Jokowi
untuk DKI-1?
Arswendo Atmowiloto, BUDAYAWAN
Sumber
: SINDO, 17 Desember
2011
Dalam seminggu ini, saya pulang ke
Solo dua kali memenuhi undangan dua perguruan tinggi yang sedang demam dengan
hal yang berkaitan dengan kata kreatif. Saya menggunakan kata “pulang”, dan
bukan pergi, karena inilah bahasa percakapan masyarakat Solo untuk menyebutkan
mereka yang dilahirkan di kota budaya yang bersemboyan “masa depan Solo adalah
kejayaan masa lalu”.
Bahwa kenyataannya saya sudah ber-KTP Jakarta, dan termasuk KTP seumur hidup, tidak menghalangi istilah pulang. Dua kali pula saya bertemu dengan kelompok warga yang melakukan “demo Jawa”— berpawai dengan tertib, sebagian mengenakan busana Jawa—yang bertujuan menahan Wali Kota Jokowi, agar tidak maju dalam pemilihan sebagai gubernur DKI Jakarta. Bagi mereka, posisi DKI-1 adalah godaan politik,bukan dinamika kepemimpinan.
Perahu dan Uang Perahu
Ini peristiwa menarik. Sebagian warga Solo yang nggondeli— melepas kepala tapi menahan ekor—merasakan selama ini kepemimpinan anak pinggiran yang insinyur kayu dan berjualan mebel ini memberi bukti keamanan dan kenyamanan kota, yang juga dijuluki “sumbe pendek”—mudah meledak dalam huru-hara. Bagi sebagian yang lain, yang bukan warga setempat, kehadiran Jokowi melintasi batas geografis kota yang hanya memiliki lima kecamatan.
Prestasi memindahkan 957 pedagang kaki lima yang sudah bercokol sejak zaman Jepang di suatu tempat ke tempat lain dengan damai, bahkan dalam bentuk kirab—iringan pawai kemenangan,dianggap pendekatan yang memenangkan semua pihak.Baik para pedagang mempunyai izin resmi maupun pemda yang diuntungkan dengan pajak. Media massa masih mengulang keberhasilan ini, mana kala di tempat lain terjadi kerusuhan untuk hal yang sama.
Juga ketika masalah kemewahan berlebihan menjadi sorotan, ingatan kepada Jokowi yang tak berganti mobil bekas menjadi perbandingan. Atau bagaimana wong cilik mendapat pelayanan kesehatan gratis, atau pendidikan, sampai pembagian sentra produksi kerajinan rakyat, dan atau juga menaikkan peringkat sebagai kota tujuan wisata. Dibuktikan dengan pengukuhan berbagai penghargaan resmi— termasuk pejabat yang antikorupsi.
Ibarat kata,modal sosial Jokowi lumayan harum dan mendapat apresiasi tinggi. Dalam peta keseluruhan di mana wajah calon atau pemimpin yang mengerikan atau penuh polesan, Jokowi justru tampil sederhana, apa adanya. Ini menjadi pesona yang tak semua kandidat memiliki. Namun, realitas politik dalam alam demokrasi ini bukan hanya modal pesona dan prestasi belaka, melainkan harus ada “perahu”, atau kendaraan politik, yang diusung dan didukung partai politik.Maju sebagai calon perorangan, untuk DKI yang menggiurkan ini sangat riskan.
Dan kandang Jokowi adalah PDIP,yang menemukan wujud keberpihakan pada wong cilik. Namun, agaknya PDIP masih bersikap gendulakgendulik, terbaring antara yes atau no,antara ya dan tidak. Padahal dalam kejaran waktu yang pendek ini,semboyan “lebih cepat lebih baik”— tanpa visual menggulung lengan baju yang memberi kesan menantang—adalah jawaban tegas yang ditunggu.
Akan banyak merugikan kalau soal perahu dan “uang perahu” banyak menghabiskan waktu dan mempertebal sikap ragu, yang justru mengganggu. Kalau saya menggunakan istilah “uang perahu”, karena dalam kosakata Jawa, buruh prau, adalah buruh yang harus dibayar cash, kontan,ketika menyeberangkan penumpang. Ini berbeda dengan buruh batik misalnya, yang biasa dibayar mingguan atau bulanan.
Banjir dan Macet
Sejauh saya tahu—dan yang saya ketahui tidak jauh-jauh amat, atau menurut pendapat saya—dan pendapatan saya masih pas-pasan,atau juga menurut hemat saya—yang memang harus berhemat, modal kepemimpinan dan penampilannya selama ini membuktikan kata kunci: jujur,kerja keras, memihak kepada wong cilik tanpa memerangi orang gede, telah menyatu.
Lebih dari itu,kemampuannya mengelola atau mengoordinasi potensi yang ada merupakan kelihaian yang selama ini jarang diperlihatkan. Kemampuan yang disejajarkan dengan kemauan dalam koordinasilah yang memungkinkan tempat baru bagi para pedagang kaki lima, memungkinkan berubahnya pasar tradisional tanpa menggusur, atau pengadaan KTP dalam satu hari.
Semua ini menunjukkan bagaimana mengoordinasikan kekuatan yang ada. Bahkan kalau DKI selalu diasosiasikan dengan hantu laten bernama macet dan banjir, rasa-rasanya juga soal tidak becusnya pengelolaan kemampuan yang ada.Karena permasalahannya jelas, ahliahlinya lebih dari cukup,dana bukan masalah. Tinggal bagaimana melakukan koordinasi, mempertanggung jawabkan secara transparan, dan memberi prioritas serta yang penting menekuninya secara profesional.
Pendekatan yang sama dan bisa sekaligus dengan penanganan transportasi apakah namanya kereta api yang tiangnya kini mangkrak, atau gedung sekolah yang roboh. Kepemimpinan dan pembenahan DKI sangat menarik. Bukan hanya karena inilah ibu kota kita, bukan karena menjadi pusat segalanya, juga bukan karena anggarannya mencapai sekian triliun belaka, melainkan dan terutama adalah bagaimana mengelola dinamika masyarakatnya yang merupakan keindonesiaan kita.
Kadang saya merasa bahwa ungkapan yang ditertawakan bahwa “Jakarta is my country”mengandung kebenaran dari sisi ini. Pada akhirnya, atau sebenarnya pada awalnya, inilah yang akan kita saksikan bersama. Apakah para elite politik lebih mementingkan kepentingan komunitas intern semata, atau mampu memandang lebih jauh dari batang hidungnya. Dan atau,agar tidak mempertajam dikotomi umum ini, apakah mampu mengelola dua atau tiga kepentingan ini.Dan bisa juga berpuas diri atas frustrasi yang masih memberikan rezeki. DKI menjadi taruhannya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar