Mesir,
Islamis atau Post-Islamis?
Azis Anwar Fachruddin, MAHASISWA UIN SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
Sumber : REPUBLIKA, 7 Desember 2011
Partai Kebebasan dan
Keadilan (Hizb al-Hurriyyah wa al-'Adalah/FJP) sebagai representasi dari
Jama'ah al-Ikhwan al-Muslimin (IM) mendulang suara mayoritas pada pemilu
legislatif Mesir putaran pertama. Hasil itu sebenarnya sudah ditebak oleh
banyak pengamat. Namun, beberapa pihak yang pro Barat masih merasa khawatir:
bahwa Mesir akan dibawa menuju negara teokrasi-Islamis seperti Iran.
Kekhawatiran itu cukup beralasan sebab gerakan IM dikenal lebih kuat berpegang pada poros Islamis ketimbang nasionalis. Hasan al-Banna, sebagai pendiri IM, pernah tegas mengatakan,
"al-Islam nizham syamil (Islam adalah sistem komprehensif)" dan "al-Islam dinun wa dawlatun (Islam adalah agama dan negara)." (Lihat Sa'id Hawa, Tarbiyyatuna ar-Ruhiyah, hlm 23).
Para pendukung sekularisme juga acap kali menggeneralisasi bahwa Islamis berarti antidemokrasi sehingga mereka khawatir IM justru mencederai demokrasi yang diperjuangkan oleh pejuang revolusi Mesir. Dalam pemetaan politik oleh Barat, FJP dianggap mewakili kubu Islamis konservatif. Banyak pihak yang pro Barat khawatir bahwa FJP akan menerapkan formalisasi syariat, mulai dari kewajiban berjilbab sampai pembatasan hak perempuan. Terlebih lagi, bila sistem parlementer nantinya berhasil digolkan dalam amendemen konstitusi Mesir.
Kekhawatiran tersebut di atas sebenarnya tidak perlu dilebih-lebihkan. IM yang dulu tentu sudah berbeda dengan IM yang sekarang. Kecenderungan untuk melakukan "tawar-menawar" dengan perubahan sosial-politik mulai dilakukan oleh IM. Sejak sebelum pemilu digelar pun, IM tampak tidak menggunakan label-label formal Islam. IM lebih condong menawarkan hal-hal yang inklusif dan diterima banyak pihak, seperti isu korupsi dan amendemen konstitusi.
FJP bergabung dalam Aliansi Demokrat (at-Tahaluf ad-Dimuqrathiy) bersama partai nasionalis lainnya, seperti Hizb al-Ghad (Partai Hari Esok) dan Hizb al-Karamah (Partai Kemuliaan). "Pecahan" IM yang tergabung dalam Hizb al-Wasat (Partai Tengah) dikenal cenderung liberal. Cabang IM yang dihuni kaum muda intelek malah tegas mengusung nasionalisme dengan membentuk Partai at-Tayar al-Mashri (Partai Aliran Mesir). Fakta tersebut membuktikan bahwa ada yang berubah dalam tubuh IM, baik secara gerakan politik maupun kecenderungan paham para anggotanya.
FJP juga menolak untuk bergabung dengan Aliansi Islami yang digalang oleh gerakan Salafi dengan Partai an-Nur (Cahaya), yang kemarin meraup suara cukup signifikan, dan partainya Jama'ah Islamiyah, Hizb al-Bina`wa at-Tanmiyah (Partai Pembangunan dan Perkembangan). Ini mengindikasikan bahwa FJP menolak kecenderungan politik totaliranisme Islam. Justru yang terjadi kemudian adalah sebaliknya, FJP berencana akan menggandeng Partai al-Wafd (Delegasi) yang dikenal liberal untuk bergabung dalam koalisi.
Jelaslah bahwa hal tersebut di atas mengamini komentar Marina Ottaway, seorang pengamat politik Timur Tengah dari Carnegie Endowment for International Peace. Ia mengatakan, "The Islamist political parties that have been participating in the Arab political process-and there are many-are quite moderate. They profess to accept the rules of democracy and accept human rights up to a certain point. Islamist groups are much closer to the Justice and Development Party (AKP) in Turkey than the Khamenei regime in Iran. (Parpol Islam yang berpartisipasi dalam proses politis Arab-dan itu ada banyak-cukup moderat. Mereka menyatakan menerima prinsip demokrasi dan menerima hak asasi manusia dalam poin tertentu. Kelompok Islamis lebih banyak mirip dengan Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) di Turki daripada rezim Khamenei di Iran)."
Post-Islamis
Perkembangan gerakan Islam di Mesir yang cenderung diwakili oleh IM ini menunjukkan sebuah gejala baru. Menggunakan bahasa yang dipakai oleh pemikir asal Iran, Asef Bayat, gejala itu dinamakan dengan Post-Islamisme. Ada beberapa fenomena politik di mana politik Islam kini cenderung mulai "pragmatis" dengan melakukan bargaining dengan realitas kemodernan.
Fenomena paling menonjol tidak lain adalah kesuksesan AKP di Turki. Partai itu kini telah memunculkan figur seperti Recep Tayyip Erdogan yang cukup gemilang menjadi PM Turki dan mengangkat perekonomian negara sekuler itu. AKP sukses di negara sekuler dengan tanpa mengorbankan identitasnya sebagai partai Islam. AKP menjadi contoh gerakan Islam di belahan Timur Tengah lainnya: bahwa tidak selamanya Islam bertentangan 180 derajat dengan sekularisme. AKP adalah bentuk dari fenomena Post-Islamisme di mana ajaran "Islam komprehensif (kafah)" bisa "direm", bukan direduksi, untuk beradaptasi dengan kenyataan politik modern yang demokrat-sekuler.
Di Tunisia, kesuksesan Partai an-Nahda yang kemudian menaikkan Rached Ghannouchi juga merupakan fenomena Post-Islamis. Salah satu tawarannya, antara lain, Rached tidak akan melarang mereka yang non-Muslim untuk berbikini di pantai. Rached juga terang-terangan mengatakan ingin meniru model AKP Turki. Ada baiknya juga bila FJP dan partai IM lainnya mulai mendengarkan seruan Erdogan saat berkunjung ke Mesir beberapa waktu lalu untuk menerima bentuk sekuler yang "ramah" agama.
Tentu, sekularisme memiliki varian yang bermacam bentuknya dan tidak semuanya mutlak menepis agama. Di Indonesia, mungkin PKS adalah salah satu bentuk gerakan Post-Islamis.
Pertanyaan cukup krusial yang layak kita tanyakan kepada IM kemudian adalah: apakah kecenderungan mereka untuk bersikap inklusif pada demokrasi hanyalah pragmatisme sesaat ataukah memang sejatinya demikian sehingga ideologi Islam-kafah mereka akan ditinjau ulang?
Apakah jika IM memegang tampuk kepemimpinan nanti (catatan: Abdul Mun'im Abul-Futuh, mantan pemimpin IM, punya reputasi kuat untuk mencalonkan diri sebagai presiden) akan sanggup menahan gelombang partai liberal lainnya dalam koalisi untuk memutuskan kebijakan yang, bisa jadi, menggerogoti idealisme IM?
Tentu, IM bukan hanya memiliki pengaruh di Mesir, melainkan di negara-negara lain di Timur Tengah. Oleh sebab itu, gerakan IM akan menjadi tolok ukur gerakan Islamis lainnya yang sedang membangun kekuatan sebagai antisipasi bila mereka mendapat kesempatan untuk meraih kepemimpinan, seperti di Yaman atau Suriah, yang sekarang masih membara. Bahkan, bukan hanya di Timur Tengah, melainkan perubahan peta politik di Mesir turut andil memengaruhi politik Islam di belahan Asia lainnya, termasuk Indonesia. ●
Kekhawatiran itu cukup beralasan sebab gerakan IM dikenal lebih kuat berpegang pada poros Islamis ketimbang nasionalis. Hasan al-Banna, sebagai pendiri IM, pernah tegas mengatakan,
"al-Islam nizham syamil (Islam adalah sistem komprehensif)" dan "al-Islam dinun wa dawlatun (Islam adalah agama dan negara)." (Lihat Sa'id Hawa, Tarbiyyatuna ar-Ruhiyah, hlm 23).
Para pendukung sekularisme juga acap kali menggeneralisasi bahwa Islamis berarti antidemokrasi sehingga mereka khawatir IM justru mencederai demokrasi yang diperjuangkan oleh pejuang revolusi Mesir. Dalam pemetaan politik oleh Barat, FJP dianggap mewakili kubu Islamis konservatif. Banyak pihak yang pro Barat khawatir bahwa FJP akan menerapkan formalisasi syariat, mulai dari kewajiban berjilbab sampai pembatasan hak perempuan. Terlebih lagi, bila sistem parlementer nantinya berhasil digolkan dalam amendemen konstitusi Mesir.
Kekhawatiran tersebut di atas sebenarnya tidak perlu dilebih-lebihkan. IM yang dulu tentu sudah berbeda dengan IM yang sekarang. Kecenderungan untuk melakukan "tawar-menawar" dengan perubahan sosial-politik mulai dilakukan oleh IM. Sejak sebelum pemilu digelar pun, IM tampak tidak menggunakan label-label formal Islam. IM lebih condong menawarkan hal-hal yang inklusif dan diterima banyak pihak, seperti isu korupsi dan amendemen konstitusi.
FJP bergabung dalam Aliansi Demokrat (at-Tahaluf ad-Dimuqrathiy) bersama partai nasionalis lainnya, seperti Hizb al-Ghad (Partai Hari Esok) dan Hizb al-Karamah (Partai Kemuliaan). "Pecahan" IM yang tergabung dalam Hizb al-Wasat (Partai Tengah) dikenal cenderung liberal. Cabang IM yang dihuni kaum muda intelek malah tegas mengusung nasionalisme dengan membentuk Partai at-Tayar al-Mashri (Partai Aliran Mesir). Fakta tersebut membuktikan bahwa ada yang berubah dalam tubuh IM, baik secara gerakan politik maupun kecenderungan paham para anggotanya.
FJP juga menolak untuk bergabung dengan Aliansi Islami yang digalang oleh gerakan Salafi dengan Partai an-Nur (Cahaya), yang kemarin meraup suara cukup signifikan, dan partainya Jama'ah Islamiyah, Hizb al-Bina`wa at-Tanmiyah (Partai Pembangunan dan Perkembangan). Ini mengindikasikan bahwa FJP menolak kecenderungan politik totaliranisme Islam. Justru yang terjadi kemudian adalah sebaliknya, FJP berencana akan menggandeng Partai al-Wafd (Delegasi) yang dikenal liberal untuk bergabung dalam koalisi.
Jelaslah bahwa hal tersebut di atas mengamini komentar Marina Ottaway, seorang pengamat politik Timur Tengah dari Carnegie Endowment for International Peace. Ia mengatakan, "The Islamist political parties that have been participating in the Arab political process-and there are many-are quite moderate. They profess to accept the rules of democracy and accept human rights up to a certain point. Islamist groups are much closer to the Justice and Development Party (AKP) in Turkey than the Khamenei regime in Iran. (Parpol Islam yang berpartisipasi dalam proses politis Arab-dan itu ada banyak-cukup moderat. Mereka menyatakan menerima prinsip demokrasi dan menerima hak asasi manusia dalam poin tertentu. Kelompok Islamis lebih banyak mirip dengan Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) di Turki daripada rezim Khamenei di Iran)."
Post-Islamis
Perkembangan gerakan Islam di Mesir yang cenderung diwakili oleh IM ini menunjukkan sebuah gejala baru. Menggunakan bahasa yang dipakai oleh pemikir asal Iran, Asef Bayat, gejala itu dinamakan dengan Post-Islamisme. Ada beberapa fenomena politik di mana politik Islam kini cenderung mulai "pragmatis" dengan melakukan bargaining dengan realitas kemodernan.
Fenomena paling menonjol tidak lain adalah kesuksesan AKP di Turki. Partai itu kini telah memunculkan figur seperti Recep Tayyip Erdogan yang cukup gemilang menjadi PM Turki dan mengangkat perekonomian negara sekuler itu. AKP sukses di negara sekuler dengan tanpa mengorbankan identitasnya sebagai partai Islam. AKP menjadi contoh gerakan Islam di belahan Timur Tengah lainnya: bahwa tidak selamanya Islam bertentangan 180 derajat dengan sekularisme. AKP adalah bentuk dari fenomena Post-Islamisme di mana ajaran "Islam komprehensif (kafah)" bisa "direm", bukan direduksi, untuk beradaptasi dengan kenyataan politik modern yang demokrat-sekuler.
Di Tunisia, kesuksesan Partai an-Nahda yang kemudian menaikkan Rached Ghannouchi juga merupakan fenomena Post-Islamis. Salah satu tawarannya, antara lain, Rached tidak akan melarang mereka yang non-Muslim untuk berbikini di pantai. Rached juga terang-terangan mengatakan ingin meniru model AKP Turki. Ada baiknya juga bila FJP dan partai IM lainnya mulai mendengarkan seruan Erdogan saat berkunjung ke Mesir beberapa waktu lalu untuk menerima bentuk sekuler yang "ramah" agama.
Tentu, sekularisme memiliki varian yang bermacam bentuknya dan tidak semuanya mutlak menepis agama. Di Indonesia, mungkin PKS adalah salah satu bentuk gerakan Post-Islamis.
Pertanyaan cukup krusial yang layak kita tanyakan kepada IM kemudian adalah: apakah kecenderungan mereka untuk bersikap inklusif pada demokrasi hanyalah pragmatisme sesaat ataukah memang sejatinya demikian sehingga ideologi Islam-kafah mereka akan ditinjau ulang?
Apakah jika IM memegang tampuk kepemimpinan nanti (catatan: Abdul Mun'im Abul-Futuh, mantan pemimpin IM, punya reputasi kuat untuk mencalonkan diri sebagai presiden) akan sanggup menahan gelombang partai liberal lainnya dalam koalisi untuk memutuskan kebijakan yang, bisa jadi, menggerogoti idealisme IM?
Tentu, IM bukan hanya memiliki pengaruh di Mesir, melainkan di negara-negara lain di Timur Tengah. Oleh sebab itu, gerakan IM akan menjadi tolok ukur gerakan Islamis lainnya yang sedang membangun kekuatan sebagai antisipasi bila mereka mendapat kesempatan untuk meraih kepemimpinan, seperti di Yaman atau Suriah, yang sekarang masih membara. Bahkan, bukan hanya di Timur Tengah, melainkan perubahan peta politik di Mesir turut andil memengaruhi politik Islam di belahan Asia lainnya, termasuk Indonesia. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar