Kamis, 08 Desember 2011

Menggugat Smart Power Obama

Menggugat Smart Power Obama
Faustinus Andrea, PEMERHATI MASALAH KEAMANAN ASIA PASIFIK, STAF CSIS JAKARTA
Sumber : SINDO, 8 Desember 2011




Dalam acara penggalangan dana politik di Manhattan, Presiden Amerika Serikat (AS) Barack Obama mengatakan “tak ada sekutu yang lebih penting daripada negara Israel” (Reuters,1/12).

Pernyataan ini seolah membantah kenyataan bahwa pemerintahnya selama ini dianggap oleh para pendukungnya terlalu keras terhadap sekutu dekatnya,Israel. Sementara itu, rencana kebijakan penempatan 2.500 prajurit korps marinir AS di Darwin, Australia, mengundang kontroversi banyak kalangan.Meski penempatan pasukan itu dibantah Obama sebagai bagian dari salah satu strategi AS untuk mengantisipasi ketegangan di Laut China Selatan (LCS), publik tidak percaya begitu saja.

Bahkan di sela-sela KTT Asia Timur (EAS) di Bali 3 minggu lalu,pertemuan Obama dengan PM China Wen Jiabao sempat menuai ketegangan. Selain China tidak suka dengan AS atas campur tangan persoalan konflik di LCS, penempatan pasukan itu jelas menambah kecurigaan akan maksud di balik itu. Sebelumnya, Menteri Luar Negeri AS Hillary Clinton ngotot atas perlunya isu LCS masuk dalam topik EAS, tetapi ASEAN menolak.

Publik selalu diingatkan akan cara-cara/strategi politik luar negeri AS dengan ciri khas dan unik,berupa standar ganda. Beberapa pengamat menyebutkan bahwa dasar politik luar negeri AS ialah kepentingan nasional. Singkatnya, apa saja yang menguntungkan dirinya akan diambil, sebaliknya bila merugikan akan dibuang.Timbul kesan,penempatan pasukan marinir AS itu,selain ada kaitan instabilitas di LCS,juga dengan kondisi politik di Myanmar dan soal konflik PT Freeport di Papua.

Dengan jarak 820 km dari Indonesia, dalam hitungan menit pasukan AS di Darwin dapat menjangkau Asia Tenggara dan Samudera Hindia.Ini berarti instabilitas kawasan akan dengan mudah mengundang campur tangan AS. Meski kebijakan AS ini merupakan kebijakan baru terhadap fokus kegiatan militer AS yang mengalihkan dari Irak dan Afghanistan ke Asia dan lebih khusus ke Asia Tenggara,meluasnya keberadaan militer asing di kawasan hanya akan mengandung banyak risiko.

Menurut Menlu Marty Natalegawa, perkembangan ini dapat memprovokasi reaksi dan kontrareaksi, yang dapat menciptakan siklus ketegangan dan ketidakpercayaan atau kesalahpahaman banyak kalangan (SINDO,18/11).Lantas, bagaimana dengan aneka kebijakan smart power AS yang menjadi andalan pemerintah Obama?

Diplomasi Smart Power

Diplomasi smart power pertama kali diperkenalkan Menlu AS Clinton ketika berkunjung ke Indonesia, Februari 2009. Konsep smart power digunakan untuk menyebut strategi kebijakan luar negeri AS ke depan di era pemerintahan Obama. Dalam pandangan Clinton, peran global AS lebih bersifat diplomatis.Konsep ini bermaksud memadukan soft power dan hard power.

Sementara era kepemimpinan Bush lebih mengedepankan kekuatan militer atau hard power dan mengabaikan kepemimpinan berdasarkan pendekatan budaya. Untuk mencapai smart power itu,AS harus menjalankan peran sebagai pemimpin yang melindungi. AS harus memberi perhatian terhadap kebutuhan publik global, menyediakan kebutuhan orang-orang dan pemerintahan di seluruh dunia yang tidak bisa mereka penuhi, mendukung lembaga-lembaga internasional,dst.

Smart power bukanlah ide murni Obama atau Hillary, tetapi merupakan rekomendasi CSIS AS yang kemudian dibukukan dalam bentuk report dengan judul “CSIS Commission on Smart Power: A Smarter, More Secure America”(November,2007).

Standar Ganda AS

Tidak hanya instabilitas kawasan Asia Pasifik, isu tentang kebijakan nuklir dunia selalu mengundang pro-kontra berkepanjangan. Kebijakan Pemerintah AS tentang nuklir,yang dikeluarkan April 2010,sebagai bagian dari strategi Nuclear Posture Review (NPR), mengundang protes Iran dan Korea Utara.Dalam petisi ke Perserikatan Bangsa- Bangsa, kedua negara menuduh AS sebagai penghasut perang dan ancaman perdamaian dunia.

Sementara bagi AS,perubahan kebijakan dan strategi NPR di samping membatasi penggunaan senjata nuklir AS sendiri,juga AS akan memainkan peran sebagai “stabilisator”bagi para sekutunya. Yang dimaksud membatasi penggunaan senjata nuklir pemerintahan Obama,AS tidak akan menggunakan senjata nuklirnya pada negara-negara yang tidak mengembangkan program nuklir dan negara-negara yang mematuhi kesepakatan nonproliferasi nuklir (NPT).

Akan tetapi, kebijakan nuklir Obama itu, bagi banyak kalangan, menunjukkan karakter AS dalam menerapkan standar ganda. Apa yang tercantum dalam kebijakan baru NPR itu bertolak belakang dengan fakta yang terjadi di lapangan.AS mewajibkan negara-negara yang memiliki program nuklir untuk patuh pada kesepakatan NPT, sedangkan AS bersama negara India, Pakistan, dan Israel menolak untuk ikut menandatangani NPT.

AS melarang Iran mengembangkan program nuklir karena takut Iran membuat senjata nuklir, tetapi AS melindungi Israel yang memanfaatkan fasilitas nuklirnya untuk membuat senjata nuklir. Saat ini Israel diyakini memiliki 200 senjata berhulu ledak nuklir. Apa yang digagas pemerintah Obama tentang konsep smart power tidak berlaku bagi diplomasi AS untuk Israel.

Smart Power Obama Tidak Terbukti

Sementara upaya Obama untuk mewujudkan negara Palestina merdeka dinilai masih dalam tataran retorika. Proses perdamaian Israel-Palestina masih jalan di tempat,jauh dari harapan karena dihadang arogansi Israel. Semula Obama menganggap keterlibatannya dalam penciptaan perdamaian Palestina-Israel sebagai sangat penting untuk memperbaiki citra AS di dunia muslim dan menarik negara-negara Arab moderat ke dalam front persatuan dalam menghadapi apa yang disebut musuh-musuh AS seperti Iran.

Janji Obama untuk lebih mengedepankan smart power dengan kehidupan dunia yang lebih adil tidak terbukti.Dalam kebijakan politik luar negeri terhadap dunia Islam, AS acap kali menggunakan kerangka perang terhadap terorisme.

Kini, banyak kalangan menggugat Obama yang menyatakan bahwa diplomasi smart power menjadi garda depan politik luar negeri AS, yang menggunakan semua perangkat untuk bisa memengaruhi— diplomasi,ekonomi, militer, hukum,politik,dan budaya— dalam mendapatkan apa yang diinginkan. Akankah ke depan nurani AS tergugah dengan smart power yang lebih mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan?

Bukankah keputusan UNESCO barubaru ini untuk menerima Palestina sebagai anggota menjadi sebuah pertanda dan kemenangan Palestina dalam pengakuan dan dukungan internasional yang solid? Saatnya smart power Obama diubah smart humanitarian jika tidak ingin masyarakat dunia menggugat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar