Rabu, 07 Desember 2011

Difabel dan Konstruksi Ketidakadilan Sosial


Difabel dan Konstruksi Ketidakadilan Sosial
Muhammadun A.S., ANALIS PADA STUDI POLITIK DAN PEMERINTAHAN
PROGRAM PASCASARJANA UIN YOGYAKARTA
Sumber : REPUBLIKA, 7 Desember 2011



Tanggal 3 Desember diperingati sebagai Hari Difabel Internasional. Peringatan ini dimulai sejak 1992. Saat itu, PBB langsung memberikan instruksi kepada seluruh negara anggotanya untuk diadakan setiap tahun. Hal itu dimaksudkan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat bahwa ada yang dilahirkan atau hidup dalam keadaan kurang sempurna karena berbagai alasan, tetapi mereka tetap mempunyai harkat dan martabat sama seperti warga negara lainnya untuk memberikan perhatian serius kepada difabel.

Berdasarkan data WHO tahun 2010, 10 persen dari jumlah penduduk dunia merupakan penyandang cacat, kira-kira mencapai 600 juta jiwa. Di Indonesia, diasumsikan WHO untuk tahun 2011 mencapai 15 persen. Data Kementerian Kesehatan tahun 2010 mencatat jumlah orang dengan kebutuhan khusus di Indonesia mencapai 6,7 juta orang. Tapi, dari jumlah itu, yang terserap di lapangan kerja masih di bawah setengah persennya saja. Di Indonesia, peran kerja untuk mereka yang tak bisa berbicara, tak bisa mendengar, melihat, dan berjalan memang masih seret.

Indonesia telah memiliki perangkat hukum yang memadai dalam rangka melindungi hak-hak difabel, sebagaiman tertera dalam UU No 4 Tahun 1997 dan pasal 41 (2) dan 42 UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM; kelompok penyandang cacat diharuskan memperoleh pelayanan khusus. Artinya, setiap penyandang cacat mempunyai hak untuk mendapatkan pelayanan atau penyediaan fasilitas dan sarana demi kelancaran, kemananan, kesehatan, dan keselamatan dalam aktivitasnya. Ini merupakan tanggung jawab negara untuk memenuhinya. Perlakuan khusus itu dapat berupa aksesibilitas baik berupa sarana kemudahan fisik dan nonfisik yang wajib disediakan oleh pemerintah bagi difabel.

Sayangnya, perlakuan terhadap kaum difabel di Indonesia masih minim. Dalam pendidikan saja, sangat sedikit universitas yang memberikan fasilitas untuk studi kaum difabel. Padahal, Peraturan Pemerintah No 43 Tahun 1998 tentang Upaya Peningkatan Kesejahteraan Sosial Penyandang Cacat dan Rencana Aksi Nasional Sebagai Tindak Lanjut Pemerintah Indonesia dalam Melaksanakan Komitmen Bangsa-Bangsa di Kawasan Asia Fasifik yang disebut Biwako Millineum Framework juga telah disepakati. Mengapa diskriminasi dan ketidakadilan masih lahir di mana-mana?

Inilah yang juga diakui oleh Direktur WHO Etienne Krug (2010) bahwa di semua negara masih ada stigma dan diskriminasi. Masih ada hambatan akses di semua negara, seperti transportasi, bangunan umum, atau akses ke sekolah dan pekerjaan. Akibatnya, menurut studi terbarunya, para difabel cenderung memiliki status kesehatan yang lebih buruk, prestasi pendidikan lebih rendah, kurang terlibat dalam perekonomian, dan tingkat kemiskinan yang lebih tinggi.

Konstruksi Ketidakadilan

Tokoh Indonesia yang berjasa memperjuangkan kaum difabel dengan melakukan perlawanan atas kuasa normalitas adalah almarhum Mansoer Fakih. Dialah yang menamai penyandang cacat dengan nama different ability (difabel), berbeda kemampuan. Bagi Mansoer Fakih, kaum difabel bukanlah cacat, melainkan hanya berbeda kemampuan. Beda kemampuan merupakan anugerah Tuhan, karena setiap manusia memang diciptakan Tuhan dengan berbeda-beda. Tidak ada istilah cacat, tidak normal, dan tidak sempurna. Semua adalah makhluk yang sama yang diberi kemampuan Tuhan yang beragam potensinya.

Perjuangan Mansoer Fakih ini senada dengan seorang difabel bernama Setia Adi Purwanta, yang juga teman seperjuangannya dalam menggelorakan istilah difabel. Mengacu kepada pemikiran Bergerian, Purwanta (2010) menilai bahwa cacat merupakan rekayasa dan konstruksi ketidakadilan sosial yang "sengaja" dibangun melalui sistem kekuasaan, baik kuasa melalui jalur struktural maupun kultural.

Proses pencacatan itu kemudian masuk dalam ruang kesadaran imajiner seluruh lapisan masyarakat, baik di birokrasi, stratifikasi sosial masyarakat, anggota keluarga, maupun individu yang bersangkutan, akhirnya mengakui dengan penuh "paksa" bahwa dirinya adalah cacat. Maka, istilah cacat terjadi dan dibakukan secara hegemonik.

Karena konstruksi sosial itulah, tidak jarang di kepala kita begitu mendengar cacat yang terbayang adalah pengemis, gelandangan, atau manusia tidak berdaya yang dianggap membutuhkan belas kasihan. Dalam tayangan-tayangan televisi difabel bahkan menjadi bahan lelucon atau tertawaan; sosok kerdil yang hanya dijadikan simbol "ketidaknormalan" atau aneh dan janggal. Dampaknya menjadi negatif bagi kehidupan warga negara yang difabel dan tidak terkalkulasi hak-hak mereka oleh parlemen dalam keputusan pembuatan kebijakan. Keberadaan difabel menjadi sesuatu yang harus mereka tanggung sendiri.

Identitas Kebanggaan

Setiap manusia diciptakan secara sempurna oleh Allah, meskipun masing-masing memiliki perbedaan kemampuan dan tugas dalam menjalankan kehidupan. Oleh karena itu, setiap manusia, bagaimanapun kondisi fisiknya, memiliki kesamaan dan kesetaraan hak asasi menyangkut berbagai macam aspek kehidupan, seperti politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Dari sinilah, difabilitas mestinya menjadi identitas kebanggaan yang harus dihargai publik. Difabel mempunyai hak ruang publik yang sama dan setara dengan lainnya, sehingga justru difabilitas menjadi identitas sosial yang makin meneguhkan posisi kaum difabel.

Kalau menggunakan pendekatan postmodern model, difabilitas menjadi identitas sosial yang menyangkut masalah sistem ekonomi, kebijakan, dan prioritasisasi terhadap distribusi sumber daya, soal kemiskinan, pengangguran, dan cara pelayanan publik. Aktor kunci dalam paradigma ini adalah para difabel sendiri, para pembuat kebijakan, lawyer, politikus, pelaku ekonomi, masyarakat umum, jurnalis, aktor film, dan masyarakat. Indikator dari masalah ini adalah tidak meratanya distribusi atau akses teknologi, asistensi terhadap difabel yang masih menggunakan paradigma medik, tidak adanya pencitraan yang baik dalam media massa, dan penempatan difabel dalam pusat rehabilitasi.

Solusi yang bisa ditawarkan dalam menyelesaikan persoalan ini adalah memandang difabel lebih sebagai persoalan sosial, misalnya pengangguran, daripada melihatnya sebagai masalah yang ujung-ujungnya adalah melakukan rehabilitasi terhadap mereka. Agar tawaran penyelesaian dapat menjadi sukses, maka perlu dilakukan beberapa hal, misalnya, pengenalan terhadap komunitas difabel, meningkatkan akses teknologi dan fasilitas umum, pengembangan kapasitas diri dan leadership para difabel, penelitian mendalam tentang aspek sosial difabel, dan melakukan community development terhadap difabel.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar