Kita
Butuh “Kegilaan” Abraham dan BW
Bambang Soesatyo, ANGGOTA KOMISI III DPR RI/FRAKSI PARTAI
GOLKAR
Sumber : SINDO, 6 Desember 2011
Kasus Century dengan bukti-bukti
yang lebih dari cukup juga tidak bergerak maju. Kita tampak seperti
perang-perangan saja dalam pemberantasan korupsi. Padahal Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono (SBY) berulang-ulang mengatakan, dia akan hunus pedang dan
pimpin sendiri perang melawan korupsi.
Namun,realitas yang terjadi: hanya perangperangan, pedang-pedangan, tapi korupsinya beneran! Kita ini seperti berada dalam suatu negara dengan pemimpin yang tidak hanya cerdas dalam berpidato dan gagah dalam penampilan, tapi juga santun dalam berkorupsi.Akibatnya rakyat tertipu dan korupsi tetap merajalela. Untuk mengatasinya harus ada langkah- langkah luar biasa dari pemangku kekuasaan dan penegak hukum,khususnya KPK.
Prioritas kerja pimpinan baru KPK adalah memulihkan independensi KPK dan kompak menangkal upaya kooptasi oleh pihak-pihak tertentu. Agenda kerja yang satu ini sangat berat.Akan ada upaya memperlemah posisi kepemimpinan KPK dengan cara mencari-cari dan mengungkit kesalahan yang mungkin pernah dilakukan di masa lalu.
Selain itu, pimpinan KPK juga harus selalu waspada dan patuh pada etika, karena akan muncul banyak perangkap yang bisa direkayasa untuk memperlemah posisi setiap figur pimpinan KPK. Kita ingatkan pimpinan baru KPK untuk belajar dari pengalaman buruk yang pernah menimpa beberapa figur pimpinan KPK sebelumnya. Pengalaman mereka sangat berharga dan mahal.
Kepemimpinan mereka menjadi tidak efektif karena ketidakpatuhan pada etika kepemimpinan. Kepemimpinan sebelumnya relatif lemah karena ada figur yang terperangkap dalam beberapa masalah yang direkayasa pihak tertentu. Perjuangan mantan Ketua KPK Antasari Azhar dan para kuasa hukumnya untuk bebas dari dakwaan terlibat pembunuhan berencana barangkali bisa memberi gambaran tambahan tentang perilaku kekuasaan menyikapi sepak terjang KPK.
Seandainya Antasari benar-benar hanya menjadi korban rekayasa kasus pembunuhan itu, kemenangannya tidak otomatis memulihkan independensi dan nyali KPK. Menurut persepsi publik,KPK tak lagi bernyali setelah Antasari dijadikan pesakitan. Dan, publik mafhum bahwa hanya kekuasaan dan kekuatan besar yang bisa mengubah status Ketua KPK menjadi pesakitan.
Formasi baru kepemimpinan KPK di satu sisi berhasil menumbuhkan harapan baru, tetapi di sisi lain menimbulkan kemarahan dan kegelisahan pihak-pihak tertentu yang merasa tidak bersih dari perilaku korup. Kemarahan dan kegelisahan mereka akan dikompensasi dengan upaya mengooptasi atau memperlemah KPK. Hal inilah yang harus disadari dan diwaspadai pimpinan baru KPK.
Beban pimpinan baru KPK pun bertambah berat karena publik menunggu realisasi janji-janji tentang pelaksanaan proses hukum sejumlah kasus besar yang saat ini direkayasa menghadapi kebuntuan.Antara lain skandal Bank Century dan kasus cek pelawat dalam pemilihan deputi gubernur senior (DGS) Bank Indonesia tahun 2004,Wisma Atlet SEA Games, Hambalang,dan lain-lain.
Pekerjaan berat yang langsung dihadapi saat ini adalah menyikapi pendapat publik tentang kejanggalan dakwaan terhadap Muhammad Nazaruddin dalam kasus dugaan suap proyek pembangunan Wisma Atlet SEA Games Palembang. Publik merasa aneh karena dugaan keterlibatan beberapa nama dan seorang menteri dalam kasus ini tidak disinggung dalam dakwaan terhadap Nazaruddin.
Khusus kasus-kasus ini kita perlu “kegilaan” darah muda Abraham Samad sebagai ketua KPK yang baru dan kegarangan Bambang Widjojanto untuk tidak tunduk pada intervensi kekuasaan, baik dari Istana maupun dari Senayan.
Perilaku Kekuasaan
Jika kekuasaan bersih,KPK pasti kuat dengan sendirinya. Sebaliknya, kalau penuh noda korupsi,kekuasaan akan memperlemah KPK dengan kekuatan dan kewenangannya. Sangat mudah untuk dimengerti bahwa konsistensi atau kuat-lemahnya KPK hanya bergantung pada satu faktor, yakni perilaku kekuasaan itu sendiri.
Kekuasaan yang bersih sudah pasti membutuhkan KPK yang kuat, konsisten, dan independen.Kekuasaan akan diuntungkan oleh produktivitas KPK memerangi perilaku korup penyelenggara pemerintahan, baik di pusat maupun daerah. Apa jadinya kalau kekuasaan itu sendiri kotor akibat noda korupsi di semua lini kewenangan?
Sudah pasti kekuasaan itu akan gelisah, takut pada bayang-bayang dan mencari ragam cara untuk membangun rasa aman saat terkini maupun di kemudian hari.Kalau kekuasaan itu menggenggam wewenang kontrol atas semua institusi penegak hukum, cara paling instan adalah mempreteli kewenangan penegak hukum, termasuk KPK tentu saja. Sampai kita pada pertanyaan bersama; apakah kekuasaan di negara ini, saat ini, bersih?
Mereka yang prokekuasaan pasti punya versi jawaban sendiri. Sebaliknya, mereka yang kritis pun punya versi lain. Untuk menyegarkan ingatan, semua komponen masyarakat sebaiknya tidak lupa bahwa penguasa saat ini masih berutang dalam penyelesaian kasus Bank Century, kasus mafia pajak, dugaan suap pembangunan Wisma Atlet, proyek Hambalang, hingga kasus surat palsu Mahkamah Konstitusi (MK).
Jika peduli pada kepentingan bangsa dan negara, tanpa perlu didorong-dorong, kekuasaan mestinya mengerahkan KPK menggelar perang mengejar dan menyergap jaringan mafia pajak.Menyedihkan karena jaringan mafia pajak tak pernah terungkap, karena baik KPK maupun penegak hukum lain hanya fokus pada seorang Gayus Tambunan. Memang proses hukum kasus dugaan suap Wisma Atlet SEA Games Palembang dan proyek Hambalang tengah berjalan.
Namun, proses hukum itu lebih terlihat sebagai upaya menghibur dahaga publik akan keadilan, karena dakwaan hanya dialamatkan kepada orang-orang yang secara politis lemah. Seolah-olah keadilan telah ditegakkan. Rakyat tak mau lagi dibohongi. Namun, untunglah pada akhirnya kini kita berhasil memilih pimpinan KPK yang memberikan harapan.Formasi baru pimpinan KPK yang dipimpin anak muda ini bukan tanpa konsekuensi.
Terjadi benturan kepentingan di DPR antara kubu yang ingin memperjuangkan aspirasi kekuasaan versus kubu yang konsisten berupaya memulihkan kekuatan dan independensi KPK. Itulah inti persoalan yang sebenarnya. Mari kita beri kesempatan untuk mereka bekerja. Kita beri waktu satu bulan untuk konsolidasi internal.
Kalau dua hingga tiga bulan atau dalam 100 hari pertama mereka tidak membawa perubahan yang berarti, baru kita teriaki. Dan jika dalam satu tahun KPK tetap memble,kita minta mereka mundur sesuai janji yang mereka ucapkan sendiri. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar