MENYAMBUT
INDONESIA 2012
Mencontoh
Semangat Sabar Gorky-Nelson Tansu
Sumber
: SINDO, 19 Desember
2011
Ditengah berbagai persoalan
kebangsaan yang belum terselesaikan,ada secercah optimisme yang dibawa kaum
muda. Mereka adalah juara,mereka memberikan contoh,dan mereka meraih kebanggaan
dalam usia yang masih muda.
Munculnya tokoh-tokoh muda berprestasi di berbagai bidang turut memberikan angin segar di tengah karutmarut yang terjadi di negeri ini.Ternyata,di luar masalah korupsi atau masalah kesejahteraan yang hingga kini belum terselesaikan,ada hal-hal lain yang bisa membawa Indonesia pada sebuah pencerahan. Kita bangga kepada anakanak muda yang meraih medali emas Olimpiade Sains Internasional.
Kita juga bangga kepada para olahragawan muda kebanggaan nasional seperti petinju Chris John,32,atau pembalap GP3 Series Rio Haryanto,18,yang berhasil mengharumkan nama Indonesia di kancah internasional. Mereka bagai oase di tengah-tengah kondisi masyarakat yang merasa kering atas kebanggaan sebagai sebuah bangsa.
Salah satunya adalah Sabar Gorky yang berhasil menembus puncak Gunung Elbrus di Rusia dan menaklukkan puncak Gunung Kilimanjaro di Tanzania hanya dengan satu kaki! Mungkin tidak ada yang menyangka, seorang penyandang difabel (different ability) mampu mendaki sampai puncak gunung di tengah dinginnya suhu di bawah nol derajat. Namun,Gorky mampu membuktikannya.
Gunung Elbrus adalah satu dari 7 puncak gunung tertinggi di dunia (Seven Summit) dan merupakan puncak tertinggi di Eropa.Bertepatan dengan HUT RI ke-66 yang lalu,pria 43 tahun itu berhasil menancapkan Merah Putih di puncak gunung berketinggian 5.642 mdpl tersebut. Pria kelahiran 9 September 1968 yang menggeluti dunia petualangan sejak 1985 ini tiba di puncak Elbrus yang saat itu bersuhu minus 15 derajat Celsius.
Kang Sabar,sapaan Sabar Gorky,yang kehilangan kaki kanan akibat kecelakaan kereta api pada 1996 itu disebut-sebut menjadi tunadaksa pertama yang berhasil menapak di puncak Elbrus.Namanya pun disejajarkan dengan pendaki legendaris Elbrus lain seperti dua pendaki berkaki lumpuh, Vladimir Krupennikov (1997) dan Yakov London dari Rusia (2001),termasuk “si buta” Erik Weihenmayer dari Amerika Serikat (2002) yang juga menjadi orang buta pertama yang sukses menggapai puncak tertinggi di dunia, Everest pada 25 Mei 2001.
Perjalanan Sabar bersama tim tidaklah mudah.Sehari sebelum mencapai puncak,dia bersama tim harus menghadapi badai salju.Kondisi ini membuat stamina Sabar terkuras. Beberapa kali dia terjatuh dan terus berusaha meraih tongkatnya yang terlepas. Pantang menyerah.Itulah prinsip yang dipegang Sabar untuk terus melangkahkan kakinya.Karena kegigihan itu pula dia berhasil mencapai puncak Elbrus.
Karena kegigihannya mencapai puncak Elbrus, Sabar pun mendapat nama Gorky di belakang namanya. Dalam sejarah Rusia,Gorky berarti pahit atau perjalanan hidup yang berliku.Nama ini terinspirasi dari pujangga Alexey Maximovich Peshkov yang mendapat panggilan baru Maxim Gorky alias “Maxim yang hidupnya pahit”.
Tak hanya sukses menggapai puncak gunung Elbrus, Sabar pun berhasil menapakkan kaki di Gunung Kilimanjaro,Tanzania,pada 13 November 2011.Lagi-lagi, Sabar disebut-sebut menjadi tunadaksa pertama yang menginjakkan kaki di puncak tertinggi di Afrika (5.895 m dpl) tanpa bantuan orang lain. Kisah anak-anak muda Indonesia lainnya turut memberikan warna cerah terhadap bangsa ini.Misalnya kegemilangan Nelson Tansu.
Pria kelahiran Medan ini membawa harum nama Indonesia karena prestasinya di bidang akademis. Dia berhasil mendapatkan gelar doktor di Universitas Lehigh,Amerika Serikat,dalam usia yang masih sangat muda,yakni 25 tahun. Pada usia 32 tahun,dia diangkat sebagai profesor. Kini,sepak terjang profesor muda itu semakin gencar.Berbagai karya ilmiahnya banyak dipublikasikan jurnal-jurnal internasional.
Tiga temuannya di bidang semiconductor nanostructure optoelectronics devices dan high power semiconductor laserspun mendapat 11 penghargaan. Temuannya tersebut mampu memberdayakan sinar laser dengan listrik superhemat. Inspiratif karena Nelson tidak meraih prestasinya dengan mudah,melainkan melalui kerja keras memperoleh beasiswa. Semasa kecil dia sangat terinspirasi kedua orang tuanya.
Terutama ayahnya yang seorang pekerja keras. Sang ayah mengajari pentingnya memiliki dedikasi tinggi, fokus, komitmen, kerja keras, dan ketekunan untuk mewujudkan cita-cita. Pelajaran berharga itulah yang akhirnya membawa Nelson Tansu sukses menggapai cita-citanya di AS. Nelson adalah salah satu profesor termuda di negeri adidaya itu.
“Ibu adalah orang yang mengajari saya nilai kejujuran, keluarga, moralitas, dan kesabaran dalam menjalani hidup,” ujar Nelson seperti dilansir forwardunder40.com. Sebagai anak muda yang tumbuh di Indonesia,pria kelahiran Medan,Sumatera Utara,20 Oktober 1977 ini sejak kecil bercita-cita menjadi profesor bidang sains dan rekayasa (engineering). Putra pasangan Iskandar Tansu dan Auw Lie Min itu pun mampu mewujudkannya.
Lulusan terbaik SMA Sutomo 1 Medan yang pernah menjadi finalis tim Indonesia di Olimpiade Fisika itu mengawali jalan untuk meraih mimpi ketika berusia 17 tahun. Dia diterima sebagai mahasiswa di Universitas Wisconsin, Madison, AS. Hanya dalam waktu 2 tahun 9 bulan dia meraih gelar sarjana pada bidang matematika aplikasi (applied mathematics, electrical engineering and physics/AMEP) dengan predikat summa cum laude.
Kemudian Nelson meraih gelar master pada bidang yang sama dan meraih gelar doktor (PhD) di bidang electrical engineering pada usia 26 tahun. Orang tuanya hanya membiayai hingga sarjana (strata-1) saja.Selebihnya, dia dapat dari beasiswa hingga meraih gelar doktor. Sejak mahasiswa Nelson bekerja dengan beberapa kelompok penelitian. Berbagai pengalaman inilah yang menuntun dia menggarap penelitian tugas doktoral dengan Profesor Luke J Mawst.
Tesis doktoralnya mendapat penghargaan sebagai The 2003 Harold A Peterson Best ECE Research Paper Award, mengalahkan 300 tesis doktoral lain. Saat ini Nelson menjadi visiting professor di 18 perguruan tinggi dan institusi riset. Dia juga aktif diundang sebagai pembicara di berbagai event internasional di AS, Kanada, Eropa, dan Asia.
Indonesia layak bangga atas kesuksesan Nelson yang didapat dengan komitmen tinggi dan bekerja keras. Menurut suami Adela Gozali ini,kunci suksesnya adalah kecerdasan,kerja keras,dan ketekunan. Sedikit contoh kecil di atas membuktikan Indonesia masih boleh optimistis untuk menjadi bangsa yang besar. ● (wiendy hapsari/ esti setiyowati/ yani andriansyah)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar