Negara
Centeng
Tamrin Amal Tomagola, SOSIOLOG
Sumber : KOMPAS, 20 Desember 2011
Mendadak senyap mencengkeram dan mata menatap
tak percaya ketika di layar kaca muncul tayangan mengerikan, awal minggu lalu.
Inikah Indonesia?
Lidah kelu dan banjir air mata ini akhirnya
menjadi kemarahan luar biasa melihat bentrokan vertikal yang sungguh tidak
pantas: kelompok bersenjata membantai rakyat di Mesuji, Lampung.
Di manakah empat pilar negara yang dibangga-banggakan
itu? Ke mana Pancasila dicampakkan? Masih ingatkah prajurit TNI/Polri akan
Sapta Marga, Sumpah Prajurit, dan Tri-Brata Polri?
Di manakah Anda, Panglima Tertinggi TNI,
Kapolri, dan jajarannya, yang sudah mendapat perintah dari Mukadimah UUD 1945
untuk melindungi seluruh Tanah Air dan segenap rakyat Indonesia? Apakah Anda
semua tidak tahu, pura-pura tidak tahu, atau memilih tidak mengintervensi
proses hukum walau ketidakberadaban berlangsung sistematis dan sistemis?
Tampak jelas bahwa konstitusi sudah
diabaikan, bahkan dilanggar (constitutional violation by omission) oleh
penyelenggara pemerintahan itu sendiri. Negara, khususnya aparat bersenjata,
justru berperan sebagai centeng modal (Wibowo, Negara Centeng; Negara dan
Saudagar di Era Globalisasi, 2010:106). Mereka sudah kehilangan rasa malu dan
martabat sebagai pelindung negeri dan rakyat.
Menjual
Indonesia?
Sejak wilayah Nusantara dibagi-bagi pada awal
Orde Baru kepada para kapitalis dunia, tiada hari tanpa konflik horizontal dan
vertikal. Perebutan areal pertanahan, baik di kota maupun di pedesaan, menjamur
di mana-mana. Di perkotaan, suatu persekongkolan sistemis antara otoritas
perkotaan dan para pengusaha pusat-pusat perbelanjaan modern (mal) menggusur
kelompok miskin-kota dari lahan yang telah ditempati puluhan tahun. Prosesnya
bisa dengan halus ataupun dengan kekerasan menggunakan satuan polisi pamong
praja.
Pembuatan jaringan jalan tol antarkota pusat
perdagangan pun banyak memakan korban rakyat kecil. Hampir dalam semua kasus
kekerasan pertanahan di perkotaan, pemerintah kota selalu berpihak kepada
pemilik modal, sampai rumah ibadah dan sekolah pun dialihfungsikan.
Di wilayah pedesaan setali tiga uang.
Pemerintah Indonesia di berbagai jenjang, dengan segenap aparat negara
bersenjata, memihak kepada kepentingan modal. Konflik penuh kekerasan
berkecamuk di antara segitiga kelompok kepentingan: pengusaha perkebunan yang
berselingkuh dengan perangkat pemerintahan—eksekutif, legislatif, dan
yudikatif—melawan rakyat komunitas adat yang mempertahankan hidup-mati hak
ulayat atas tanah leluhur mereka.
Kawasan
konflik
Andiko (dalam Myrna A Safitri, Untuk Apa
Pluralisme Hukum, 2011:57) menyajikan peta persebaran konflik antara perkebunan
kelapa sawit dan komunitas adat lokal. Jelas terlihat bahwa wilayah bagian
selatan Sumatera yang meliputi Jambi, Lampung, dan Sumatera Selatan adalah
wilayah yang paling pekat ditaburi titik-titik hitam konflik pertanahan dengan
kekerasan sejak Orde Baru. Elizabeth Fuller Collins (Indonesia Betrayed, 2007)
menguraikan lebih rinci komposisi anatomi konflik-konflik di wilayah ini,
terkait sebab-musabab makro-struktural, meso-institusional, dan
mikro-interaktif.
Inti pokok persoalan adalah pengkhianatan
negara terhadap Indonesia, baik sebagai Tanah dan Air maupun sebagai rakyat.
Pengkhianatan berlangsung bertahap dan berjenjang. Pertama, amandemen UUD 1945
yang jika ditilik secara cermat adalah upaya memfasilitasi keleluasaan gerak
investasi dan operasional modal. Hasil empat kali amandemen UUD 1945 sangat
telak bersikap pro-modal.
Kedua, DPR merancang ulang seperangkat
perundang-undangan yang berhubungan dengan penguasaan hutan, tanah, serta usaha
perkebunan dan pertambangan. Negara mendaku bahwa ia adalah pemilik sah
satu-satunya semua hutan, tanah, air, dan lautan Nusantara.
Hak ulayat tanah, kegiatan pertanian, dan
penangkapan ikan di seluruh wilayah Indonesia harus mendapat izin dari otoritas
yang mendapat mandat undang-undang. Hukum adat dengan segala perangkat dan
kekayaan komunitas adat dirampas atas nama hukum. Terjadi penyeragaman hukum
secara nasional, bahkan mahkamah adat di Mahkamah Agung pun dihapus.
Para pembuat undang-undang tidak mau
menyadari bahwa sebelum negara ini lahir, telah bersemayam dengan damai
komunitas-komunitas adat dengan semua perangkat kelembagaan mereka. Adalah
tidak pantas, yang datang belakangan melenyapkan yang sudah ada berabad-abad.
Ketiga, aparat negara bersenjata kemudian
dikerahkan atau dalam beberapa kasus di Sulawesi Tengah dan Tenggara serta di
Pulau Seram mengerahkan diri untuk ”mengemban tugas nasional mengamankan
instalasi strategis negara”. Maka aparat pun menjadi centeng-centeng tebal muka
yang menghamba kepada pemilik modal. Inilah inti akar permasalahan kekerasan di
Mesuji, Lampung.
Solusi
Rakyat yang putus asa karena terus dikerasi
tanpa hati—khususnya generasi muda seperti almarhum Sondang Hutagalung—terpuruk
dalam kekecewaan terhadap pengkhianatan negara dengan seluruh perangkatnya.
Maka bakar diri adalah solusi untuk membangunkan elite pengkhianat ini. Bagi
rakyat Mesuji dan rakyat Kulawi di Sulteng, lawan adalah mantra sakti yang
mereka tekadkan.
Jelas, jalan kekerasan tidak ditoleransi
dalam masyarakat beradab hukum ataupun beradat Nusantara. Solusi ke akar
masalah harus segera diupayakan.
Pertama, bentuk Tim Independen Pencari Fakta
dengan tidak mengikutkan pihak Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian
Kehutanan, ataupun TNI dan Polri. Semua instansi ini adalah bagian dari
masalah, bukan solusi.
Kedua, mengakui komunitas adat dan
mengakomodasi ketentuan hukum adat dalam sistem hukum nasional. Ketiga,
memberlakukan moratorium pembukaan perkebunan kelapa sawit baru dan
pertambangan.
Hal serupa juga diminta Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono sewaktu mengkritik bahasan dan usulan Lemhannas. Semoga
menciptakan damai di Bumi Pertiwi. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar