahwa reformasi politik yang 12 tahun
terakhir mampu melembagakan demokrasi di negeri ini sayangnya dianggap belum
juga mampu menjawab harapan mereka. Kinerja sejumlah institusi politik demokratik,
baik partai politik, DPR, maupun pemerintahan, yang hadir selama kurun waktu
tersebut, dinilai tidak memuaskan. Semakin mengecewakan tatkala kesejahteraan
masyarakat yang menjadi tujuan dari perubahan struktur politik tidak juga
banyak dirasakan sebagaimana yang mereka harapkan.
Bibit
Frustrasi
Tidak heran dalam situasi semacam ini,
bibit-bibit frustrasi sosial merekah. Terdapat kalangan yang memandang, ketika
kesejahteraan yang diekspektasikan tidak juga kunjung dirasakan, jalan
demokrasi yang sebelumnya telah dipilih diragukan manfaatnya. Bahkan, di
antaranya tampak cukup fatal, adanya kerinduan mereka pada masa ”kegemilangan”
Orde Baru. Terdapat pula sebagian kalangan lainnya yang mulai merasakan bahwa
kesejahteraanlah yang sepatutnya terlebih dahulu dicapai. Dalam kondisi
sejahtera, mewujudkan demokrasi tidak lagi menjadi masalah.
Sebenarnya, potret hubungan antara demokrasi
dan kesejahteraan mulai dapat terbaca di negeri ini. Hasil pengujian
kuantitatif terhadap kedua variabel tersebut menunjukkan adanya korelasi
positif yang cukup signifikan.
Artinya, keduanya dapat dipersandingkan dan
saling terpaut satu sama lain. Dalam hal ini, semakin tinggi indeks demokrasi
suatu wilayah, semakin tinggi pula indeks kesejahteraan ataupun kemakmurannya.
Begitu pun sebaliknya, semakin tinggi indeks kesejahteraan suatu wilayah,
kecenderungan indeks demokrasinya juga semakin tinggi.
Selain itu, pola hubungan yang terbentuk
menunjukkan pula kausalitas di antara keduanya. Yang tampak menonjol,
kesejahteraan menjadi faktor determinan yang memungkinkan kualitas demokrasi
yang terbentuk. Hanya, model kausalitas demikian tidak serta-merta menjadi
suatu pijakan yang akurat lantaran terindikasi pula faktor-faktor lain yang
seharusnya hadir dalam pembentukan kualitas demokrasi.
Dalam kajian ini, indeks demokrasi yang
dimaksud mengacu pada hasil rumusan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
bersama Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP). Setelah tidak
kurang dari tiga tahun bereksperimen dalam peramuan indikator ini, tahun 2011
lembaga tersebut memublikasikan Indeks Demokrasi Indonesia (IDI). Indeks ini
dihasilkan dari berbagai indikator pengukuran aspek kebebasan sipil, pemenuhan
hak-hak politik, dan kelembagaan politik pada 33 provinsi Indonesia. Hasilnya,
skor nasional IDI mencapai 67,3.
Dengan skor sebesar itu, tergolong tinggikah
kualitas demokrasi di negeri ini? Masih serba relatif. Jika mengacu pada skor
tertinggi indeks sebesar 100, yang kurang lebih menjadi acuan situasi demokrasi
yang sempurna, perolehan nilai indeks nasional yang sebesar itu tergolong tidak
buruk.
Namun, skor sebesar itu tidak juga
tersimpulkan tinggi. Sebenarnya, cukup banyak gugatan yang dapat dialamatkan
kepada sistem pengukuran indeks demokrasi semacam ini. Akan tetapi, tidak dapat
diingkari, sejauh ini indeks politik demikian yang paling layak digunakan dalam
memenuhi kebutuhan analisis.
Tiga
dimensi
Berbeda dengan IDI, Indeks Pembangunan
Manusia (IPM) yang dipublikasikan Badan Pusat Statistik (BPS) menyarikan
kinerja pembangunan suatu kawasan yang didasarkan pada tiga dimensi dasar.
Ketiganya merupakan kapasitas dasar penduduk, yaitu berupa besar umur panjang
dan kesehatan, pengetahuan, dan kehidupan masyarakat yang layak.
Dalam perhitungannya, masing-masing dimensi
tersebut diturunkan dalam berbagai indikator, seperti angka harapan hidup,
angka melek huruf, lama rata-rata sekolah, dan kemampuan daya beli. Berbagai
indikator tersebut, sekalipun tidak sepenuhnya identik dengan segenap aspek
kesejahteraan manusia, cukup memadai dijadikan rujukan.
Berdasarkan pengukuran tahun 2009, skor IPM
Indonesia sebesar 71,76. Dengan mengaitkan kedua indeks IDI dan IPM inilah,
relasi antara demokrasi dan kesejahteraan terbentuk.
Di sisi lain, berdasarkan pola hubungan yang
terbentuk, dapat pula dipetakan antara demokrasi dan kesejahteraan pada setiap
provinsi di negeri ini. Masih banyak celah gugatan memang. Namun, pengelompokan
semacam ini sedikit banyak dapat menguak konfigurasi masing-masing provinsi
dalam kehidupan demokrasi ataupun kesejahteraan masyarakatnya.
Setidaknya terdapat tiga kelompok yang
terbentuk. Pertama, kelompok dengan kedua indeks memiliki nilai yang sama-sama
kuat di atas nilai indeks nasional. Dapat dikatakan, inilah kelompok yang
terdiri atas provinsi-provinsi dengan indeks demokrasi yang relatif lebih
tinggi dari indeks nasional. Demikian juga, kelompok ini memiliki nilai
kesejahteraan yang lebih baik dari perolehan nasional.
Tampaknya, bagaikan lahan yang subur, bibit
demokrasi bertumbuh di wilayah ini. Atau sebaliknya, demokratisasi yang
berjalan tampaknya mampu meningkatkan kualitas kesejahteraan masyarakatnya.
Provinsi DKI Jakarta, Kalimantan Tengah, Sulawesi Utara, Daerah Istimewa
Yogyakarta, dan beberapa provinsi lain ada dalam kelompok ini.
Kedua, kelompok yang bertolak belakang dengan
kelompok pertama. Pada kelompok ini, skor kedua indeks tergolong di bawah nilai
skor nasional. Artinya, baik demokrasi maupun kesejahteraan masyarakatnya masih
relatif kecil lantaran di bawah angka nasional.
Bagaikan lahan yang tandus yang sulit
tertanami, wilayah-wilayah demikian memiliki beban yang berat memperbaiki
ketertinggalannya. Sejauh ini, pergulatan mereka dalam peningkatan
kesejahteraan masyarakat masih menjadi persoalan. Sementara di sisi lain,
kebutuhan akan kebebasan sipil, hak-hak politik warga, ataupun berfungsinya
lembaga-lembaga demokrasi masih dipermasalahkan. Provinsi Nusa Tenggara Barat,
Papua, Papua Barat, Kalimantan Selatan, dan beberapa provinsi lain masuk dalam
kelompok ini.
Ketiga, kelompok dengan masing-masing indeks
yang berbeda kualitas perolehannya. Ada sekelompok provinsi yang memiliki
indeks demokrasi melebihi indeks demokrasi nasional. Akan tetapi, skor IPM
provinsi-provinsi tersebut masih berada di bawah skor nasional. Nusa Tenggara
Timur, Banten, Kalimantan Barat, Lampung, di antaranya, menjadi contoh kelompok
ini. Sebaliknya terdapat pula sekelompok provinsi yang memiliki IDI rendah,
tetapi IPM masih di atas skor nasional. Beberapa provinsi di Sumatera, seperti
Sumatera Utara, Sumatera Barat, Bengkulu, dan Bangka Belitung, menjadi bagian
dari kelompok.
Pada kelompok inilah tampaknya pertaruhan
demokrasi dan kesejahteraan terus berlangsung. Apakah geliat demokrasi yang
terjadi memampukan peningkatan kesejahteraan warganya atau kondisi
kesejahteraan mereka menjadi pendorong kehidupan yang lebih demokratis.
Keduanya masih serba dilematis.
Namun, lepas dari angka-angka itu, menjadi
tugas negaralah untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar