Rabu, 21 Desember 2011

Masa Depan Bernama Indonesia


Masa Depan Bernama Indonesia
Donny Gahral Adian, DOSEN FILSAFAT POLITIK UI
Sumber : KOMPAS, 21 Desember 2011


Sejarah tidak pernah beringsut secara linier. Evolusi senantiasa disertai oleh involusi. Ada kemajuan sekaligus kemunduran. Tidak terkecuali Indonesia. Sejak Reformasi 1998, sudah banyak kemajuan yang dicatat republik ini. Demokratisasi menjanjikan kebebasan sipil dan politik yang merupakan barang langka sebelumnya.

Ekonomi mencatat pertumbuhan yang cukup konsisten. Pemberantasan korupsi berjalan cukup lumayan. Pendeknya, segenap indikator makro mewartakan kabar gembira.

Namun, di balik gempita kemajuan makro, selalu terselip berbagai kisah orang kecil dan kalah. Indikator makro tidak dapat menjelaskan mengapa nelayan di sentra produksi ikan nasional, seperti di Bagansiapi-api, tetap miskin. Indikator kemajuan demokrasi tidak dapat menjelaskan mengapa orang sulit sekali mendirikan tempat ibadah. Diskursus pembangunan senantiasa berfokus pada pencapaian-pencapaian raksasa dan gagal memeriksa nasib mereka yang paling tidak beruntung.

Diktum Pertumbuhan

Pertumbuhan, apa pun kata sifat yang disandangnya, mengandaikan sejarah yang berlangsung linier. Masa depan bukan rahasia, melainkan angka, peringkat, atau rating. Masa depan bukan negativitas yang membikin kita berfokus pada ketidakmungkinan. Dia adalah kemungkinan yang dijemput dengan strategi, langkah, atau rencana. Dengan kata lain, diktum pertumbuhan melihat masa depan sebagai realisasi atau misrealisasi dari rencana.

Republik pun jadi kumpulan rencana demi memenuhi indikator kinerja kunci. Sejarah adalah buatan rencana kerja Presiden. Sementara rencana kerja Presiden bertumpu pada diktum pertumbuhan. Tengok saja pidato Presiden di DPR setiap tanggal 16 Agustus. Presiden senantiasa menyampaikan apa saja yang sudah dicapai berdasarkan diktum pertumbuhan. Patokan kemajuan yang paling sering disebut pertumbuhan ekonomi. Indonesia termasuk negara dengan pertumbuhan ekonomi stabil (6,5 persen) di tengah krisis yang melanda Eropa dan Amerika.

Pertumbuhan ekonomi Indonesia ditopang oleh pasar domestik yang cukup besar dengan kelas menengah yang terus bertambah. Singkat kata, pertumbuhan ekonomi ditopang oleh konsumsi. Konsumsi membutuhkan pasokan, dari mana pun datangnya.

Sebab itu, Indonesia membuka diri seluas-luasnya bagi modal asing. Modal asing membuka lapangan pekerjaan, yang artinya daya beli. Buat apa menolong nelayan lokal apabila industri pengalengan ikan dapat bernapas melalui impor ikan.

Pertumbuhan hanya berfokus pada kenaikan konsumsi serta bagaimana menjaga agar pasokan stabil dan daya beli kuat. Indonesia saat ini sedang harap-harap cemas agar dapat memperoleh peringkat investment grade di 2012. Peringkat itu bakal membuat Indonesia kian kinclong di mata investor asing. Peringkat tersebut menjanjikan peluang besar bagi Indonesia untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi dan memperbaiki kesejahteraan rakyat.

Masa depan Indonesia tidak lebih dari kumpulan angka dan peringkat. Namun, angka dan peringkat itu bukan masa depan mereka yang miskin. Nasib orang miskin hanya tergantung pada efek berantai dari naiknya jumlah investasi asing.

Angka dan peringkat adalah masa depan bagi mereka yang berkocek tebal sehingga mampu membeli surat berharga. Angka dan peringkat adalah masa depan para pemodal asing yang berniat menanamkan duitnya di republik ini.

Masa Depan tanpa Masa Depan

Sejarah yang dipersepsi sebagai yang bergerak maju memiliki masalah. Kita pun tersedot perhatiannya pada segala sesuatu yang positif dan terukur. Sementara gerak sejarah tak hanya menghasilkan kemajuan positif, tetapi juga jejak-jejak negatif.

Sejarah sebagai dialektika positif membuat kita lalai memeriksa negativitas. Negativitas bukan isyarat perbaikan. Dia bukan got mampat dan banjir yang dapat diperbaiki secara struktural. Negativitas adalah lonceng abadi yang menyabot perhatian kita bahwa masa depan adalah ketidakmungkinan bagi sebagian orang.

Pertumbuhan senantiasa menyoroti pencapaian positif di masa depan. Sementara negativitas bersembunyi di dalam kekinian yang buram. Dia bersemayam di dalam kisah orang-orang yang berkesusahan.

Nelayan Bagansiapi-api adalah negativitas itu. Bayangkan! Setelah 12 jam melaut, nelayan di sana hanya mampu memperoleh ikan senangin sekitar 15 kilogram dengan harga jual Rp 320.000. Dengan penghasilan tersebut, keuntungan yang diperoleh hanya Rp 120.000. Setiap nelayan pun memperoleh Rp 40.000. Uang sebesar itu hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari. Tabungan tidak ada dan masa depan pun menjadi deus absconditas bagi para nelayan tersebut.

Pertumbuhan senantiasa menyoroti pentingnya pasokan. Saat nelayan Bagansiapi-api dan juga sebagian besar nelayan lainnya gagal memasok industri pengalengan ikan, impor ikan pun dibuka lebar. Semua itu dilakukan demi mengejar angka pertumbuhan ekonomi.

Kita tidak pernah berpikir tentang masa depan nelayan yang hidupnya ”senin-kamis”. Masa depan adalah pidato Presiden di depan DPR yang membeberkan berbagai capaian ekonomi makro. Kita berharap kenaikan produksi tembakau di sentra tembakau seperti di Jawa Timur. Namun, kita tidak peduli nilai tukar petani tembakau yang ditekan para tengkulak. Kenaikan produksi tembakau adalah masa depan tengkulak, bukan petaninya.

Saya memang sinis dengan upaya mengukur masa depan. Bulat lonjong republik ini di tahun 2012 tidak dapat diserahkan kepada indikator-indikator makro dalam diktum pertumbuhan. Namun, tidak berarti masa depan sama sekali tanpa ukuran. Bagi saya, masa depan bukan angka dan peringkat. Masa depan diukur berdasarkan perubahan radikal koordinat ketidakmungkinan mereka yang tidak beruntung. Perubahan radikal ini tidak teraba di dalam indikator-indikator makro. Dia hanya teraba di dalam militansi politik yang berpihak kepada mereka yang tidak bermasa depan.

Kemajuan republik ini tidak disandarkan pada jumlah modal asing yang masuk atau peringkat utang. Dia diukur berdasarkan sejauh mana nelayan Bagansiapi-api dapat menabung sehingga memiliki masa depan. Sejauh mana jaminan sosial membikin orang miskin penderita penyakit kronis tetap memiliki harapan. Indonesia, singkat kata, adalah masa depan bagi semua, bukan segelintir orang. Indonesia adalah masa depan bagi dia yang tidak bermasa depan.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar