LAPORAN AKHIR TAHUN 2011
Daerah
Terbius Kepentingan Sesaat
Sumber : KOMPAS, 16 Desember
2011
Mendongkrak pendapatan daerah. Itulah ambisi
semua pemerintah kota, kabupaten, dan provinsi selama beberapa tahun terakhir.
Sikap ini positif, tetapi dalam banyak kasus
selama 2011 upaya itu menyisakan persoalan serius bagi daerah, yakni kehancuran
komoditas andalan rakyat dan makin meluasnya kerusakan lingkungan. Kasus yang
cukup menonjol adalah maraknya penambangan pasir besi, seperti di Provinsi
Bengkulu, Jawa Barat, dan Nusa Tenggara Timur. Di semua lokasi penambangan,
masyarakat menolak kehadiran investor karena diyakini hanya memiskinan mereka.
Namun, para pemodal pantang mundur karena telah mengantongi izin usaha
pertambangan (IUP) yang diterbitkan pemerintah daerah setempat.
Kasus sejenis tampak pula di Kabupaten Muara
Enim, Provinsi Sumatera Selatan. Di sana, banyak bermunculan perusahaan swasta
dengan mengantongi IUP batubara. Lokasi penambangan yang diperoleh bukan hanya
hutan, melainkan juga dalam perkebunan karet rakyat dan rumah warga.
Penambangan batubara pun kian marak dan kerusakan lingkungan makin tak
terkendali. Lubang-lubang berdiameter belasan meter dengan kedalaman sekitar 10
meter tersebar di sejumlah lokasi.
Bahkan, di Kabupaten Muaro Jambi, Provinsi
Jambi, muncul pula industri penimbunan batubara. Industri ini berkembang tanpa
kendali hingga ke zona inti kompleks percandian Muaro Jambi. Jelas akan
mengancam keberadaan situs peninggalan Melayu kuno tersebut.
Sekitar 8.000 petani telah menjadi penggali
batubara, tukang ojek, dan sopir truk pengangkut. Satu lokasi galian
menghasilkan sekitar 1.500 karung batubara per hari. Bisa dibayangkan kerusakan
lingkungan yang membayangi usaha rakyat tersebut.
Lain lagi di Provinsi Bangka Belitung. Daerah
tersebut sejak awal abad ke-19 memiliki lada putih yang telah mendunia. Hingga
akhir 1990-an, lada dari Bangka paling disukai konsumen dunia, terbukti
menguasai 80 persen dari total kebutuhan di pasar dunia. Akan tetapi, selama
satu dekade terakhir, suplai lada dari bangka turun tajam. Tahun 2010,
misalnya, volume ekspor hanya 4.334,5 ton dari total kebutuhan di pasar dunia
sekitar 100.000 ton. Penurunan itu tidak lepas dari menyusutnya lahan budidaya
lada akibat ekspansi penambangan timah dan perkebunan kelapa sawit.
Berbagai Dalil
Dengan berbagai dalil, pemerintah daerah
selalu menyatakan, semua yang dilakukan sebagai upaya menyejahterakan
masyarakat, menambah pendapatan asli daerah, dan lainnya. Jika demikian,
mengapa kebijakan itu menimbulkan resistensi di kalangan masyarakat?
Dari kasus-kasus ini menunjukkan pemerintah
daerah kurang mengenal secara baik kekuatan ekonomi lokal yang bisa digerakkan
untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Mereka cenderung terbius
tawaran-tawaran jangka pendek dari para pemodal yang ingin berinvestasi tanpa
peduli dampak kehancuran lingkungan dan risiko lain yang bakal menimpa warga.
Kasus tersebut juga membuktikan bahwa
sejumlah pemerintah daerah tidak punya konsep jelas dan terarah dalam menggali
dan menggerakkan ekonomi lokal. Ketika menyaksikan daerah lain berhasil
membudidakan komoditas tertentu, mereka pun langsung ingin meraih sukses dengan
komoditas sama.
Itu terbukti di Bangka Belitung. Meski lada
putih telah menjadi komoditas unggulan dan memakmurkan masyarakat setempat,
pemerintah setempat kurang memedulikan. Mereka lebih tergiur kelapa sawit.
Padahal, hingga kini belum ada komoditas asal Indonesia yang mampu menguasai 80
persen pasar dunia, kecuali lada putih dari Bangka.
Pengabaian terhadap lada di Bangka Belitung
sungguh nyata. Perkebunan kelapa sawit pada tahun 2004, misalnya, hanya 2.507
hektar, tahun 2010 telah 42.657 ha. Sebaliknya, tanaman lada yang tahun 2004
seluas 45.797 ha, pada 2010 tersisa 36.372 ha. Krisis lada sulit terhentikan
karena antusiasme pemilik modal untuk menanam sawit di Bangka begitu tinggi.
Di Kabupaten Tulang Bawang, Provinsi Lampung,
atas nama perluasan lahan sawit, kawasan gambut seluas 600 ha di Rawa Pacing,
Menggala, Tuba, yang menjadi habitat burung rawa dikorbankan. Aksi penolakan
warga sama sekali tidak dipedulikan. Pemerintah setempat nyaris tidak bersuara.
Kondisi ini membuat kita bertanya: untuk
siapa pembangunan dilakukan? Benarkah demi kesejahteraan masyarakat atau ada
motif keuntungan pribadi pihak tertentu di balik kebijakan itu?
Bukan rahasia lagi pemilihan langsung kepala
daerah selama ini memaksa calon mengeluarkan ongkos miliaran rupiah. Dana itu
bukan semata dari modal pribadi, melainkan subsidi dari berbagai pihak,
termasuk pemodal besar. Setelah berkuasa, pejabat bersangkutan mencari cara
untuk membalas jasa para sponsor.
Memasuki 2012, praktik semacam ini bakal
terulang lagi. Maka, semua pihak yang terkait harus bangkit melawan praktik
kebijakan ekonomi sesaat yang mengatasnamakan rakyat. ●
(Jannes Eudes Wawa/ Irma
Tambunan/Yulvianus Harjono/Kris Razianto Mada)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar