Memperkuat
Undang-Undang KPK
Roby Arya Brata, ANALIS
ANTIKORUPSI, HUKUM, DAN KEBIJAKAN
Sumber
: KORAN TEMPO, 2 Desember 2011
Bagian
Pertama
Ketidakmampuan Komisi Pemberantasan Korupsi
menangani kasus korupsi akbar (grand corruption), seperti kasus Bank
Century, cek pelawat, dan Wisma Atlet, secara
adil, tuntas, serta obyektif terus menuai sinisme
publik. Apabila hal ini dibiarkan, kepercayaan publik (public trust),
yang krusial bagi eksistensi dan efektivitas kinerja KPK, akan terus menurun. Tanpa
tindakan yang strategis dan komprehensif, masyarakat suatu saat nanti akan
memandang KPK tidak berbeda dengan institusi
penegak hukum lain yang korup, tidak memiliki
kredibilitas, dan tidak berdaya memberantas korupsi.
Tapi ketidakberdayaan KPK tersebut
sesungguhnya (sebagian) disebabkan oleh kelemahan kebijakan (policy defects)
Undang-Undang KPK Nomor 30 Tahun 2002.
Karena itu, revisi dalam arti penguatan
undang-undang itu adalah suatu keniscayaan.
Sebagai perbandingan, undang-undang yang
mendirikan Komisi Independen Antikorupsi (Independent Commission Against Corruption
atau ICAC) Hong Kong, yang
menjadi model komisi antikorupsi di banyak negara,
termasuk Indonesia, telah mengalami beberapa kali perubahan. Begitu juga dengan
ICAC Act 1988, yang mendirikan ICAC New South Wales (Australia).
Tulisan ini mengusulkan revisi untuk memperkuat
UU KPK. Bagian pertama membahas kelemahan (Undang-Undang) KPK. Bagian terakhir
mendiskusikan mekanisme akuntabilitas, penguatan fungsi pencegahan, dan
penindakan KPK (preventive and investigative power).
Kelemahan
Kelemahan mendasar KPK, sebagaimana tersirat
dalam diktum menimbang UU KPK, adalah sifat ad hoc dari KPK itu sendiri.
KPK didirikan karena “lembaga pemerintah yang menangani perkara tindak pidana korupsi
belum berfungsi secara efektif dan efisien dalam memberantas tindak pidana
korupsi”. Artinya, KPK tidak diperlukan lagi atau dibubarkan bila lembaga pemerintah
itu, dalam hal ini kepolisian dan kejaksaan, sudah berfungsi dengan efektif dan
efisien dalam memberantas korupsi.
Hal ini tentu saja membuka peluang bagi kekuatan
korup menggalang kekuatan politik
di eksekutif ataupun legislatif untuk membubarkan
KPK kapan saja. Mereka bisa saja beralasan KPK tidak diperlukan lagi, karena
kepolisian dan kejaksaan telah “berfungsi dengan baik”, atau beralasan KPK
justru telah “mengganggu berfungsinya sistem peradilan pidana dalam suatu negara
hukum”. Sifat ad hoc KPK juga dapat menimbulkan ketidakpastian masa
depan dan ketidaktenangan pegawai KPK dalam bekerja.
Karena itu, dalam berbagai tulisan saya berdasarkan
pengalaman berbagai negara yang berhasil memberantas korupsi, saya mengusulkan
agar KPK ditetapkan sebagai
institusi independen permanen dalam
pemberantasan korupsi, meskipun kepolisian dan kejaksaan telah berfungsi dengan
baik.
Bahkan, dalam tulisan saya,“(Sekali Lagi) Menyelamatkan
KPK!”(Koran Tempo, 26 Agustus 2011), karena peran KPK yang sangat besar
dan strategis bagi berfungsinya
demokrasi dan pemerintahan, the rule of
law, kesejahteraan rakyat, dan kemajuan serta eksistensi bangsa dan negara,
saya berpendapat KPK hendaknya ditetapkan menjadi lembaga konstitusional (constitutional
body) seperti halnya Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial. Dengan
mengamendemen Undang-Undang Dasar 1945 menjadi UUD antikorupsi, seperti UUD Thailand,
KPK dengan fungsinya yang strategis seperti penyidikan dan penuntutan, termasuk
penyadapan, hanya dapat dibubarkan dengan referendum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar