Selasa, 20 Desember 2011

Loyalitas TNI dan Faktor Geopolitik

Loyalitas TNI dan Faktor Geopolitik
Sayidiman Suryohadiprojo, MANTAN GUBERNUR LEMHANNAS
Sumber : KOMPAS, 20 Desember 2011


Dalam tulisan berjudul ”Modal Geopolitik Kita” di Kompas (2/12/2011), Christianto Wibisono menyatakan bahwa TNI terbukti tidak loyal melaksanakan politik konfrontasi yang ditetapkan Presiden Soekarno.

Dikatakan tak loyal terhadap politik pemerintahnya merupakan tuduhan amat berat bagi setiap tentara, khususnya bagi TNI yang berpedoman pada Sapta Marga. Benarkah tuduhan yang ditujukan kepada TNI ini? TNI dapat dikatakan tak loyal menjalankan politik konfrontasi pemerintah jika TNI tak menjalankan usaha yang mendukungnya secara konkret.

Kenyataannya, TNI telah menempatkan banyak pasukan di Sumatera dan Kalimantan untuk memberikan tekanan fisik kepada Malaysia dan Singapura yang waktu itu masih menjadi bagian dari Malaysia. Bahkan, sudah dimulai dengan penyusupan ke wilayah Malaysia oleh satuan-satuan tertentu. Akibat dari usaha itu, di Pulau Jawa hampir tak ada lagi satuan tempur TNI AD.

Gerakan satuan keluar daerah pangkalan dilakukan dengan tertib dan bersemangat tinggi sekalipun banyak yang harus meninggalkan keluarga dalam kondisi ekonomi serba berat. Sama sekali tak ada tanda dan bukti TNI tak melakukan tugas-tugasnya secara setengah hati.

Memang setelah masalah Irian Barat selesai, banyak yang mengharapkan TNI, khususnya TNI AD, melakukan konsolidasi. Sebab, sejak 1945 hingga masalah Irian Barat selesai tahun 1962, TNI AD tak pernah bebas menjalankan operasi militer. Maka secara fisik dan organisasi TNI perlu melakukan konsolidasi. Apalagi kondisi ekonomi bangsa makin buruk yang membuat kehidupan para anggota TNI cukup berat.

Akan tetapi, perasaan itu sama sekali tak mengurangi semangat menjalankan tugas ketika harus berangkat lagi dalam rangka konfrontasi terhadap Malaysia. Maka salah sekali pernyataan Christianto Wibisono (CW) dan sepatutnya ia minta maaf kepada para anggota TNI yang telah ia tuduh tak bersikap loyal kepada pemerintah. Kedua, CW menyatakan dalam tulisannya bahwa korban pembantaian PKI 1965 lebih besar daripada korban rakyat pribumi oleh penjajahan kolonial Belanda. Pernyataan ini dibuat CW tanpa ada data statistik yang dapat dipercaya. Pendapat ini sangat meremehkan korban rakyat Indonesia di Aceh, Sumatera Barat, Jawa, Bali, Kalimantan, Sulawesi, hingga Indonesia timur sejak Belanda menancapkan kuku kolonialnya di bumi Indonesia. Apakah CW memang sadar apa yang dialami bangsa Indonesia selama dijajah Belanda selama 300 tahun?

Bahwa telah jatuh korban banyak tahun 1965 tak dapat disangkal, tetapi mengatakan bahwa korban selama penjajahan Belanda tak seberapa dibandingkan jumlah korban tahun 1965 benar-benar menunjukkan kurangnya kesadaran atas penjajahan yang telah terjadi Indonesia. Jelas sikap demikian menghasilkan pendapat menyesatkan serta dapat memengaruhi rakyat generasi sekarang dan mendatang.

Menguntungkan Asing

Hal ketiga yang perlu disanggah dalam tulisan itu adalah pendapat bahwa elite Indonesia gagal mengaplikasikan dan mengoptimalkan faktor geopolitik Indonesia. Atau mereka paham, tetapi tak rela mengakui terobosan kapitalisasi dan maksimalisasi modal geopolitik oleh pemerintahan SBY. Pertama, jauh dari jelas siapa yang CW maksud sebagai elite Indonesia. Sebab, cukup banyak kaum terpelajar di Indonesia yang paham sekali akan geopolitik dan menerapkan pemahaman itu dalam pengabdiannya kepada negara.

Kedua, CW mengabaikan banyak aspek dalam geopolitik Indonesia dan yang diutamakan aspek yang bersifat antarnegara atau internasional. Padahal, Wawasan Nusantara merupakan aspek yang amat penting dalam geopolitik Indonesia. Dan politik pemerintah kurang sekali mengoptimalkan Wawasan Nusantara bagi kesejahteraan dan keamanan bangsa Indonesia.

Cabotage, yaitu politik yang mengharuskan komunikasi dan angkutan dalam negeri hanya menggunakan produk buatan Indonesia, mempekerjakan orang yang dididik di Indonesia, dan lain-lain, tak dilakukan pemerintah. Beda sekali dengan politik negara lain, khususnya AS yang secara keras melakukannya. Dan berbagai hal lain yang belum pernah dioptimalkan pemerintah.

Bahwa sekarang banyak pihak luar negeri memuji-muji Indonesia dalam menjalankan politik luar negerinya justru disebabkan kondisi Indonesia amat menguntungkan bagi pihak luar negeri. Politik RI sekarang menguntungkan AS, China, dan lainnya, tetapi justru kurang menguntungkan bangsa Indonesia sendiri.

Seperti politik ketahanan pangan yang sama sekali tak memihak bangsa sendiri. Sembarang produk diimpor dan tak diusahakan diproduksi di dalam negeri. Ketergantungan Indonesia terhadap impor produk luar negeri menjadi bahan tertawaan orang asing yang mendapat keuntungan dari politik demikian.

Padahal, politik luar negeri yang tidak didukung oleh kondisi dalam negeri yang kuat mantap adalah semacam show business tak bermakna dan justru merugikan bangsa Indonesia. Politik luar negeri RI sekarang tak lepas dari politik pencitraan yang memang menjadi kesukaan Presiden SBY. Mungkin masih ada hal lain dalam tulisan itu yang merupakan pendapat menyesatkan, tetapi tiga hal ini yang paling menonjol dan menyesatkan.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar