ASEAN
Harus Semakin Kohesif
George Savuica, MANTAN
DUTA BESAR ROMANIA DI JAKARTA
Sumber : SINAR HARAPAN, 8 Desember 2011
Pada
November lalu di Bali berlangsung rangkaian KTT ASEAN yang utamanya mencoba
membangun arsitektur kawasan yang baru di Asia Tenggara dan Asia Timur.
Keberhasilan
KTT itu tak lepas dari peran Indonesia sebagai ketua ASEAN selama 2011 ini,
yang mengusung tema “ASEAN in a Global Community of Nations”, dan menelurkan
Bali Concord III.
Ada
dua event yang saya kira penting dalam rangkaian KTT itu. Pertama, pada
KTT itu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) meluncurkan Bali Concord III
yang akan menjadi semangat partisipasi dan kontribusi ASEAN untuk mencapai
dunia yang lebih damai, makmur, dan demokratis.
Dengan
itu Indonesia ingin membawa ASEAN ke tingkat yang lebih tinggi melalui usulnya
memakai suatu platform ASEAN untuk berbagai isu global.
Lalu
event kedua adalah KTT Asia Timur ke-6 (East Asia Summit/EAS), yang
untuk pertama kalinya AS dan Rusia ikut berpartisipasi, sehingga jumlah peserta
meningkat dari 16 menjadi 18 negara.
Pada
pertemuan itu dikeluarkan Deklarasi KTT Asia Timur mengenai Prinsip-prinsip
Hubungan yang Saling Menguntungkan (Declaration on East Asia on the Principles
for Mutually Beneficial Relations).
Kehadiran
kedua negara besar itu mengundang berbagai komentar dan analisis dari aspek
ekonomi dan politik, yang pada umumnya menyambut kehadiran mereka sebagai dua
pilar baru untuk perwujudan arsitektur keamanan baru dynamic equilibrium (keseimbangan
yang dinamis).
Konsep
tersebut dikembangkan Indonesia dalam upaya menjamin perdamaian dan stabilitas
dalam proses mengintegrasikan Asia Timur dengan Asia Tenggara.
Dalam
pandangan saya, konsep dynamic equilibrium dapat dikonsolidasikan lebih
lanjut dengan mengajak Uni Eropa. Tentunya kalau tidak bisa langsung, bisa
didahului dengan mengadakan kerja sama dalam kerangka Asia Europe Meeting
(Asem) dan EAS.
Dalam
pandangan saya, kerja sama itu dapat didasarkan pada prinsip Deklarasi EAS, di
mana negara-negara yang terkait ingin meningkatkan kerja sama yang saling
menguntungkan.
Baik
sebelum maupun sesudah EAS, diyakini partisipasi AS itu demi meminimalkan
penguatan pengaruh China di Asia Timur dan seluruh kawasan. Meski pandangan itu
bukannya tanpa dasar, sebaiknya hal itu tidak membawa kita semua kembali kepada
retorika Perang Dingin.
Kehadiran
AS itu lebih baik dilihat sebagai partisipasi pentingnya dalam upaya
pengintegrasian Asia Timur dan Tenggara, atau Komunitas Asia Timur dengan
Komunitas ASEAN. Berbagai pemangku kepentingan diharapkan mau bekerja sama, dan
bukan malah saling bertengkar sendiri.
Faktor
Pengimbang
SBY
mengatakan kita beruntung untuk pertama kalinya hubungan antara negara-negara
besar saat ini ditandai suasana damai, stabil, dan kerja sama. Namun berbagai
pusat kekuatan baru kini bermunculan, dan hubungan antarkekuatan itu kini
berubah dan semakin cair.
Dengan
demikian, sangatlah penting kalau hubungan antarkekuatan yang tumbuh tersebut
tidak mengarah pada ketegangan strategis yang baru, atau persaingan yang
mengguncang stabilitas, atau lebih buruk lagi: konflik.
Sebaliknya,
hubungan-hubungan itu harus mengarah pada peningkatan saling percaya, kerja
sama, dan bahkan integrasi, demikian menurut presiden, ketika berbicara di APEC
CEO Summit, di Hawaii, 12 November lalu.
Sebaliknya,
kerja sama keamanan menjadi pilihan untuk kawasan ini. KTT ASEAN dan EAS
menghasilkan pemikiran positif ke arah itu.
Peran
ASEAN sebagai kekuatan pendorong pada seluruh proses membangun arsitektur
kawasan pada kenyataannya merupakan faktor pengimbang di Asia Timur dan
Tenggara, khususnya pada hari-hari ini ketika negara-negara besar hadir di
kawasan tersebut. Hal itu merupakan prestasi diplomatik yang penting bagi
Indonesia sebagai tuan rumah dan anggota ASEAN lainnya.
Memang
diperbincangkan sampai berapa lama peran itu dapat dipertahankan. Ini karena,
misalnya, ada beberapa anggota ASEAN berhasil digaet AS untuk bergabung dalam
perjanjian Trans-Pacific Partnership (TPP), yakni Brunei Darussalam, Malaysia,
Singapura, dan Vietnam, bersama-sama Australia, Cile, Selandia Baru, dan Peru.
Karena
itu, apakah peran ASEAN akan panjang atau tidak, tergantung apa yang dilakukan
perhimpunan tersebut. Dengan demikian perwujudan Komunitas ASEAN 2015 dengan
tiga pilarnya dan strategi pasca-2015 menjadi sangat penting.
Perkuat
Kohesi ASEAN
Dalam
konsep EAS yang lebih luas, bila ASEAN benar-benar ingin memelihara peran
sentralnya, ia perlu memperkuat kohesi internal dan harus bermanfaat bagi para
anggotanya.
Haruslah
dipertimbangkan agar ASEAN bekerja lebih keras menyelesaikan agenda-agenda
kawasan. Harus jelas masalah-masalah apa yang menjadi prioritas meski itu
sangat pelik, khususnya bila terkait harus memihak kepada siapa.
Saya
sependapat dengan pandangan Rizal Sukma dari CSIS bahwa ASEAN perlu menerapkan
mekanisme sanksi dalam penerapan berbagai agendanya. Lalu topik lain yang
penting adalah internasionalisasi atau tidak masalah Laut China Selatan (LCS).
Dalam
pengamatan saya, salah satu prinsip Deklarasi KTT Asia Timur adalah perlunya
menghormati hukum internasional. Saya kira terkait isu LCS kecenderungannya masalah
tersebut diinternasionalisasikan.
Pada
saat yang sama juga digarisbawahi prinsip tidak campur tangan dalam persoalan
internal negara lain dan menahan diri menggunakan kekerasan terhadap negara
lain, sesuai dengan Piagam PBB. Dengan begitu, konsep dynamic equilibrium sudah
bekerja di situ.
Belum
tentu keputusan untuk internasionalisasi atau tidak masalah LCS akan memancing
kontroversi.
Namun
keputusan itu akan sangat terkait dengan pertanyaan: apakah akan menerima atau
menolak kehadiran kekuatan dari luar kawasan sebagai bagian dari solusi? Saya
tidak mendukung internasionalisasi masalah LCS. Pendekatan bilateral dan
kawasan mungkin jauh lebih baik. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar