Selasa, 20 Desember 2011

Krisis Korea Pasca-Kim Jong-il


Krisis Korea Pasca-Kim Jong-il
Makmur Keliat, PENGAJAR ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL, FISIP, UNIVERSITAS INDONESIA
Sumber : SINDO, 20 Desember 2011


Spekulasi tentang perjalanan krisis Semenanjung Korea setelah meninggalnya Kim Jong-il tampaknya sangat dipengaruhi oleh kuatnya arus pemikiran liberal di tataran internasional.

Dari perspektif kalangan liberal, krisis Semenanjung Korea merupakan contoh dari konflik identitas antara dua negara dan sistem politik yang berbeda. Krisis Semenanjung Korea dirumuskan kalangan liberal sebagai konflik antara rezim politik yang tidak demokratis yang terwakili oleh Korea Utara versus rezim politik demokratis yang diwakili Korea Selatan. Bagi kalangan liberal, terdapat keyakinan yang kuat bahwa krisis menuju perang terbuka dapat dicegah jika kedua Korea sama-sama menganut sistem politik yang liberaldemokratis, dikenal dengan tesis democratic peace.

Dalam produk kebijakan,turunan dari pemikiran seperti ini adalah adanya penekanan yang terlalu besar pada faktor personal, khususnya pada aspek kepemimpinan nasional. Kematian seorang pemimpin politik puncak di negara otoriter, seperti dalam kasus Korea Utara,dipandangpenuhdengan ketidakpastian.Ketidakpastian ini dapat berarti memperburuk situasi krisis yang tengah berlangsung atau sebaliknya dapat dipandang membawa dampak positif untuk mewujudkan perdamaian.Situasi apa yang muncul akan sebagian besar ditentukan oleh watak dan karakter kepemimpinan yang menggantikan KimJong-il.

Itulah sebabnya spekulasi krisis Korea kembali merebak setelah meninggalnya Kim Jong-il. Analisis seperti ini juga digunakan oleh kalangan liberal untuk menyatakan mengapa pergantian kepemimpinan di Korea Selatan yang demokratik itu tidak dipandang memberikan kontribusi bagi krisis Semenanjung Korea. Diasumsikan oleh kalangan liberal bahwa negara demokratik seperti Korea Selatan memiliki pelembagaan politik yang lebih baik. Sirkulasi elite kepemimpinan nasionalnya diyakini tidak memberikan guncangan politik karena faktor personal kepemimpinan nasional berperan minor atau tidak memainkan peran vital dalam mengendalikan krisis.

Ringkasnya, jika pergantian presiden di Korea Selatan memiliki prediktabilitas politik yang tinggi, pergantian di Korea Utara dianggap sangat rawan dengan risiko politik. Tesis pemikiran liberal ini memiliki beberapa keterbatasan. Pertama, tesis democratic peacecenderung untuk menyudutkan Korea Utara dalam opini media internasional.

Kedua, tesis ini membatasi pembahasan krisis semenanjung Korea pada dua identitas politik nasional yang berbeda yaitu sebatas antara Korea Utara yang komunis dan Korea Selatan yang demokratik.Ketiga, konsekuensi lainnya dari tesis ini adalah ia juga cenderung untuk mengabaikan faktor objektif dari dimensi regional dan internasional yang sangat mewarnai konflik di Semenanjung Korea.

Kepentingan di Semenanjung Korea

Adalah merupakan fakta yang sukar dibantah bahwa sebagai akibat dari kuatnya tesis democratic peace ini,komunitas internasional memiliki kecenderungan untuk terjebak dalam strategi soft balancing.Strategi ini pada intinya adalah mengasingkan Korea Utara dari kerja sama regional dan internasional. ASEAN tampaknya secara tidak “sadar” juga telah terjebak dalam strategi soft balancing yang dipopulerkan oleh kalangan liberal.Walau Korea Utara merupakan bagian dari wilayah Asia Timur dan juga telah menandatangani Treaty of Amity and Cooperationjauh sebelum AS,Australia dan Rusia,namun hingga kini negara itu tidak menjadi bagian dari forum kerja sama East Asia Summit.

Di samping itu, ada dua negara yang sangat berkepentingan terhadap krisis di Semenanjung Korea. Kedua negara itu adalah China dan Amerika Serikat (AS). Kepentingan strategisChinaterhadapKoreaUtara pertama-tama adalah sebagai strategic buffer zone. Bagi China,Korea Utara dapat berfungsi sebagai guard post untuk mengamati pergerakan tentara Amerika Serikat di wilayah perbatasan antara Korea dan China yang sepanjang 1.400 km itu. Bagi China, fungsi Korea Utara sebagai guard post ini memberikan manfaat karena negeri itu dapat lebih memfokuskan diri pada isu Taiwan.

Dengan kata lain,terdapat persepsi ancaman yang sama antara Korea Utara dan China terhadap Amerika Serikat. Itu pula sebabnya,China tidak merasa terancam ketika Korea Utara disebutkan memiliki kemampuan untuk pengembangan senjata nuklir. Ini kembali menegaskan tesis bahwa persepsi ancaman yang menentukan daripada perbedaan struktur kapabilitas militer antar negara. Sejauh menyangkut isu nuklir, China menyatakan ia tidak berada dalam posisi untuk melakukan tekanan terhadap Korea Utara untuk menghilangkan pengembangan senjata nuklirnya yang telah dilakukan selama 20 tahun.

Bagi China, pertimbangan strategis Korea Utara untuk memiliki senjata nuklir dapat dipahami mengingat kehadiran Amerika Serikat yang berstatus sebagai negara nuklir (nuclear power) di Korea Selatan. Namun, China juga menyatakan bahwa negeri itu tidak menyetujui program pengembangan nuklir Korea Utara. Sikap China yang “mendua” ini yang menyebabkan China mendukung resolusi Dewan Keamanan PBB 1718 yang hanya memberikan “sanksi terbatas” (sebatas material yang terkait dengan WMD) kepada Korea Utara dan sekaligus menolak memberikan “sanksi komprehensif” (sanksi ekonomi dan keuangan).

Karena kepentingan strategisnya terutama terletak pada fungsi buffer zone, terdapat insentif strategis yang sangat minimal bagi China untuk mendukung Korea Utara untuk mewujudkan perang terbuka.China harus berpikir sangat serius jika ingin mendukung Korea Utara dalam perang terbuka. Dari sisi insentif ekonomi, perang Korea akan dapat mengancam kesinambungan pertumbuhan ekonomi China. Mustahil bagi China untuk mewujudkan ambisinya sebagai suatu trading nationterbesar di dunia,jika jalur lalu lintas laut (sea lanes of communication) di kawasan menjadi tidak aman karena perang Korea.

Kepentingan strategis AS di Korea adalah untuk melakukan “pembendungan” (containment) terhadap kebangkitan China di masa depan.Kehadiran tentara AS di Korea Selatan merupakan bagian dari strategi “hard balancing” yang riil,yang diterapkan oleh negeri itu langsung berbatasan dengan wilayah perimeter keamanan China.

Ringkasnya, krisis Semenanjung Korea dalam derajat tertentu juga merupakan turunan dari perhitungan strategis objektif dan rasional antara Amerika Serikat dan China.Krisis Semenanjung Korea tidak bisa sematamata diprediksi dari meninggalnya Kim Jong-il.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar