Mesir
dan Demokrasi Kaum Islamis
Zuhairi Misrawi, ANALIS PEMIKIRAN DAN POLITIK TIMUR TENGAH
Sumber : KOMPAS, 8 Desember 2011
Revolusi
25 Januari 2011 di Mesir telah berhasil melaksanakan dua misi utamanya:
menumbangkan rezim Hosni Mubarak dan melaksanakan pemilihan umum paling
demokratis sejak tahun 1984.
Namun,
hasil pemilihan umum yang digelar pada 28 November itu sangat mencengangkan
banyak pihak karena kubu Islamis berhasil mendulang suara yang relatif
signifikan dalam pemilihan umum parlemen putaran pertama: sekitar 60 persen
suara.
Partai
Kebebasan dan Keadilan yang berafiliasi dengan Ikhwanul Muslimin mendapatkan
36,6 persen suara, sedangkan Partai Nour yang berafiliasi pada kubu salafi
mendapatkan sekitar 24,4 persen suara. Meskipun sekitar dua pertiga rakyat
Mesir belum menentukan pilihan (karena 18 provinsi belum menentukan pilihan
mereka), naiknya elektabilitas kubu Islamis mendapat perhatian luas, baik di
dalam maupun di luar negeri.
Keunggulan
Kubu Islamis
Ada
tiga hal penting yang merupakan penjelas di balik keunggulan kubu Islamis.
Pertama, kemenangan kubu Islamis di bebe- rapa negara Arab pascarevolusi.
Partai Ennahda menang di Tunisia, Partai Keadilan dan Pembangunan berjaya di
Maroko. Kemenangan partai-partai tersebut memberikan amunisi psikologis yang
sangat luar biasa kepada kubu Islamis di Mesir untuk menyongsong kemenangan
pemilihan umum. Bahkan, kubu Islamis diprediksi akan memenangi pemilihan umum
di Libya, Yaman, dan Suriah.
Kedua,
kubu Islamis mempunyai basis massa yang riil. Ikhwanul Muslimin merupakan
gerakan keagamaan yang memiliki akar historis yang kuat. Didirikan pada 1928
oleh Hasan al-Banna, gerakan itu berkembang menjadi kekuatan perlawanan
terhadap Barat dengan ideologi Pan-Islamisme. Meski Ikhwanul Muslimin kerap
kali diperlakukan secara represif oleh rezim Gamal Abdul Nasser, Anwar Sadat,
dan Hosni Mubarak, mereka konsisten dengan program-program pemberdayaan
masyarakat, seperti pelayanan kesehatan, pendidikan, dan aksi filantropis.
Sejak
tahun 1950-an rezim yang berkuasa telah berhasil meredam kekuatan politik
Ikhwanul Muslimin, tetapi harus diakui mereka tak mampu memangkas hubungan
garis vertikal antara Ikhwanul Muslimin dan basis massa. Ikhwanul Muslimin
telah berhasil menggunakan kampus dan masjid sebagai medium untuk konsolidasi
gerakan mereka.
Ketiga,
kubu liberal dan kubu kiri terbukti tak punya basis yang mengakar kuat. Sebelum
pemilihan umum berlangsung, mereka diperkirakan akan memberikan perlawanan yang
serius terhadap kekuatan kubu Islamis karena kekuatan mereka disebut-sebut
sebagai al-aghlabiyyah al-shamitah ”mayoritas diam”.
Salah
satu indikatornya, selama 30 tahun berkuasa, Hosni Mubarak telah berhasil
menanamkan nilai-nilai sekuler bagi rakyat Mesir dengan pandangan keagamaan
yang moderat. Namun, hasil pemilihan umum awal telah menyatakan sebaliknya:
Hosni Mubarak tidak hanya gagal membangun pemerintahan yang demokratis, tetapi
juga gagal membangun ideologi kebangsaan yang meniscayakan kesetaraan dalam prinsip
kewarganegaraan.
Husein
Haikal menggambarkan demokrasi ala Mubarak ibarat kolam ikan yang kering, tak
ada air dan ikan di dalamnya. De- mokrasi tanpa ideologi, sistem, dan
pemerintahan demokratis.
Kini,
demokrasi di Mesir memasuki babak baru. Ikhwanul Muslimin dan kaum salafi
tampil sebagai kekuatan yang meyakinkan dalam panggung politik pascarevolusi.
Meski demikian, Ikhwanul Muslimin sebagai pemenang pemilihan umum tak akan
mudah melaksanakan misinya mengawal demokrasi.
Sejak
pengumuman hasil pemilu putaran pertama, Ikhwanul Muslimin sudah mendapatkan
penolakan dari kaum salafi. Pertentangan kubu Ikhwanul Muslimin dan kaum salafi
bermula pada 1980-an ketika Ikhwanul Muslimin masuk ke ranah politik praktis
dan bermetamorfosis menjadi partai politik. Kaum salafi mengeluarkan fatwa
”kafir” terhadap Ikhwanul Muslimin.
Adapun
kaum salafi pada masa itu memilih setia pada rezim yang berkuasa. Beberapa
tokoh salafi yang menentang keras Ikhwanul Muslimin adalah Abu Ishaq
al-Huwayni, Nasiruddin al-Albani, dan Moqbil al-Wadi’i. Mereka menentang keras
langkah yang diambil Ikhwanul Muslim dalam ranah politik praktis.
”Parlemen
Lapangan Tahrir”
Pertentangan
Ikhwanul Muslimin dengan kaum salafi berlanjut setelah pemilihan umum parlemen
putaran awal. Pasalnya, Ikhwanul Muslimin menegaskan bahwa mereka tak tertarik
dengan isu formalisasi syariat dalam konstitusi baru Mesir.
Mereka
justru akan fokus pada upaya membangun solidaritas kebangsaan dan memperbaiki
sektor ekonomi yang turun drastis sejak revolusi berlangsung. Essam el-Arian
(2011), salah satu tokoh Ikhwanul Muslimin, dalam tulisannya di harian Guardian
menegaskan bahwa pihaknya memilih menjaga momentum demokrasi sebagai jembatan
untuk membangun perekonomian dan merestorasi kekuatan Mesir di dunia Arab.
Bahkan,
Ikhwanul Muslimin menyampaikan ketaktertarikannya pada agenda politik
formalistik kaum salafi. Mereka cenderung memilih melanjutkan koalisi yang
dibangun dengan faksi moderat, liberal, dan kiri dengan payung ”koalisi
demokratis” daripada berkoalisi dengan kaum salafi.
Langkah
yang diambil Ikhwanul Muslimin cukup taktis karena ingin memberikan garansi
kepada kaum muda yang telah berjasa mewujudkan revolusi. Tanpa peran kaum muda
yang berhasil mengguling rezim totaliter Hosni Mubarak, Ikhwanul Muslimin tak
menikmati kue kekuasaan di parlemen.
Maka
dari itu, Ikhwanul Muslimin harus mengikuti kehendak ”parlemen Lapangan
Tahrir”, yang dalam setahun terakhir dimotori kaum muda yang tidak berafiliasi
kepada partai politik tertentu. Salah satu agenda yang harus dijawab oleh
Ikhwanul Muslimin ialah perihal peralihan kekuasaan dari militer ke sipil.
Beberapa
hari sebelum pemilu dilangsungkan, Ikhwanul Muslimin menolak untuk bersama kaum
muda dan memilih untuk mendukung militer. Hal ini menjadi agenda yang harus
mereka perhatikan agar momentum revolusi dan demokrasi mendapatkan dukungan
dari partai politik koalisi demokrasi dan kaum muda.
Pemandangan
ini membuktikan bahwa Ikhwanul Muslimin telah belajar dari pengalaman AKP di
Turki dan Ennahda di Tunisia yang lebih berminat pada upaya menjaga momentum
demokrasi dengan mengedepankan agenda ekonomi daripada agenda ideologis mereka.
Maka
dari itu, Ikhwanul Muslimin tidak akan mendapatkan tentangan dari kalangan
liberal dan kiri, tetapi tentangan serius justru datang dari kaum salafi dan
kaum muda di Lapangan Tahrir.●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar