Loyalitas
TNI dan Faktor Geopolitik
Sayidiman Suryohadiprojo, MANTAN GUBERNUR LEMHANNAS
Sumber : KOMPAS, 20 Desember 2011
Dalam tulisan berjudul ”Modal Geopolitik
Kita” di Kompas (2/12/2011), Christianto Wibisono menyatakan bahwa TNI terbukti
tidak loyal melaksanakan politik konfrontasi yang ditetapkan Presiden Soekarno.
Dikatakan tak loyal terhadap politik
pemerintahnya merupakan tuduhan amat berat bagi setiap tentara, khususnya bagi
TNI yang berpedoman pada Sapta Marga. Benarkah tuduhan yang ditujukan kepada
TNI ini? TNI dapat dikatakan tak loyal menjalankan politik konfrontasi
pemerintah jika TNI tak menjalankan usaha yang mendukungnya secara konkret.
Kenyataannya, TNI telah menempatkan banyak
pasukan di Sumatera dan Kalimantan untuk memberikan tekanan fisik kepada
Malaysia dan Singapura yang waktu itu masih menjadi bagian dari Malaysia.
Bahkan, sudah dimulai dengan penyusupan ke wilayah Malaysia oleh satuan-satuan
tertentu. Akibat dari usaha itu, di Pulau Jawa hampir tak ada lagi satuan
tempur TNI AD.
Gerakan satuan keluar daerah pangkalan
dilakukan dengan tertib dan bersemangat tinggi sekalipun banyak yang harus
meninggalkan keluarga dalam kondisi ekonomi serba berat. Sama sekali tak ada
tanda dan bukti TNI tak melakukan tugas-tugasnya secara setengah hati.
Memang setelah masalah Irian Barat selesai,
banyak yang mengharapkan TNI, khususnya TNI AD, melakukan konsolidasi. Sebab,
sejak 1945 hingga masalah Irian Barat selesai tahun 1962, TNI AD tak pernah
bebas menjalankan operasi militer. Maka secara fisik dan organisasi TNI perlu
melakukan konsolidasi. Apalagi kondisi ekonomi bangsa makin buruk yang membuat
kehidupan para anggota TNI cukup berat.
Akan tetapi, perasaan itu sama sekali tak
mengurangi semangat menjalankan tugas ketika harus berangkat lagi dalam rangka
konfrontasi terhadap Malaysia. Maka salah sekali pernyataan Christianto
Wibisono (CW) dan sepatutnya ia minta maaf kepada para anggota TNI yang telah
ia tuduh tak bersikap loyal kepada pemerintah. Kedua, CW menyatakan dalam
tulisannya bahwa korban pembantaian PKI 1965 lebih besar daripada korban rakyat
pribumi oleh penjajahan kolonial Belanda. Pernyataan ini dibuat CW tanpa ada
data statistik yang dapat dipercaya. Pendapat ini sangat meremehkan korban
rakyat Indonesia di Aceh, Sumatera Barat, Jawa, Bali, Kalimantan, Sulawesi,
hingga Indonesia timur sejak Belanda menancapkan kuku kolonialnya di bumi Indonesia.
Apakah CW memang sadar apa yang dialami bangsa Indonesia selama dijajah Belanda
selama 300 tahun?
Bahwa telah jatuh korban banyak tahun 1965
tak dapat disangkal, tetapi mengatakan bahwa korban selama penjajahan Belanda
tak seberapa dibandingkan jumlah korban tahun 1965 benar-benar menunjukkan
kurangnya kesadaran atas penjajahan yang telah terjadi Indonesia. Jelas sikap
demikian menghasilkan pendapat menyesatkan serta dapat memengaruhi rakyat
generasi sekarang dan mendatang.
Menguntungkan
Asing
Hal ketiga yang perlu disanggah dalam tulisan
itu adalah pendapat bahwa elite Indonesia gagal mengaplikasikan dan
mengoptimalkan faktor geopolitik Indonesia. Atau mereka paham, tetapi tak rela
mengakui terobosan kapitalisasi dan maksimalisasi modal geopolitik oleh
pemerintahan SBY. Pertama, jauh dari jelas siapa yang CW maksud sebagai elite
Indonesia. Sebab, cukup banyak kaum terpelajar di Indonesia yang paham sekali
akan geopolitik dan menerapkan pemahaman itu dalam pengabdiannya kepada negara.
Kedua, CW mengabaikan banyak aspek dalam
geopolitik Indonesia dan yang diutamakan aspek yang bersifat antarnegara atau
internasional. Padahal, Wawasan Nusantara merupakan aspek yang amat penting
dalam geopolitik Indonesia. Dan politik pemerintah kurang sekali mengoptimalkan
Wawasan Nusantara bagi kesejahteraan dan keamanan bangsa Indonesia.
Cabotage, yaitu politik yang mengharuskan
komunikasi dan angkutan dalam negeri hanya menggunakan produk buatan Indonesia,
mempekerjakan orang yang dididik di Indonesia, dan lain-lain, tak dilakukan
pemerintah. Beda sekali dengan politik negara lain, khususnya AS yang secara
keras melakukannya. Dan berbagai hal lain yang belum pernah dioptimalkan
pemerintah.
Bahwa sekarang banyak pihak luar negeri
memuji-muji Indonesia dalam menjalankan politik luar negerinya justru
disebabkan kondisi Indonesia amat menguntungkan bagi pihak luar negeri. Politik
RI sekarang menguntungkan AS, China, dan lainnya, tetapi justru kurang
menguntungkan bangsa Indonesia sendiri.
Seperti politik ketahanan pangan yang sama
sekali tak memihak bangsa sendiri. Sembarang produk diimpor dan tak diusahakan
diproduksi di dalam negeri. Ketergantungan Indonesia terhadap impor produk luar
negeri menjadi bahan tertawaan orang asing yang mendapat keuntungan dari
politik demikian.
Padahal, politik luar negeri yang tidak
didukung oleh kondisi dalam negeri yang kuat mantap adalah semacam show
business tak bermakna dan justru merugikan bangsa Indonesia. Politik luar
negeri RI sekarang tak lepas dari politik pencitraan yang memang menjadi
kesukaan Presiden SBY. Mungkin masih ada hal lain dalam tulisan itu yang
merupakan pendapat menyesatkan, tetapi tiga hal ini yang paling menonjol dan
menyesatkan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar