Jinakkan
Bom (Waktu) di Cengkareng
Chappy Hakim, CHAIRMAN, CSE AVIATION
Sumber : KOMPAS, 20 Desember 2011
Tahun 1962 dikenal suatu badan yang bernama
Depanri, kependekan dari Dewan Penerbangan Republik Indonesia. Ketuanya Menteri
Pertama Indonesia Ir H Djuanda dan sekretarisnya dari Angkatan Udara, RJ
Salatun.
Salah satu lingkup dari kegiatan Depanri
adalah ”Pengembangan Kebijakan Kedirgantaraan Nasional”. Pada era itulah,
sampai lebih kurang tahun 1980-an, arah perkembangan industri penerbangan
nasional tampak dalam konsep dan konteks yang jelas.
Tanggung jawab untuk mengembangkan
penerbangan domestik rute utama dan penerbangan internasional diserahkan kepada
Garuda Indonesian Airways. Di tangan Garuda inilah kehormatan, kebanggaan,
serta promosi angkutan udara bangsa Indonesia dipertaruhkan.
Dipimpin
Ahlinya
Garuda dipimpin oleh pilot kawakan bernama
Wiweko, penerbang Asia pertama yang pernah seorang diri menembus Samudra
Pasifik (dari Auckland, Amerika Serikat ke Jakarta) dengan pesawat terbang.
Maka, Wiweko mampu menangani penerbangan secara total.
Sebagai pilot, dia tahu kapan saatnya membeli
banyak pesawat sekaligus mempersiapkan sumber daya manusianya. Wiweko tidak
hanya mendiskusikan pilihan pesawat terbang yang cocok untuk negara kepulauan
kita dengan pabrik pesawat terkemuka, tetapi juga merancang desain kokpit
pesawat yang spektakuler sepanjang sejarah.
Wiweko mengubah jumlah awak kokpit jadi hanya
dua orang (two men forward facing crew cockpits). Desain ini semula ditentang
habis-habisan oleh otoritas penerbangan Amerika Serikat (Federal Aviation
Administration/FAA), tetapi kini justru jadi standar baku desain kokpit pesawat
angkut internasional. Saat itu, Garuda sang pembawa bendera melesat maju di
angkasa Asia, Eropa, dan bahkan pernah sampai Amerika Serikat.
Di dalam negeri, sebagai negara kepulauan
terbesar di dunia, moda angkutan udara menjadi sarana sangat penting dalam
pengelolaan negara dalam konteks pembangunan dan pemerataan pembangunan.
Pemerintah mulai menembus isolasi pada
daerah-daerah terpencil dengan memanfaatkan penerbangan Angkatan Udara yang
saat itu menyelenggarakan Dinas Angkutan Udara Militer (DAUM). Ini yang
dilanjutkan maskapai penerbangan Merpati yang melayani rute-rute domestik
selaku penerbangan perintis.
Di bawah kepemimpinan antara lain Marsda TNI
Santoso, Merpati Nusantara sukses mengelola penerbangan perintis di kawasan
Indonesia timur terutama Papua dan Maluku dengan pesawat kecil Twin Otter
buatan Kanada. Berkembang pula berbagai maskapai penerbangan lain, menopang kebutuhan
angkutan udara Indonesia yang memang tidak mungkin ditangani Garuda dan Merpati
saja.
Paralel dengan itu, Kementerian Perhubungan
dengan Akademi Penerbangan Indonesia (API) secara reguler menghasilkan para
penerbang, teknisi, dan juga tenaga air traffic control (ATC) sesuai kebutuhan.
Pembangunan pelabuhan-pelabuhan udara juga
terus berlangsung di berbagai daerah, termasuk rencana pembangunan
Soekarno-Hatta International Airport di Cengkareng. Itulah semua gambaran masa
lalu dari dunia penerbangan kita yang sangat berorientasi pada pengembangan
bidang aviasi secara profesional, tidak semata-mata pertimbangan komersial.
Berubah
Arah
Lima belas tahun sampai dua puluh tahun
terakhir terjadi perubahan sangat signifikan dalam penyelenggaraan angkutan
udara nasional. Hal tersebut bukan saja akibat pesatnya kemajuan teknologi
penerbangan, melainkan juga pertumbuhan arus pergerakan orang dan barang di
dunia, termasuk Indonesia.
Sayang, fenomena ini hanya dihayati sebagai
gejala pertumbuhan ekonomi dan atau finansial sehingga orang berlomba-lomba
mendirikan maskapai penerbangan. Tanpa latar belakang pengetahuan penerbangan,
orang mengelola maskapai penerbangan seperti usaha di bidang niaga semata,
terutama dalam menghadapi persaingan usaha yang ketat. Maka, kemungkinan
terjadinya pelanggaran aturan dan ketentuan yang berlaku menjadi sangat besar.
Pada kondisi yang terkonsentrasi hanya pada
upaya mencari keuntungan belaka ini—ditambah dengan adanya berbagai
pelanggaran—yang terjadi adalah hal-hal yang sangat merugikan khalayak konsumen
pengguna jasa angkutan udara.
Masalah dimulai dari meningkatnya maskapai
penerbangan yang berkorelasi dengan pengadaan pesawat dalam jumlah besar dan
waktu relatif singkat. Dampaknya adalah kedodorannya sarana pendukung
penerbangan. Pilot, teknisi, tenaga ATC, inspektur penerbangan, dan tenaga
kerja bidang aviasi menjadi defisit. Demikian pula sarana infrastruktur
penerbangan seperti bandara, alat bantu navigasi, radar pengawas lalu lintas
udara, pesawat kalibrasi, dan alat komunikasi yang menjadi jauh dari memadai.
Itulah yang kita saksikan sekarang.
Penambahan luar biasa dari maskapai penerbangan dan pengadaan besar-besaran
pesawat terbang tidak seirama dengan rencana pengadaan sumber daya manusia
serta pengembangan infrastruktur penerbangan. Saat ini dapat dikatakan bahwa
hampir semua bandara mengalami kelebihan kapasitas dan hampir semua maskapai
”kekurangan” pilot dan teknisi. Ini masih ditambah dengan Kementerian
Perhubungan yang kekurangan inspektur penerbangan.
Pembinaan penerbangan di Indonesia telah
berubah orientasi dari industri aviasi sebagai bagian dari pembangunan nasional
menjadi sekadar ”cari untung”. Tentu saja arah ini membahayakan karena unsur
keamanan terbang terabaikan. Konsekuensinya adalah meningkatnya peluang terjadinya
kecelakaan pesawat terbang.
Mencari
Solusi
Dari uraian di atas, sudah waktunya untuk
mengkaji ulang kondisi ini dan melihat apakah peran suatu institusi sejenis
Depanri pada zaman dulu dikembalikan lagi ke kancah penataan penerbangan
nasional di Indonesia. Dengan sumber daya manusia dan infrastruktur yang
tersedia, apakah tidak sebaiknya kita hanya memiliki 4-5 maskapai penerbangan
yang jelas visi dan misinya bagi rakyat banyak di negara kepulauan ini.
Perlu pengaturan ulang mana maskapai yang
ditugaskan untuk rute domestik terbatas dan internasional dan mana yang harus
mengembangkan penerbangan perintis. Jenis pesawat apa dan dalam jumlah berapa
yang memang sangat diperlukan untuk rute internasional, domestik, dan perintis.
Tidak sekadar mendorong maskapai mengadakan pesawat besar dalam jumlah ratusan
tetapi tanpa tujuan jelas.
Demikian pula pertimbangan yang menyeluruh
dari antisipasi penyiapan infrastruktur dan sumber daya manusia, termasuk
petugas ATC, tidak boleh luput dari perhatian. Penerbangan nasional memang
butuh penataan ulang secara komprehensif, yang tidak hanya berorientasi pada
pola mencari keuntungan semata. Hanya dengan cara itu kita semua bisa kembali
berharap: bom waktu yang kini tengah bergulir di Bandar Udara Soekarno-Hatta
dapat segera dijinakkan. Mudah-mudahan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar